Internasional

Kenapa Indonesia Tolak Resolusi Pencegahan Genosida di Sidang Umum PBB?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: PBB

Indonesia bersama 14 negara lainnya masuk ke dalam daftar memalukan (list of shame) yang dirilis oleh UN Watch. Musababnya, delegasi Indonesia menolak resolusi Responsibility to Protect (R2P) dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Sidang Umum PBB, Selasa (18/5/2021).

Resolusi itu mengupayakan agar R2P dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan menjadi bagian dari agenda tahunan. Adapun suara “Ya” untuk R2P menjadi mayoritas dengan 115 negara pendukung. Sementara 28 negara memilih untuk abstain.

Selain Indonesia, negara yang menolak resolusi tersebut adalah Korea Utara, Kyrgyzstan, Nikaragua, Zimbabwe, Venezuela, Burundi, Belarus, Eritrea, Bolivia, Rusia, China, Mesir, Kuba, dan Suriah.

Karena mayoritas peserta mendukung R2P, maka negara-negara anggota PBB memutuskan untuk memasukkan R2P dalam agenda tahunan Majelis Umum PBB. Selain itu, resolusi tersebut secara resmi meminta agar Sekretaris Jenderal PBB melaporkan setiap tahun tentang topik tersebut.

Dikutip dari laman PBB, R2P adalah upaya untuk mewujudkan komitmen politik dalam mengakhiri bentuk-bentuk kekerasan dan penganiayaan. R2P disahkan oleh semua negara anggota PBB pada KTT Dunia 2005 dalam rangka mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Indonesia Sebenarnya Mendukung R2P

Menanggapi hal ini Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah menyebut sebetulnya tidak ada yang berubah dari posisi Indonesia. Menurutnya, Indonesia selalu aktif terlibat dalam pembahasan R2P sejak 2005 hingga kini. Dia pun menyebut, keputusan ini tidak akan mengubah terus aktifnya Indonesia dalam pembahasan R2P.

Baca Juga: Sempat Diblokir AS, Seberapa Efektif DK PBB Hadapi Isu Palestina?

“Indonesia mendukung penuh gagasan R2P dan bahkan pada tingkat tertinggi. Presiden RI mendukung diadopsinya Resolusi 60/1 secara konsensus pada tahun 2005,” kata Faizasyah kepada Asumsi.co, Kamis (20/5/2021).

Adapun terkait suara “Tidak” yang diberikan Indonesia, Faizasyah berdalih bahwa agenda rancangan resolusi itu membahas pembentukan mata agenda baru tahunan Sidang Majelis Umum PBB tentang R2P. Kemudian sidang juga membahas permintaan Sekjen PBB untuk menyampaikan laporan tahunan tentang R2P di sidang umum.

“Posisi voting Indonesia adalah terkait rancangan resolusi dimaksud (prosedural) bukan terhadap gagasan R2P,” ucap dia.

Menurutnya, selama ini pembahasan R2P di UNGA (Majelis Umum PBB) sudah berjalan dan penyusunan laporan Sekjen selalu dapat dilaksanakan lewat follow up to outcome of millenium summit. Selain itu, Faizasyah mengatakan konsep R2P juga sudah jelas tertulis di Resolusi 60/1 (2005 World Summit Outcome Document), paragraf 138 sampai 139.

Dalam paragraf yang dimaksud, disebutkan bahwa setiap Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tanggung jawab ini mencakup pencegahan kejahatan semacam itu, termasuk hasutan, melalui cara yang tepat dan perlu.

Paragraf 138 juga menyebut komunitas internasional harus, jika sesuai, mendorong dan membantu Negara untuk melaksanakan tanggung jawab ini dan mendukung PBB dalam membangun kemampuan peringatan dini.

Sementara paragraf selanjutnya, tertera bahwa komunitas internasional, melalui PBB juga memiliki tanggung jawab untuk menggunakan sarana diplomatik, kemanusiaan dan perdamaian lainnya untuk membantu melindungi penduduk dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Ke depannya Indonesia akan terus aktif bahas R2P, terlepas dari posisi voting Indonesia,” ucap dia.

Baca Juga: KKB di Papua Dilabeli Teroris, Apakah Konflik Menahun Bisa Terselesaikan?

Resolusi Terbaru Dianggap Tidak Diperlukan

Faizasyah pun memastikan bahwa Indonesia tidak masalah dengan resolusi yang telah disepakati. Seperti diketahui, dengan suara “Ya” yang mendominasi, maka R2P dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan menjadi bagian dari agenda tahunan.

“Enggak ada masalah, kita tetap dalam pembahasan, kita tidak ada keberatan. Hanya kan yang jadi penolakan kita karena setiap tahun pun memang sudah dibahas. Jadi buat apa membuat rumah yang baru. Apakah ada keperluan mendesak?,” ucap Faizasyah.

Dia memastikan, mata agenda tahunan ini pun tidak berbicara konsep baru. Ini adalah agenda yang sama dengan substansi yang setiap tahun dibahas mengenai pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan.

“Usulan untuk membuat rumah baru itu diawali untuk membahas isu tersebut dalam satu tahun berjalan, tapi ternyata negara yang mensponsorinya ingin dipindahkan ke agenda tahunan. Kalau niatannya begitu ya kita ikut karena sejak awal kita tidak pernah menolak substansi pembahasannya,” ucap dia.

Share: Kenapa Indonesia Tolak Resolusi Pencegahan Genosida di Sidang Umum PBB?