General

Mengungkap Kondisi Psikologis Setya Novanto di Kasus Korupsi e-KTP

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Beban psikologis Setya Novanto dipastikan akan terus bertambah berat setelah dirinya mendekam di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Minggu (19/11). Di usia yang sudah terbilang renta itu, papah, begitu publik menyebutnya, seharusnya tak lagi disuruh berpikir keras, bergelut dengan hukum, apalagi terlibat dalam skandal korupsi duit negara sampai trilyunan.

Harusnya di usia 62 tahun ini, papa tengah asyik menjalani aktivitas yang bisa menyegarkan fisik dan pikiran, misalnya bercengkrama dengan anak cucu di rumah, sambil ngopi Aceh Gayo dan ngemil cireng. Duh Gusti, nikmat betul hidup.

Sayangnya, kasus dugaan korupsi E-KTP sudah terlanjur menjeratnya dan mau gak mau, kini Setnov harus berhadapan dengan proses hukum yang menunggunya. Namun, pernahkah lo ngebayangin seberapa besar beban psikis dan moral yang harus ditanggung Novanto hingga hari ini? Terutama sejak rangkaian drama Novanto yang dimulai dengan “berpura-pura” sakit ketika pertama kali dipanggil KPK, menghilang dari rumah, hingga mengalami kecelakaan saat mobilnya menabrak tiang listrik. Sederet aksi-aksi Novanto yang sulit dicerna nalar itu tentu membuat publik bertanya-tanya: papa sehat lahir batin gak sih?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Asumsi.co berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Psikolog Klinis Universitas Indonesia, Angesty AZ Putri seputar kondisi psikologis Setya Novanto secara umum, baik sebelum hingga setelah dirinya ditahan KPK atas kasus korupsi e-KTP yang menjeratnya. Menurut perempuan yang akrab disapa Mbak Anes ini, setidaknya ada dua tipe respons yang muncul ketika seseorang dihadapkan dengan tekanan atau masalah besar. Dua respons tersebut adalah fight dan flight, yang salah satunya juga dimiliki Novanto.

“Secara umum, ada dua respons orang saat menghadapi tekanan yakni fight dan flight. Orang yang fight akan menghadapi tekanan. Mereka akan benar-benar menghadapi masalah apapun dan sebesar apapun kasus yang dihadapi,” kata Psikolog Klinis Universitas Indonesia, Angesty AZ Putri kepada Asumsi.co.

“Mau itu salah atau benar, yang terpenting adalah menunjukkan keberanian untuk menghadapi masalah tersebut,” sambungnya.

Berbeda dengan fight, orang-orang yang memiliki respons flight justru kebalikannya. Menurut Anes, orang-orang flight akan berusaha mencari-cari alasan untuk menghindari dari tekanan atau masalah yang dihadapi.

“Orang-orang yang flight ada bermacam-macam, salah satu contoh mereka langsung melakukan penolakan dengan menyebut ‘Saya nggak mau datang ke KPK’ misalnya. Atau mereka hilang-hilangan, menghindar, atau kabur dari masalah yang menjeratnya,” jelas Anes.

Jika dilihat dari penjelasan di atas, Novanto diduga masuk dalam kategori orang-orang yang flight. Lalu, apa yang menyebabkan Novanto cenderung berada dalam kategori tersebut?

“Orang-orang flight itu yang pertama bisa dipengaruhi dari dasar kepribadiannya. Orang yang flight, mereka cenderung tidak berani atau penakut sejak masih kecil. Cetakan keberaniannya itu memang levelnya rendah,” ujar Anes.

“Lalu, faktor kedua adalah lingkungan. Mungkin (Setya Novanto) dibesarkan dari lingkungan keluarga yang serba enak, yang nggak pernah tahu rasanya susah, nggak pernah stres, tapi sekalinya menghadapi tekanan atau bahkan masalah besar, ya jadinya nggak berani, ambruk,” tegasnya.

Anes juga berasumsi bahwa ada kemungkinan faktor lingkungan terdekatnya saat ini memberikan pengaruh besar dalam berbagai keputusan dan sikapnya. Tentu ada orang-orang yang memberi masukan atau saran kepada Novanto soal bagaimana ia harus bereaksi menghadapi kasus tersebut.

Tak hanya itu, Anes tak menampik bahwa budaya korup dan ‘kabur-kaburan’ memang sudah terlanjur mendarah daging di dalam diri sebagian besar pemimpin-pemimpin di Tanah Air. Meski begitu, Anes juga menyebut masih ada segelintir pemimpin yang mau mengakui kesalahannya.

“Ya lagi-lagi budaya juga ikut berpengaruh besar dalam membentuk karakter pemimpin kita. Sebagian besar, kita punya pemimpin-pemimpin yang sukanya emang kabur-kaburan dan menghindar jika dijerat kasus besar, ya itulah susahnya karakter seperti itu sudah mendarah daging,” tuntas Anes.

Share: Mengungkap Kondisi Psikologis Setya Novanto di Kasus Korupsi e-KTP