Isu Terkini

Kekerasan Seksual Terus Meningkat, Kenapa Pendidikan Seks Sering Dianggap Tabu?

Ilham — Asumsi.co

featured image
Unsplash.com

Pada tahun 2020 lalu, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI – PPA) mencatat jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mencapai 14.281 kasus.  Sementara,  Komnas Perempuan mencatat terdapat 3.915 dari 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah publik atau komunitas. Artinya, kekerasan terjadi saat korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan.

“Tiga jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah pencabulan (1.136 kasus), perkosaan (762 kasus), dan pelecehan seksual (394 kasus),” tulis Komnas Perempuan pada CATAHU 2019.

Hingga Juni 2021, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan 2.220 berdasarkan usia 13-17 tahun, sedangkan usia 6-12 tahun 1.242 kasus. Terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan di usia belia ini dikarenakan masih tabunya pendidikan seks di Indonesia.

Riset yang dilakukan oleh Durex Indonesia tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan 84 persen remaja berusia 12-17 tahun belum mendapatkan edukasi seks. Menurut riset tersebut, edukasi seksual mulai diperkenalkan di pada usia 14-18 tahun. Padahal, para ahli menyebut edukasi seks tidak perlu menunggu anak masuk usia pubertas dan bisa dilakukan sejak dini.

Baca juga: Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual Lewat Victim Blaming | Asumsi

Mengapa Pendidikan Seks Tabu?

Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi menjelaskan pendidikan seks tidak dilakukan sejak usia dini karena anggapan keliru para orang tua dan masyarakat. Pendidikan seks kerap diartikan mengajari anak untuk melakukan hubungan seks.

“Seringkali hal ini dianggap sebagai sesuatu yang kelak akan diketahui oleh anak atau remaja dengan sendirinya saat akan menikah. Keengganan orangtua untuk bicara tentang seksualitas juga dipengaruhi oleh budaya yang selalu menempatkan seksualitas sebagai hal yang tidak patut dibicarakan secara terbuka, bahkan dalam konteks ilmiah,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Senin (21/6/2021).

Menurut perempuan yang biasa disapa Wanti ini, tabunya pendidikan seks terlihat  dari penggunaan kata-kata pengganti untuk penis, vagina, berhubungan seksual, payudara. Hal yang sama disampaikan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Menurutnya, pendidikan seks pada anak di Indonesia masih sering dilewati dan disalahpahami.

“Hal ini menyebabkan ada beberapa topik mengenai seks yang tidak dibahas oleh orangtua, diantaranya yang  dianggap tabu sehingga jarang dibicarakan adalah pengetahuan mengenai kehamilan dan pernikahan di bawah 20 tahun, rentan berbagai risiko kesehatan,” katanya.

Sebagian besar orangtua, kata dia, masih merasa tabu untuk mengajarkan seks kepada anak sejak dini. Padahal, menurut para ahli, pendidikan seks seharusnya dikenalkan sedini mungkin pada anak.

“Tujuannya agar si anak tidak mendapatkan informasi yang keliru mengenai seks. Enggak cuma itu, pendidikan seks juga bisa membuat mereka agar lebih berhati-hati dalam pergaulan, bahkan terhindar dari kekerasan atau pelecehan seksual,” katanya.

Baca juga: Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya? | Asumsi

Peran Orang Tua Penting

Retno menjelaskan bahwa peran orang tua amat penting agar anak mendapatkan pendidikan seksual yang pas. Pendidikan seks yang sesuai takarannya sangat penting untuk menghindari gangguan psikologis.

“Sebab anak yang terpapar visualisasi seks berlebihan, rentan terobsesi dan terlalu memusatkan diri pada seks. Nah, kalau kondisi itu terjadi pada umur pubertas, orangtua perlu khawatir,” katanya.

Menurut Retno, di fase praremaja ini biasanya anak mempunyai rasa penasaran dan keingintahuan yang kuat. Karena itu, orang tua harus bisa memberikan penjelasan dan bimbingan yang tepat. Ironisnya, menurut ahli psikolog keluarga dan anak ini, di negara kita kebanyakan orang tua justru malah marah ketika anaknya bertanya tentang seks atau hal lain yang dianggap tabu di masyarakat. Respons seperti ini sungguh tidak tepat karena  bisa melahirkan kesalahan persepsi di pikiran anak.

“Jika kita sebagai orangtua tidak mengajarkan anak pendidikan seks, kemungkinan besar mereka akan mencari tahu mengenai informasi itu melalui teman sebaya atau internet. Nah, hal ini justru berisiko bagi si anak nantinya. Tanpa pendampingan darimu dan pasangan, enggak menutup kemungkinan informasi yang mereka peroleh biasa saja keliru dan mejerumuskan mereka,” kata Retno.

Mulai Kapan Pendidikan Seks Diberikan?

