Tsunami di pesisir Selat Sunda sempat menimbulkan perbedaan pendapat di antara otoritas terkait di Indonesia. Sebab tsunami datang tiba-tiba tanpa didahului gempa bumi. Padahal lazimnya tsunami diawali dengan gempa bumi, terutama jika mengacu pada tsunami Palu dan Donggala, Sulawesi Utara, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, menurut ilmu geologi penyebab tsunami tidak melulu gempa bumi. Letusan gunung api, longsor di bawah laut, dan meteor jatuh pun bisa menjadi penyebab terjadinya air laut naik ke darat.
Tsunami di pesisir Selat Sunda terjadi di tengah aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau. Akhir-akhir ini gunung dengan ketinggian 1.838 meter di atas permukaan laut tersebut memang sedang getol-getolnya Meletus.
Bahkan pada siang hari sebelum terjadi tsunami malam harinya, 22 Desember 2018, Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, merilis erupsi Gunung Anak Krakatau dengan kolom abu teramati ± 1.500 meter di atas puncak (± 1.838 m di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah timur dan barat daya. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 58 mm dan durasi ± 7 menit 31 detik.
Pos Pengamatan Gunung Api PVMBG bahkan mendengar dentuman dan getaran akibat letusan gunung dengan Status Level II (Waspada) itu. PVMBG merekomendasikan agar tidak ada aktivitas manusia dalam radius dua kilometer dari kawah Anak Krakatau. Lalu letusan serupa terjadi pada pukul 21.03 WIB, selang beberapa menit sebelum muncul info tsunami yang memorakporandakan pesisir Banten dan Lampung, ratusan korban dinyatakan meninggal, ratusan lainnya luka, dan puluhan orang hilang.
Namun PVMBG tidak langsung mengaitkan peristiwa tsunami Selat Sunda dengan aktivitas vulkanologi gunung yang berdiri di antara Lampung dan Banten itu. Dalam siaran persnya, PVMBG mengungkapkan alasan Anak Krakatau belum bisa dijadikan tersangka atas terjadinya tsunami.
Pertama, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami; kedua, lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu; ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
Keempat, untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi; dan kelima, masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.
Dengan demikian, apakah Anak Krakatau bukan “pelaku” penyebab tsunami Selat Sunda? Belum. Sebabnya, PVMBG masih melakukan penelitian, termasuk mengirimkan tim untuk memantau langsung fisik Anak Krakatau.
Kemudian dalam analisa selanjutnya, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG, Sri Hidayati, mengatakan tsunami yang terjadi di Selat Sunda termasuk “kasus yang spesial dan jarang terjadi di dunia, serta masih sangat sulit untuk memperkirakan kejadian partial collapse pada suatu gunungapi.”
Untuk itu, pemantauan tsunami di tengah Selat Sunda baik dengan pemasangan peralatan pemantau (stasiun pasang surut di Pulau sekitar G. Anak Krakatau dan/atau BUOY) maupun pemantauan visual dengan penginderaan jauh, sangat diperlukan.
Hingga saat ini erupsi Gunung Anak Krakatau masih berlangsung menerus, masyarakat di pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung agar tetap waspada, dan untuk sementara waktu tidak beraktivitas di wilayah yang terlanda tsunami hingga kondisi memungkinkan.
Sri kemudian mengungkapkan catatan sejarah tsunami di Selat Sunda di mana salah satu sumber pemicunya (tsunamigenic) adalah erupsi Anak Krakatau yang terjadi tahun 416, 1883, dan 1928. Sejarah juga merekam tsunami Selat Sunda pernah dipicu gempa bumi tahun 1722, 1852, dan 1958, tiga peristiwa tsunami lainnya dipicu sebab yang belum diketahui yang terjadi tahun 1851, 1883 dan 1889.
Lewat analisis terbaru tersebut, Sri menyatakan bahwa tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 kemungkinan besar dipicu oleh longsoran atau jatuhnya sebagian tubuh dan material (flank collapse) Gunung Anak Krakatau khususnya di sektor selatan dan barat daya.
Namun Seri menegaskan, masih diperlukan data tambahan dan analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang berperan.
Volcanogenic Tsunami
Sehari setelah tsunami, volkanolog ITB, Dr. Mirzam Abdurrachman ST,MT, menyatakan kecurigaannya pada aktivitas Anak Krakatau sebagai penyebab tsunami Selat Sunda. Selain memiliki potensi tsunami, gunung tersebut terus menggeliat akhir-akhir ini, lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
“Suatu gunung yang terletak di tengah laut seperti halnya Anak Krakatau atau yang berada di pinggir pantai, sewaktu-waktu sangat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami,” katanya.
Volcanogenis tsunami bisa terbentuk karena perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api. Ia menggolongkan volcanogenis tsunami dalam empat mekanisme. Mekanisme pertama, kolapnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut. Dalam hal ini ia menganalogikan meletuskan balon pelampung di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya.
Mekanisme kedua, pembentukan kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba. Analoginya, menekan gayung mandi ke bak mandi kemudian membalikannya akan menimbulkan gelombang air.
“Mekanisme 1 dan 2 pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883. Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan,” terang Mirzam.
Mekanisme berikutnya yang menjadi penyebab volcanogenis tsunami adalah longsor. Material gunungapi yang longsor bisa menyebankan memicu perubahan volume air di sekitarnya. Tsunami tipe ini pernah terjadi di Mt. Unzen Jepang 1972 yang menelan korban hingga 15.000 jiwa. Besarnya jumlah korban karena tsunami Mt. Unzen diperhebat gelombang pasang.
Terakhir, mekanisme aliran piroklastik atau disebut juga wedus gembel yang menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan. Peristiwa ini bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai. Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Mt. Pelee, Martinique meletus pada 8 Mei 1902. Saat aliran piroklastik Mt. Pelle yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami.
“Volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya, namun bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut,” ungkapnya.
Namun, untuk memastikan mekanisme mana yang terjadi pada tsunami Selat Sunda akibat letusan Gunung Anak Krakatau, Mirzam menyatakan perlu penelitian lebih lanjut.
64 Hektar Runtuh
Dalam siaran pers bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, BMKG, Badan Informasi Geospasial, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi makin menguatkan bahwa Anak Krakataulah yang bertanggung jawab terhadap tsunami Selat Sunda.
Siaran pers gabungan otoritas tersebut menyatakan bencana di Selat Sunda sebagai bencana multievent yang diakibatkan oleh gelombang tinggi laut, tsunami, erupsi gunung api, dan longsor tebing kawah Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami.
Disebutkan bahwa tsunami terjadi akibat longsor di lereng Gunung Anak Krakatau yang tengah erupsi. Kejadian longsor lereng Gunung Anak Krakatau tercatat di sensor seismograph BMKG di Cigeulis Pandeglang pada pukul 21.03 WIB, juga beberapa sensor di Lampung, Banten, Jawa Barat.
Sedangkan faktor penyebab lepasnya material di lereng Anak Krakatau terjadi karena tremor vulkanik dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut. Keterangan ini didukung bukti-bukti terjadinya deformasi Gunung Anak Krakatau yang didapat dari perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami yang memperlihatkan 64 hektar lereng barat daya Gunung Anak Krakatau runtuh.