Isu Terkini

Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual Lewat Victim Blaming

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash
Dugaan kasus pelecehan seksual oleh Gofar Hilman, seorang pemengaruh kenamaan kepada seorang perempuan di sebuah acara, tengah menjadi sorotan. Namun, upaya korban untuk bersuara tidak hanya mendapat dukungan tapi juga hujatan. Padahal, untuk sampai bersuara, korban tentunya perlu mengumpulkan keberanian yang lama.

Banyak komentar miring soal pengakuan korban. Ironisnya, komentar itu justru dialamatkan langsung di kolom reply cuitan korban yang tentu akan masuk ke notifikasinya. Komentar tak punya empati itu kebanyakan menyalahkan kehadiran si korban di acara itu, pakaian yang dikenakan, hingga tudingan panjat sosial karena sosok Gofar sedang terkenal.

Tudingan dan komentar miring ini tentu membuat si korban perlu mengumpulkan lagi serpihan keberaniannya untuk tetap bersuara. Sementara yang dilakukan oleh para komentator ini adalah bentuk victim blaming.

Apa Itu Victim Blaming?

Secara sederhana, victim blaming adalah perilaku menyalahkan korban. Alih-alih mendapat pembelaan, korban malah dipersalahkan atas suatu tindakan jahat atau bahkan diminta bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka terima.

Dalam jurnal Kecenderungan Menyalahkan Korban dalam Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak Kekeliruan yang ditulis oleh Erika Putri Wulandari dan Hetty Krisnani, dalam isu ini ada beberapa parameter yang kerap menjadi bahan victim blaming. Di antaranya, ketersediaan melakukan kontak romantis berdasarkan kesetujuan kedua belah pihak, jenis pakaian yang dipakai saat kejadian, dan mengundang atau menemani teman kencan ke tempat tinggalnya.

Sayangnya, dalam penelitian ini, tudingan atau melimpahkan kesalahan pada korban sering didapat dari lingkungan dekat korban sendiri. Mulai dari teman, keluarga, bahkan pihak yang bekerja di instansi mulai dari polisi, pengacara, dan tenaga medis. Ketika isu itu jadi pemberitaan, maka tidak jarang korban juga disalahkan oleh orang yang tidak dikenalnya. Hal ini mengkhawatirkan karena orang yang sama sekali tidak mengenal korban justru ikut berprasangka buruk tentangnya.

Baca Juga: Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya?

Faktor Victim Blaming

Salah satu faktor mengapa victim blaming masih sering terjadi adalah masih kuatnya pembagian peran gender di masyarakat. Mengutip penelitian Krisnani dan Wulandari, pembagian gender mengasosiasikan jenis kelamin dengan kemampuan naturalnya. Laki-laki, misalnya, diasosiasikan sebagai seorang pemimpin yang mandiri dan kompetitif, bertolak belakang dengan perempuan yang dihubungkan dengan kasih sayang dan kepekaan. Hal ini memfasilitasi maskulinitas yang membuat laki-laki merasa lebih superior ketimbang perempuan.

“Sederhananya, muncul praktik standar ganda di sini. Laki-laki yang mengekspresikan hawa nafsu dan maskulinitasnya dirasa sah-sah saja. Kepercayaan membatasi peran dan hak perempuan menjadi salah satu kontribusi tingginya penganut mitos pemerkosaan,” demikian dikutip dari jurnal itu.

Seksisme juga bisa membuat kasus-kasus pemerkosaan sering diremehkan atau bahkan disalahkan pada korban. Ini misalnya lewat stereotip perempuan suka melebih-lebihkan masalah, terlalu emosional ketika menghadapi sesuatu, dan sengaja mencari keuntungan demi keuntungan pribadi.

Belum lagi, persepsi mengenai dampak psikologis yang dihasilkan dari kejadian ini sering kali dianggap kurang valid sehubungan dengan buktinya yang tidak terlihat secara nyata.

Baca Juga: Dasar Kekerasan Seksual Adalah Ketiadaan “Consent”

Selain itu ada anggapan bahwa pemerkosaan hanya terjadi ketika dilakukan oleh orang asing stranger rape. Sementara jika yang melakukan adalah orang yang dikenal korban maka kemungkinan victim blaming sangat besar dengan tudingan mau sama mau atau pertanyaan seperti: mengapa tidak waspada sejak awal”.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyebut victim blaming yang terjadi pada korban kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, tidak dapat dilepaskan dari kontruksi masyarakat patriarki yang menempatkan laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Menurutnya, dalam masyarakat seperti ini, laki-laki ditempatkan sebagai ruler dan controller perempuan, termasuk dalam memberikan nilai moralitas berdasarkan cara pandang dan kepentingan laki-laki.
“Kondisi ini menyebabkan perbedaan peran jender, yang melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan jender, termasuk stereotip,” kata Aminah kepada Asumsi.
Dalam konteks kekerasan seksual, perempuan distreotipkan ‘menggoda’, ‘menarik perhatiaan’ karenanya korban dinilai bertanggungjawab terhadap pelecehan seksual. Maka kemudian dalam kasus-kasus pelecehan seksual, korban justru dipersalahkan dan dinilai perempuan yang tidak baik/tidak bermoral. 
“Penghakiman lebih diberikan kepada korban timbang pelaku. Pelaku atau laki-laki mendapatkan ‘pemakluman’ atau dinilai wajar melakukan pelecehan seksual, karena masyarakat patriarkis mengkontruksikan laki-laki harus maskulin dan agresif dalam aktivitas seksual. Sehingga ketika laki-laki melakukan serangan seksual dianggap sebagai hal biasa,” ucap dia.
Padahal, victim blaming menyebabkan korban tidak berdaya, merasa sendiri, dan bungkam terhadap pelecehan seksual yang dialaminya. Di sisi lain victim blaming menjadikan terjadinya impunitas terhadap pelaku. 
“Pelaku dengan menggunakan budaya menyalahkan korban, akan terus melakukan pelecehan seksual dan tidak dihukum. Sedangkan masyarakat akan kehilangan ’empati’ terhadap korban kekerasan seksual,” ucap dia.
Adapun salah satu cara memutus victim blaming adalah dengan mempercayai dan memahami dampak pelecehan seksual terhadap korban. 
“Dengan demikian kita tidak ikut membenarkan pelecehan seksual terhadap siapapun, namun sebaliknya mendukung korban untuk mengklaim hak keadilan, kebenaran dan pemulihan,” ucap dia. 

Share: Pembungkaman Korban Kekerasan Seksual Lewat Victim Blaming