Isu Terkini

Komnas HAM di Tengah Pro Kontra Laporan Pegawai KPK

Irfan — Asumsi.co

featured image
Tangkapan layar YouTube/Eradotid

​Novel Baswedan bersama 74 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan kembali melaporkan KPK. Kali ini laporan dilayangkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

​
Namun upaya 75 pegawai KPK untuk mencari keadilan tentu tak menyenangkan semua pihak. Ada saja yang berkomentar sumbang pada manuver-manuver Novel cs. Di media sosial Twitter perdebatannya cukup mengemuka.

Dalam proses pelaporan ke Komnas HAM, misalnya, banyak yang berkomentar sinis mengapa 75 pegawai KPK mesti melaporkan ketidaklulusannya ke Komnas HAM. Pencuit menilai kalau sudah dinyatakan tidak lulus, maka artinya sudah tidak layak berada di KPK.

“Aneh yang lulus lebih banyak kok ngeyel to” cuit salah satu pengguna Twitter, @Rose02590010.

​
Lainnya ada yang beranggapan kalau respons positif Komnas HAM menerima aduan 75 pegawai KPK karena lembaga itu sudah tidak independen. Seorang pengguna Twitter menuding KPK sudah disusupi orang yang anti-pemerintah. “Hanya jadi alat bagi pelaku playing victim untuk melawan negara,” cuit pengguna Twitter dengan akun @sempak_R1.

Baca juga: 75 Pegawai KPK Ingin Tim Audit Independen Dibentuk | Asumsi

Respons berbeda disampaikan juga oleh pengguna Twitter lain. Ada yang mengaku pesimistis dengan Komnas HAM karena lembaga ini tidak bisa menindak. Si pencuit, dalam akun @al_fakir4891, lantas menyebut kasus penembakan anggota FPI di KM50 beberapa waktu lalu. “Belajar dari kasus KM50, pesimis. Komnas HAM takut rezim,” kata dia.

Singkatnya, Komnas HAM diserang dari berbagai sisi. Diserang oleh mereka yang mengaku pendukung pemerintah. Diserang juga oleh mereka yang merasa oposan. Lantas bagaimana posisi Komnas HAM?

Berdiri Mandiri

Didirikan pada 7 Juni 1993, Komnas HAM berdiri sebagai lembaga nasional HAM yang bersifat independen. Komnas HAM punya fungsi terkait pada kerja-kerja penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi terkait masalah HAM.

Dengan posisinya yang independen, maka memang sudah seharusnya Komnas HAM berada di tengah. Tidak memihak kanan maupun kiri. Itu sebabnya, Komnas HAM tidak jarang punya suara yang berbeda dari pemerintah. Saat pemerintah memberi label teroris pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, misalnya, Komnas HAM menolak dan menyebut hal itu akan meningkatkan kekerasan di sana.

Pada 1999, dengan diundangkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM punya dua tujuan. Pertama, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, maupun Deklarasi Universal HAM. Kedua, meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi masyarakat Indonesia, serta kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Selain kewenangan di atas, Komnas HAM juga memiliki kapabilitas untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat serta melakukan pengawasan.

Kewenangan Terbatas

Namun, kewenangan Komnas HAM memang sangat terbatas. Lemahnya posisi Komnas HAM dalam UU, membuat banyak rekomendasi mereka tidak berujung pada pengentasan kasus. Berbeda dengan KPK, yang sama-sama lembaga kuasi negara, Komnas HAM tidak diberi wewenang melakukan penyidikan maupun penuntutan.

Baca juga: Peretas Serang Pegiat Antikorupsi, dari Bajak WhatsApp sampai Gojek | Asumsi​

Produk yang dikeluarkan Komnas HAM juga sebatas rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi itu sayangnya hanya bersifat morally binding atau tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang menerima rekomendasi Komnas HAM untuk menindaklanjuti. Faktor inilah yang mengakibatkan banyaknya pengaduan ke Komnas HAM tidak dapat tertangani dengan maksimal.

