Isu Terkini

Esther Duflo dan Suaminya Memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi 2019

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Esther Duflo dan Abhijit Banerjee memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi 2019 atas penelitian mereka tentang upaya pengentasan kemiskinan.

Berbagai media ekonomi di India memperkenalkan power couple ini sebagai “Abhijit dan sang istri, Esther Duflo” atau bahkan “Abhijit dan istrinya” tanpa menyebutkan nama Duflo.

The Economic Times, misalnya, menayangkan headline “Indian-American MIT Prof Abhijit Banerjee and wife wins Nobel in Economics.” Setelah menerima banyak protes dan kritik, media asal India ini mengubah judulnya menjadi, “Abhijit Banerjee, Esther Duflo, and Michael Kremer win Nobel in Economics”.

Di satu sisi, pembingkaian tersebut adalah upaya media di India untuk mempromosikan nama Abhijit sebagai keturunan India, sementara Esther yang berasal dari Perancis dirasa tak perlu ditonjolkan.

Namun, di sisi lain, melabeli Esther sekadar sebagai istri seseorang sama saja dengan mereduksi dan mengabaikan usaha dan dedikasinya di bidang ekonomi selama berpuluh-puluh tahun.

Esther Duflo, padahal, adalah orang termuda dalam sejarah yang pernah memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi. Ia juga menjadi perempuan kedua yang pernah menang penghargaan tersebut. Elinor Ostrom, perempuan pertama yang jadi pemenang pada 2009, telah meninggal dunia—menjadikan Esther satu-satunya perempuan pemenang Nobel Ekonomi yang masih hidup.

Persentase perempuan pemenang Hadiah Nobel memang kecil: tak sampai 5%. Namun, tak perlu jauh-jauh ke Hadiah Nobel, persentase perempuan yang berprofesi di bidang ekonomi sendiri masih rendah. Dalam wawancara lewat telepon, Esther mengkonfirmasi ketimpangan gender di bidang ekonomi.

“Jumlah perempuan di bidang ekonomi tidak cukup banyak. Permasalahan ini terjadi di semua tingkat. Tidak cukup banyak perempuan jadi mahasiswa ekonomi. Tidak cukup banyak perempuan yang lanjut menjadi asisten profesor, naik tingkat, dan mendapt pengakuan. Walaupun semakin banyak perempuan di tingkat yang lebih muda, tapi itu masih tidak cukup,” kata Esther.

Dominasi Laki-laki dan Diskriminasi Gender

Dominasi laki-laki di bidang ekonomi bisa jadi penyebab biasnya media dalam melaporkan kemenangan Esther dan Abhijit. Sebagai perempuan, kontribusi Esther dianggap tak sebesar Abhijit yang sebagai laki-laki lebih mewakili image seorang ekonom. Padahal, kredibilitas Esther sendiri tak dapat diragukan: ia seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), co-founder dan co-director dari Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab.

American Economic Association (AEA) melakukan survei terhadap lebih dari 9.000 ekonom anggotanya. Banyak perempuan yang merasa tidak cukup dihargai dalam bidang mereka: 65% responden perempuan merasa socially excluded, 69% perempuan merasa pekerjaan mereka tidak dianggap serius, dan 63% merasa tidak dihargai oleh sesama ekonom. Sementara itu, responden laki-laki melaporkan angka yang lebih rendah.

Selain dalam ranah profesional, Alice Wu meneliti sebuah forum online ekonomi bernama Economics Job Market Rumors yang berisi diskusi-diskusi cair tentang ekonomi. Topik pembicaraan di dalamnya beragam: mulai dari pembahasan tentang jurnal-jurnal finansial, hingga hal yang sifatnya cukup random, seperti, “bahagianya hidup dan mati sendirian”.

Dari forum tersebut, Alice Wu mengumpulkan bahasan-bahasan terkait laki-laki dan perempuan. Hasilnya, komentar tentang perempuan lebih banyak diasosiakan dengan tubuh mereka—seperti kata “hotter”, “hot”, “tits”, “horny”. Sementara komentar tentang laki-laki lebih banyak diasosiasikan dengan profesi atau sifat mereka, seperti “philoshopher”, “motivated”, “keen”.

Masih kentalnya objektifikasi dan diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkaran formal maupun informal ini membuat kesaksian-kesaksian tentang pengalaman kekerasan seksual jadi tak mengherankan. Survei American Economic Association (AEA) juga menunjukkan bahwa lebih dari 250 ekonom perempuan pernah menjadi korban kekerasan seksual atau korban percobaan kekerasan.

Banyak ekonom perempuan menceritakan kisahnya digoda, disentuh, dicium, hingga diajak ke kamar hotel dengan alasan ingin membicarakan hal-hal profesional—tetapi ternyata berakhir ditanya tentang hal personal dan diminta berhubungan seks.

“Sebagai seorang yang baru masuk pascasarjana, laki-laki 20 tahun lebih senior dari saya seringkali menggoda dan mengatakan komentar-komentar tidak pantas kepada saya. Saya menghindari berada di satu lift dengan laki-laki, dan menghindari meeting di ruangan nonpublik. Saya juga tidak mau rapat berdua di kafe dengan laki-laki karena saya takut dengan laki-laki di profesi saya,” kata narasumber lain.

