Isu Terkini

Kekayaan Natuna dan Siasat Mengusir Cina

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Ketegangan antara Indonesia dan Cina mengenai perairan Natuna belum mengendur. Negeri tirai bambu ngotot mengklaim Natuna dengan melanggar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia mempertahankan haknya.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah tidak akan berkompromi dalam mempertahankan kedaulatan, dengan prioritas kebijakan diplomatik.

Pada Minggu (05/01/20), dalam konferensi pers di Pangkalan Udara TNI AL di Tanjungpinang, Kepri, Kepala Dinas Penerangan Koarmada I Letkol Laut (P) Fajar Tri Rohadi mengatakan bahwa kapal nelayan Cina masih bertahan di perairan Natuna. Ia mengatakan kapal-kapal tersebut bersikukuh menangkap ikan 130 mil dari perairan Ranai, Natuna.

“Mereka didampingi dua kapal penjaga pantai dan satu kapal pengawas perikanan Cina,” kata Fajar seperti dikutip dari Antara. Fajar pun menyatakan bahwa TNI sudah menurunkan dua KRI guna mengusir kapal asing tersebut keluar dari Laut Natuna.

Dalam operasi tersebut, Fajar menyebut pihaknya juga gencar berkomunikasi secara aktif dengan kapal penjaga pantai Cina agar dengan sendirinya segera meninggalkan perairan tersebut. Operasi itu sendiri tidak memiliki batas waktu sampai kapal Cina betul-betul angkat kaki dari wilayah maritim Indonesia.

Sumber Daya Alam di Perairan Natuna

Perairan Natuna memang berada pada posisi strategi di jalur pelayaran internasional, yang bisa mengakses negara-negara tetangga, juga Hong Kong, Taiwan, dan Cina. Lantaran strategis, Cina tentu punya misi lain dari klaim sepihaknya terhadap wilayah laut tersebut.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) yang dikutip, Senin (06/01/20), total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara itu, cadangan minyaknya diperkirakan mencapai 36 juta barel.

Baca Juga: Meluruskan Pemahaman soal Coast Guard Cina, ZEE, dan Kedaulatan Indonesia di Natuna

Selain minyak, Natuna juga memproduksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD. Wilayah ini juga punya blok gas raksasa terbesar di Indonesia yakni blok East Natuna yang ditemukan pada 1973.

Volume gas di blok East Natuna bisa mencapai 222 TCF (triliun kaki kubik). Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF , jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF. Namun, kandungan karbondioksida di blok tersebut sangat tinggi, bisa mencapai 72%, sehingga perlu teknologi yang canggih untuk mengurai karbon.

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tak perlu bernegosiasi dengan Cina. Apalagi, ia memprediksi Cina akan mengabaikan protes-protes Indonesia atas masuknya kapal Coast Guard mereka di ZEE Indonesia di Natuna Utara.

“Juru bicara Kemlu Cina pun menyampaikan bahwa Cina hendak menyelesaikan perselisihan ini secara bilateral. Rencana Cina tersebut harus ditolak oleh pemerintah Indonesia karena empat alasan,” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya kepada Asumsi.co, Selasa (07/01).

Pertama, bila Cina tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia harus tetap konsisten untuk tidak mengakui wilayah tradisional penagkapan ikan nelayan Cina. Atas dasar sikap Indonesia ini, bagaimana mungkin Indonesia bernegosiasi dengan sebuah negara yang klaimnya tidak diakui oleh Indonesia?

Kedua, sikap Indonesia yang konsisten ini telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina melawan Cina. Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim Cina atas 9 garis putus maupun konsep hak penangkapan ikan tradisional.

Menurut PCA, dasar klaim pemerintah Cina tidak dikenal dalam UNCLOS, di mana Indonesia dan Cina adalah anggotanya. Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan kesepakatan bilateral.

Ketiga, Indonesia tidak mungkin bernegosiasi dengan Cina karena masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan Nine-Dash Line atau sembilan garis putus dan traditional fishing right yang diklaim oleh Cina. Keempat, jangan sampai pemerintah Indonesia oleh publiknya dipersepsi telah mencederai politik luar negeri yang bebas aktif.

