Isu Terkini

Ini Tahun Yang Baik

Entol Muhammad Omar Gibran — Asumsi.co

featured image

Beberapa waktu terakhir ini, pasti banyak pihak yang setuju betapa dunia menjadi semakin “menyeramkan”. Mulai dari timbulnya ketegangan antara beberapa negara di wilayah barat, pergesekan pemikiran antara mereka yang liberal dan konservatif, hingga beberapa pemimpin baik di level nasional maupun internasional yang kita anggap rasis atau bahkan politikus yang berusaha menghalalkan segala cara dengan tujuan bisa dapat panggung di depan publik.

Betapa chaos-nya situasi saat ini membuat sebagian masyarakat berpikir bahwa ini adalah tanda-tanda akhir zaman. Ditambah lagi, pentunjuk dalam kitab suci pemeluk agama tertentu juga telah menjabarkan tanda-tanda akhir zaman yang “mirip” dengan situasi saat ini. Meskipun saya tidak bisa menolak bahwa apa yang ditulis dalam kitab tersebut kebetulan cocok dengan kejadian akhir-akhir ini, namun buat saya, akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018 ini sangat menarik dan sangat baik.

Kok bisa saya bilang begitu?

Pertama, ayo kita mulai dari negara adidaya, Amerika Serikat. Bukan rahasia umum kalau kepemimpinan presidennya, Donald Trump, lebih banyak mendatangkan mudharat dari pada manfaat di dunia internasional. Mulai dari menarik negaranya dari Paris Agreement, yang notabene bertujuan untuk mengurangi efek global warming di seluruh dunia, sampai melarang masuknya pengungsi dari negara-negara tertentu hingga membuat diskriminasi berdasarkan agama mendapatkan momentumnya kembali. Tapi di tahun ini, usaha Donald Trump untuk menjalin kerja sama dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in demi melakukan pendekatan ke negara yang paling tertutup di bumi ini, Korea Utara patut diapresiasi.

Lewat pendekatan ini, Kim Jong-un, anak dari Kim Jong-il yang memimpin Korut selama 17 tahun itu akhirnya membuka jalur untuk berdiskusi dengan Trump dan Moon untuk membahas mengenai denuklirisasi. Walaupun ini bukan kali pertama Presiden Amerika Serikat berusaha bernegosiasi dengan Korea Utara, tapi dengan citra buruk Donald Trump yang beredar di media mainstream dan rendahnya ekspektasi (saya) atas Donald Trump, langkah ini membuat saya takjub. Walaupun kita tidak tahu akankah pertemuan ini berujung baik, atau apakah ini hanya untuk pencitraan bahwa seorang Donald Trump dapat “merangkul” musuhnya, atau bahkan pertemuannya bakalan enggak jadi karena para kepala negara ini pada mager naik pesawat dan menghabiskan berjam-jam di atas udara, kita enggak pernah tahu. Tapi apa salahnya jika kita berprasangka baik? We never know but let’s hope for the best aja. Sedap gak tuh.

Indonesia juga tidak ketinggalan dengan hal menyenangkan lainnya. Ketika Pilpres 2014 diadakan, masih segar di ingatan kita bahwa presiden Joko Widodo dan pesaingnya, Prabowo Subianto menjadi kontestan utama dalam panggung politik saat itu. Masing-masing kontestan memiliki hardcore fans. Mereka rela melakukan apa saja demi kemenangan idolanya. Semua berita buruk soal kandidatnya mereka tolak dan dianggap sebagai fitnah. Namun tanpa banyak yang sadar, 2014 adalah tahun di mana semua orang bisa membuat narasi panjang dan sempurna. Tingkat literasi meningkat, orang menjadi mawas diri dan memberikan informasi yang dia ketahui kepada publik dengan dalil agar semua orang tahu akan kebenaran!

Meskipun memang, sangat disayangkan karena berita yang disebarkan oleh para fans hardcore ini belum tentu benar. Tingkat literasi juga hanya mentok kepada tulisan yang mereka ingin tahu saja, dan bukan tulisan mengenai keilmuan dan hal indah lainnya. Disayangkan juga karena para penulis dadakan ini tidak menulis cerpen untuk anak-anak yang membawa cerita moral yang baik. Sungguh disayangkan.

Tapi eh tapi, di sisi lain pada saat itu orang yang enggak peduli politik jadi lebih “peduli”. Orang yang awalnya enggak tahu politik tiba-tiba jadi professor dalam bidang politik. Mari kesampingan sarkas yang masih bisa dilanjutkan. Fenomena ini jadi titik terang bagi perpolitikan dalam negeri. Anak muda yang awalnya apatis menjadi sedikit peduli dengan politik walaupun pembawaannya masih tidak peduli. Tapi ada perubahan sedikit dari pengetahuan politik anak tersebut. Sedikit namun berarti.

Tahun 2018 ini persiapan menuju tahun 2019. Pilkada serentak dan Pilpres. Ajang paling panas dari pada episode final Indonesian Idol, paling panas dari pernikahan Vicky Prasetyo dan Angel Lelga yang disinari ultraspeng di bawah naungan green day.

Disudut A, saya agak deg-degan dengan emosi masyarakat Indonesia yang masih labil. Berapapun umurnya, setinggi apapun tingkat pendidikannya, kalau masuk ke politik semua bisa berubah. Yang lebih muda bisa jadi lebih tua dan sebaliknya. Tapi, disudut B saya senang karena bakal banyak orang yang peduli sama Indonesia. Peduli sama perpolitikan Indonesia. Mereka mau tahu biar enggak bisa dibodohi di kemudian hari.

Kalau jagoan mereka kalah, beberapa tahun kemudian mereka bakal “memantau” kinerja pemerintahan berikutnya biar bisa nyinyirin pemerintahan tersebut.

Walaupun niatnya enggak bagus. Tapi setidaknya ada i’tikad baik untuk menjalankan salah satu fungsi pilar demokrasi, yaitu mengawasi jalannya pemerintahan.

Share: Ini Tahun Yang Baik