Retno menjelaskan mengajarkan seks kepada anak bisa dimulai dari usia 0-3 tahun.  Orangtua bisa memberi tahu nama-nama bagian tubuh yang sebenarnya. Mulai dari kaki, tangan, kepala, hingga organ kelamin anak.

“Selain itu, orang tua juga bisa mengajari anak perilaku yang baik untuk dilakukan di rumah atau di tempat umum. Contohnya, mengajari dirinya untuk mengenakan handuk saat keluar dari kamar mandi,” katanya.

Usia 13 tahun ke atas, saat anak mulai tertarik dengan lawan jenisnya, ayah dan ibu sah-sah saja membahas masalah cinta, keintiman, dan cara mengatur batas dalam hubungan mereka dengan lawan jenis.

Sementara menurut Wanti, pendidikan seks hendaknya diberikan sesuai dengan usia dan perkembangan anak/remaja. UNICEF dan WHO telah mengembangkan panduan terkait apa dan bagaimana pendidikan seks harus diberikan pada usia tertentu.

“Terkait remaja, karena di Indonesia tidak ada hukum yang menyatakan usia yang disebut remaja maka sulit menentukan. Biasanya mengacu pada batasan yang digunakan WHO yaitu 5-18 tahun atau Kemenkes 15-19 tahun. Pada usia ini anak telah mengalami masa pubertas dan dorongan seksual yang tinggi sehingga kerap kali telah berusaha ataupun benar-benar melakukan hubungan seksual,” katanya.

Pada tahap ini, bicara dan diskusi tentang perkawinan dan hubungan seksual menjadi penting terlebih agar dapat menunda baik hubungan seksual maupun perkawinan hingga usia mencapai 21 tahun.

“Pada usia ini sebenarnya juga penting berdiskusi tentang alat kontrasepsi yang benar. Hanya saja perlu dipilih konteks ilmiahnya agar tidak menjadi pemicu bagi anak untuk mencobanya,” tambahnya.

Baca juga: Dikecam Keras! Usul Menikahkan Tersangka Pelaku Pemerkosaan AT dengan Korbannya | Asumsi

Pesan untuk Masyarakat

Wanti menjelaskan, menyampaikan tentang pendidikan seks secara komprehensif harus dilakukan oleh masyarakat. Artinya, pendidikan seks meliputi tentang kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, IMS dan HIV-AIDS, toleransi, saling menghargai. Mengacu pada Global Education Monitoring (GEM) Report UNESCO tahun 2019, sebanyak 15 juta anak menikah sebelum usia 18 tahun secara global.

“Hanya sepertiga dari orang berusia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang pencegahan dan penularan HIV. GEM Report menilai bahwa pendidikan seksual komprehensif akan membantu melindungi diri dari kehamilan yang tidak diinginkan, HIV, Infeksi Menular seksual, mempromosikan nilai-nilai toleransi, saling menghormati dan tanpa kekerasan dalam hubungan,” katanya.

Sementara, Retno mengatakan KPAI prihatin atas kasus-kasus kekerasan seksual yang terus  terjadi dan korbannya anak-anak. Hal ini menjadi tugas kita semua untk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual;

“KPAI mendorong anak korban kekerasan seksual untuk diasesmen secara psikologis agar mendapatkan terapi atau hak pemulihan psikologis hingga tuntas, karena pemulihan anak korban kekerasan seksual membutuhkan waktu yang panjang,” katanya.

Ia menambahkan, KPAI mendorong Dinas-dinas Pendidikan dan Kemendikbud RI untuk melakukan upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Upaya itu dapat dilakukan dengan cara menyelenggarakan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah; mengajarkan soal pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi, ada keengganan yang menghambat pengajaran topik itu di sekolah; dan pendidikan soal seksualitas dan kesehatan reproduksi bisa masuk dalam kurikulum agar menjadi standar untuk diajarkan di sekolah-sekolah.

“Ini hambatan yang harus dihilangkan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan seksual dan upaya pencegahan juga. Adapun yang menghambat pendidikan seksual di Indonesia adalah dianggap tabu dan bukan budaya timur. Orangtua masih malu untuk ngomong ‘penis’. Mereka menyamarkan dengan kata ‘burung’, pakai ‘gajah’, cuma karena yang mengajarkan itu masih malu. Ayolah, kita pakai kalimat-kalimat yang bikin ‘penis’ itu sama dan biasa saja, seperti kita menyebut bagian tubuh kita yang lain, seperti kita bilang ‘mata’, ‘hidung’,” katanya.

Agar tidak terjadi pelecehan, menurut Retno, orang tua harus mengajarkan bahwa ada bagian dari tubuhnya yang hanya dia sendiri yang boleh melihat dan memegang.

“Jadi kalau ada yang ingin melihat  (siapa pun orangnya) apalagi menyentuhnya maka minta anak melaporkan ke ibunya. Harus dilatih berani bicara,” katanya.

Share: Kekerasan Seksual Terus Meningkat, Kenapa Pendidikan Seks Sering Dianggap Tabu?