Esther Duflo dalam wawancaranya mengkonfirmasi bahwa lingkungan ekonomi masih belum ramah terhadap perempuan. “Permasalahannya ada di lingkungan itu sendiri, bagaimana orang-orang berbicara ke satu sama lain dan meng-address sesamanya di seminar. Kita harus menciptakan kultur yang lebih menghargai dan menerima sesama,” katanya.

Jumlah Perempuan Tak Banyak?

Jumlah perempuan yang mengambil studi ekonomi mengalami penurunan. Di Australia, persentasenya menurun dari sekitar 40% pada 2003 menjadi di bawah 35%. Di Amerika Serikat, jumlahnya juga menurun—dari sekitar 35% pada tahun 2000 menjadi tak lebih dari 30% pada 2015.

Sementara itu, persentase perempuan yang mengambil program PhD di Amerika Serikat hanya 30%. Persentase tersebut tak mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 1995. Jumlah perempuan yang mengambil program PhD pada 2018 pun menjadi yang terendah sepanjang abad ini.

Menurut Eshe Nelson pada qz.com, permasalahannya terletak pada model ekonomi itu sendiri. Studi ekonomi dipandang terlalu menggunakan pendekatan matematika dan berpaling dari ilmu social science.

Sarah (bukan nama sebenarnya), seorang ekonom perempuan Indonesia, mengamati bahwa perempuan lebih banyak terlibat di topik-topik sosial. “Yang aku perhatikan adalah tergantung topiknya juga. Jika isunya lebih sosial—tentang kesehatan, pendidikan—itu malah lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Sementara di topik-topik yang lebih makro, tentang trading, investasi—itu kebanyakan laki-laki. Jadi yang mampu kerja di level akar rumput itu justru kebanyakan perempuan,” katanya.

Sarah yang dan timnya, yang meneliti masalah kemiskinan dan ketimpangan, punya proporsi gender yang seimbang. Perusahaan tempatnya bekerja juga mempunyai kuota untuk perempuan. “Jadi di level manajer pun ada kuota perempuan. Selain itu, karena topik penelitian tim aku juga tentang ketimpangan, jadi di timnya sendiri nggak mungkin ada ketimpangan,” jelasnya.

Namun, Sarah tidak mempungkiri bahwa persentase ekonom perempuan di sektor lain bisa lebih rendah. “Aku nggak akan kaget jika di sektor-sektor keuangan seperti OJK dan Bank Indonesia akan didominasi oleh laki-laki,” katanya.

Rebuild Macroeconomics, sebuah jaringan penelitian di UK, mencoba membongkar masalah tersebut. Penelitian ini punya visi, “mentransformasi ekonomi makro menjadi ilmu social science yang berguna dan policy-relevant.Topik-topik yang dibahas dalam jaringan penelitian tersebut beragam dan lintas disiplin ilmu. Mereka memastikan untuk mengutip studi-studi di bidang lain pula, seperti kesehatan, kesenian, psikologi, dan kemanusiaan.

Penelitian-penelitian Esther Duflo dan Abhijit Banerjee juga mencoba menerapkan prinsip serupa. Alih-alih langsung mengambil data makro, Esther dan Abhijit dalam buku Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Proverty melakukan observasi dan eksperimen secara lebih dekat: mencari tahu pola pikir dan cara orang berstatus ekonomi rendah mengambil keputusan terkait pendidikan, layanan kesehatan, tabungan, wirausaha, dan lainnya.

Mereka juga mencoba membongkar terlebih dahulu bagaimana kemiskinan selama ini digambarkan. Menurut mereka, orang miskin seringkali dikasihani, dan dianggap tidak berdaya dan pasif. Penggambaran ini mempengaruhi bagaimana kebanyakan solusi untuk mengentaskan kemiskinan terlalu instan dan tidak tepat sasaran.

Menurut Sarah, Nobel untuk Esther dan Abhijit adalah sebuah terobosan. “Kalau dilihat, kebanyakan Hadiah Nobel itu isinya yang teori-teori banget tuh. Sementara perempuan lebih banyak mengambil pendekatan empiris. Makanya persentase perempuan kurang. Sementara Esther dan Abhijit bukan melahirkan teori, tapi lebih ke eksperimental. Dan langsung bisa buat kebijakan,” katanya.

Dalam bukunya, Esther dan Abhijit berkata bahwa penting untuk, “berhenti mereduksi orang miskin sebagai karakter kartun and luangkan waktu untuk benar-benar mengerti kehidupan mereka, dengan segala kompleksitas dan kekayaannya.”

“Ada persepsi bahwa ekonomi tidak membahas masalah riil di dunia nyata. Saya berharap ini (studi dan kemenangannya di Hadiah Nobel Ekonomi) dapat mengubah persepsi itu,” kata Esther.

Share: Esther Duflo dan Suaminya Memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi 2019