Melihat kelemahan itu, maka sudah semestinya disuarakan lagi pentingnya memperkuat kewenangan Komnas HAM melalui revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyebut, revisi ini perlu untuk menegaskan Komnas HAM sebagai lembaga pengawas yang bertugas menegakkan independensi, keadilan, keterbukaan, akuntabilitas, imparsialitas, kesamaan dan kesetaraan, dan nondiskriminasi.

“Kemudian dalam RUU HAM juga perlu memperkuat kewenangan untuk memberi rekomendasi yang menurut kami, selama ini belum mengikat secara hukum,” ucap Taufan.

Menurutnya, selama ini, Komnas HAM telah melakukan pemantauan, mediasi, hingga rekomendasi yang telah dikeluarkan terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM. Namun, karena sifatnya tidak mengikat, banyak lembaga tak menjalankan rekomendasi yang dikeluarkan oleh pihaknya.

“Dengan revisi UU HAM, ke depan, rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM tak lagi tidak mengikat atau, dalam arti kata lain, setiap rekomendasi harus dijalankan oleh instansi pemerintah,” ucap dia.

Taufan juga mendorong pemerintah meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) atau protokol opsional konvensi internasional. OPCAT, lanjut Taufan, bertujuan untuk memberikan standar tentang upaya pencegahan dan perlakuan yang tidak manusiawi, terutama soal kemerdekaan seseorang dicabut dan untuk pencegahan terjadinya penyiksaan.

TWK-KPK Diduga Langgar HAM

Adapun terkait laporan 75 pegawai KPK ke Komnas HAM, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut karena memang ada dugaan pelanggaran HAM dalam proses TWK. Asfinawati, yang mendampingi para pegawai KPK, menilai dugaan ini mengacu pada sejumlah pertanyaan TWK yang sudah beredar di media.

Baca juga: Dilaporkan Pegawai, Ini Risiko yang Bisa Dihadapi Pimpinan KPK | Asumsi​

Menurutnya, pelanggaran HAM yang pertama ialah adanya pembatasan pikiran. Ada juga dugaan diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan ada pegawai perempuan KPK yang sampai menangis di dalam tes itu.

“Saya yakin teman-teman tahu apa pertanyaan itu, yang seksis dan bersifat diskriminatif,” kata Asfinawati.

Ada pula dugaan pelanggaran terkait hak atas perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Asfinawati mengatakan hal ini terkait adanya pegawai lain yang lulus, meski jawaban yang diberikan sama dengan yang tak lulus. Hal ini membuat dasar penilaian menjadi janggal.

Dugaan lain, adalah pelanggaran terhadap hak berserikat dan berkumpul. Ini menyoroti sikap Wadah Pegawai (WP) KPK yang sejak 2019 seperti menjadi target pemberangusan karena sikap kritisnya. Ini dikuatkan oleh banyaknya pengurus WP KPK yang dinyatakan tak lulus tes.

“Ada juga dugaan pelanggaran terhadap hubungan yang adil dalam pekerjaan. Mereka ini dinonaktifkan, tapi tak jelas dasar hukumnya apa, hak dan kewajibannya apa,” kata Asfinawati.

Dugaan pelanggaran HAM selanjutnya adalah adanya stigma terhadap pegawai yang tak lulus. Asfinawati menyebut hal ini berpotensi memengaruhi kehidupan sosial, pendidikan, keluarga, dan pekerjaan para pegawai ke depannya. Bahkan stigma ini dalam kondisi ekstrem bisa mempertaruhkan nyawa.

“Dugaan pelanggaran terakhir adalah adanya tendensi pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat. Dari 75 pegawai yang dinonaktifkan, banyak di antaranya adalah sosok yang kritis. Ada yang pernah menandatangani petisi menolak Ketua KPK Firli Bahuri karena diduga melanggar etik. Ada juga yang terdaftar jadi pemohon judicial review dalam revisi UU KPK,” ucap dia.

Share: Komnas HAM di Tengah Pro Kontra Laporan Pegawai KPK