General

Belajar dari Obor Rakyat dan Indonesia Barokah: Bisakah Media Cetak Jadi Alat Propaganda?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Di tahun 2014 yang lalu, tabloid Obor Rakyat menerjang para pembacanya. Kala itu, Obor Rakyat didakwa berisikan hoaks yang menyudutkan salah satu pasangan calon. Menjelang Pemilu 2019 ini, tabloid yang asal-usulnya tidak jelas kembali bermunculan lagi. Kali ini, tabloid tersebut bernama Indonesia Barokah. Tabloid ini diduga menyerang kubu Prabowo-Sandi. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin pun mengimbau untuk para pengurus masjid membakar tabloid Indonesia Barokah. “Kalau dikirim tidak sengaja, kumpulkan, bakar saja. Adakan api unggun di depan masjid,” ujar Din di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (30/1).

Media Cetak Sudah Ditinggalkan, Masyarakat Pilih Akses Digital

Meski dianggap begitu meresahkan, apa iya media cetak masih efektif sebagai alat propaganda politik? Berdasarkan penelitian Nielsen Indonesia di tahun 2017 yang lalu, penetrasi media cetak hanya mencapai 8 persen dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari total penetrasi yang dilakukan, 83 persen masyarakat memilih koran. Survei ini sendiri dilakukan oleh Nielsen di 11 kota dengan mewawancarai 17 ribu responden dan mencapai populasi sebanyak 54 juta orang.

Penetrasi media cetak ini sebenarnya kalah jauh dibanding yang lainnya. Dilansir dari katadata.co.id, media cetak hanya menjadi pilihan kelima di masyarakat. Di urutan pertama masih bertengger manis televisi dengan penetrasi 96 persen, kemudian disusul oleh papan iklan di jalanan sebesar 52 persen, internet dengan persentase penetrasi 43 persen, dan radio sejumlah 37 persen. Jika dibandingkan dengan yang lain, jelas media cetak memiliki akses ke pasar paling lemah.

Baca Juga: Obor Rakyat Akan Terbit Keembali dan Sepak Terjangnya Menyebar Hoaks

Tidak hanya lemah dalam konteks penetrasinya di masyarakat, survei yang dilakukan Nielsen Consumer dan Media View di tahun 2017 ini juga menemukan fakta adanya pergeseran perilaku di masyarakat. Di tahun 2013, pembelian koran secara personal masih berada di angka 28 persen. Namun, di tahun 2017, pembelian koran secara personal merosot ke angka 20 persen. Seperti dilansir dari Katadata, Direktur Eksekutif Nielsen Media Indonesia Hellen Katherina mengungkapkan hal ini ada hubungannya dengan masyarakat yang semakin sadar kalau media itu seharusnya gratis.

Dengan fakta yang demikian, mengapa propaganda politik menggunakan tabloid ini masih digunakan?

Sebagai Alat Propaganda, Media Cetak Memiliki Keuntungannya Sendiri

Dalam sebuah propaganda, apalagi yang belum jelas kebenaran isinya, penting untuk melakukannya dengan cara yang lebih subtle atau tersembunyi. Hal ini lah yang menjadi keuntungan media cetak. Meskipun tidak menjangkau sebanyak televisi atau internet, media cetak memiliki keuntungan yakni tidak dapat sembarangan diakses. Seseorang yang ingin mencari tahu mengenai isi media cetak tersebut, harus memiliki wujud fisiknya. Kalau propaganda ini dilakukan di internet, dapat dengan mudah dilaporkan dan aksesnya ditutup.

Selain sulitnya diakses oleh banyak orang, media cetak juga memiliki keuntungan lain, yakni dapat menargetkan pasar sesuai kebutuhan. Kalau lewat media sosial, sebuah media harus mempublikasikan kontennya dan berharap orang mengakses. Hal ini berbeda dengan media cetak. Produk-produk media cetak dapat langsung disebar di tempat-tempat yang dituju. Mau mengincar pembaca yang rajin datang ke rumah ibadah? Tinggal disisipkan di rumah ibadah tersebut. Ingin menargetkan masyarakat di sebuah wilayah tertentu? Tinggal sebarkan produk media cetak di wilayah tersebut. Hal ini bahkan dapat jauh lebih efektif dibanding targeted ads yang seringkali muncul di sebuah situs yang sedang kalian akses.

Terakhir, keuntungan yang dimiliki media cetak adalah lokalisasi konten. Lokalisasi konten ini bentuknya dapat bersifat pemilihan bahasa lokal, atau mengangkat isu-isu lokal. Dengan adanya lokalisasi konten ini, pembaca pun lebih paham tentang apa yang dibicarakan. Hal ini membuat media cetak unggul, karena lokalisasi konten ini masih jarang ditemukan di media lain seperti televisi dan internet. Satu-satunya media yang juga sering melakukan lokalisasi adalah radio.

Share: Belajar dari Obor Rakyat dan Indonesia Barokah: Bisakah Media Cetak Jadi Alat Propaganda?