“Ketergantungan Indonesia dengan utang Cina tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan pemerintah untuk bernegosiasi dengan pemerintah Cina. Justru, bila perlu, presiden mengulang kembali ketegasan Indonesia di tahun 2016 dengan mengadakan rapat terbatas di Kapal Perang Indonesia di Natuna Utara,” ujarnya.

Pentingnya Kehadiran Fisik Negara di ZEE Natuna

Menurut Hikmahanto, langkah pemerintah melalui Kemlu melakukan protes diplomatik ke Pemerintah Cina dan memanggil Dubes Cina untuk Indonesia sudah tepat. Namun, sebanyak-banyaknya protes diplomatik oleh Kemlu, lanjut Hikmahanto, tidak akan berpengaruh pada aktivitas para nelayan dan Coast Guard Cina.

“Ini karena Cina menganggap ZEE Natuna tidak ada. Justru yang dianggap ada adalah wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan Cina. Oleh karenanya Cina akan terus melindungi nelayan-nelayan Cina untuk melakukan penangkapan ikan yang diklaim Indonesia sebagai ZEE Natuna,” kata Hikmahanto.

Bahkan menurut Hikmahanto, Coast Guard Cina bisa saja sampai mengusir dan menghalau nelayan-nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan. Sehingga yang dibutuhkan tidak sekedar protes diplomatik oleh pemerintah Indonesia, tetapi kehadiran secara fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE Indonesia mulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

“Para nelayan Indonesia pun harus didorong oleh pemerintah untuk mengeksploitasi ZEE Natuna. Bahkan para nelayan Indonesia pun dalam menjalankan aktivitas harus diberi pengawalan oleh otoritas Indonesia. Pengawalan ini dilakukan karena mereka kerap dihalau Coast Guard Cina.”

Kehadiran secara fisik tentu sifatnya sangat wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia, karena dalam konsep hukum internasional, klaim atas suatu wilayah tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik tetapi harus ada penguasaan secara efektif (effecive control).

Terkait hal ini, penguasaan efektif dalam bentuk kehadiran secara fisik menjadi penting mengingat dalam Perkara Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia, Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia atas dasar ini.

Lebih lanjut, Hikmahanto menilai klaim sepihak Cina atas Natuna bisa jadi tidak lepas dari upaya Cina untuk mengetahui reaksi para pejabat baru di kabinet Presiden Jokowi. Satu hal yang perlu dipahami menurutnya adalah klaim Cina di Natuna Utara tidak akan pernah pupus sampai akhir zaman.

“Selama sembilan garis putus dan traditional fishing right dijadikan dasar klaim, Cina akan selalu mempertahankan keberadaan fisiknya di Natuna Utara. Pelanggaran atas ZEE Indonesia di Natuna Utara oleh Coast Guard Cina bisa jadi ditujukan untuk menguji muka baru di kabinet Jokowi dan menguji soliditas kabinet.”

Situasi yang sama pernah dilakukan oleh Cina saat Presiden Jokowi baru beberapa tahun menjabat. Ketika itu Jokowi tegas tidak mengakui sembilan garis putus, bahkan menggelar rapat di KRI di perairan Natuna Utara. Pertanyaannya, bagaimana dengan wajah-wajah baru saat ini yang menduduki kabinet? Mulai dari Menko Polhukam, Menhan, Menteri KKP sampai ke Kepala Bakamla yang baru.

“Momentum inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh wajah baru untuk tetap berkomitmen dengan sikap Presiden Jokowi dan kebijakan luar negeri Indonesia terkait Natuna Utara. Untuk menunjukkan komitmen ini, ada baiknya para wajah baru di kabinet melakukan peninjauan perairan di Natuna Utara dan menyelenggarakan rapat di KRI yang sedang berlayar di perairan tersebut.”

Menurut Hikmahanto, kalau bentuk ketegasan seperti ini dilakukan, pelanggaran oleh Coast Guard Cina berpotensi akan menurun. Namun ini tidak berarti klaim Cina atas Natuna Utara akan pudar.

“Ketegasan ini tidak harus dikhawatirkan akan merusak hubungan persahabatan Indonesia dan Cina atau merusak iklim investasi pelaku usaha asal Cina di Indonesia. Banyak pengalaman negara lain yang memilki sengketa wilayah namun tidak berpengaruh pada hubungan persahabatan dan investasi.”

Share: Kekayaan Natuna dan Siasat Mengusir Cina