General

Desak Dibatalkan, KSPI Sebut UU Cipta Kerja Bikin Kasta Buruh Kian Nyata

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash

Keberadaan omnibus law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dinilai kian nyata  memunculkan adanya “sistem kasta” pada kalangan buruh dan pekerja. Mengapa demikian?

Saat berbincang dengan Asumsi.co, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyo mengungkapkan, hal ini disebabkan oleh semakin tidak jelasnya status buruh yang bisa diperlakukan semena-mena oleh pengusaha.

Karyawan Tetap Kasta Tertinggi

Kasta pertama, ialah karyawan tetap. Menurutnya, kasta ini menjadi jenjang tertinggi bagi para karyawan dan buruh karena UU Cipta Kerja membuat mereka semakin sulit untuk sampai ke titik ini.

Baca juga: Diminta Bayar THR Tepat Waktu, Gimana Respon Buruh dan Pengusaha?

“Status buruh, memang akan semakin enggak jelas. Buruh kehilangan job security, kepastian bekerja. (Kasta) yang pertama ini kan, karyawan tetap yang semakin sulit bisa dicapai buruh, apalagi outsourcing. Omnibus law ini, membuat buruh  semakin berada di posisi sebagai budak,” jelas Kahar melalui sambungan telepon, Sabtu (1/5/21).

Kasta berikutnya, kata dia, yakni karyawan kontrak. Meski berada satu tingkat di bawah karyawan  tetap, namun aturan baru yang tertuang dalam UU Cipta Kerja terasa mendukung pengusaha mempersulit para buruh sampai pada kasta puncak.

Ia menambahkan, lewat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, karyawan kontrak hanya boleh diperpanjang maksimal sebanyak tiga kali. Hal ini, tertuang dalam Pasal 59 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi: 

“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Selanjutnya, pada Pasal 59 ayat (6), pengusaha boleh melakukan pembaruan perjanjian kerja, dengan ketentuan:

“Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu  yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.”

“Total jadinya 5 tahun. Buruh atau karyawan hanya boleh maksimal 3 kali kontrak. Dikatakan di Undang-undang tersebut, kalau lebih dari 3 kali kontrak, maka secara hukum dia karyawan tetap. Nah, di Undang-undang yang baru periode kontrak dihilangkan. Memang dalam aturan pemerintah dalam turunan omnibus law, batasan 5 tahun dimunculkan lagi. Cuma yang tidak sama, berapa kali mereka boleh dikontrak?” ungkapnya.

Aturan ini, menurutnya memungkinkan buruh dapat dikontrak selama berpuluh-puluh kali. “Enggak ada batasan lagi inilah yang kami katakan ada kasta-kasta tersendiri,” imbuhnya.

KSPI Batasi Buruh yang Turun ke Jalan

Sementara, kasta paling bawah, kata Kahar adalah kalangan buruh alih daya alias outsourcing. Mereka merupakan buruh yang dipekerjakan perusahaan lewat jasa penyedia pekerja. Ia pun membandingkan aturan yang ada saat ini, dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyangkut pembatasan ruang lingkup buruh outsourcing.

“Buruh golongan ini, hanya boleh dipekerjakan untuk pekerjaan yang sifatnya penunjang, serta dimanfaatkan untuk 5 jenis pekerjaan. Misalnya satpam, cleaningservice, catering, kemudian yang bekerja untuk pengeboran lepas pantai. Dia itu untuk jenis-jenis pekerjaan yang sifatnya penunjang. Di dalam omnibus law enggak ada lagi. Batasan yang ada di Undang-undang sebelumnya dihilangkan,” terangnya. 

Dengan demikian, ia meyakini ke depan tak menutup kemungkinan seluruh karyawan yang ada di satu perusahaan merupakan outsourcing. “Ini kan, benar-benar semacam perbudakan modern. Jual beli tenaga kerja dan karyawan tetap hanyalah angan-angan bagi para buruh, semakin nyata adanya,” terangnya.

Baca juga: Pengusaha UMKM Soal Bayar Pekerja di Bawah UMP: Tega, Tak Tega

Meski situasi pandemi Covid-19 masih berlangsung saat ini, Kahar memastikan tetap akan ada buruh yang turun ke jalan untuk membawa tuntutan meminta hakim MK, membatalkan omnibus law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.  

“KSPI dan perwakilan buruh tetap akan turun di 24 provinsi. Buruh dari 3.000 pabrik se-Indonesia turun ke jalan. Namun, kami melakukan pembatasan jumlah buruh yang turun ke jalan. kayak di Jakarta hanya sekitar 200 orang buruh yang turun ke jalan dan menerapkan protokol kesehatan pastinya. Sekali lagi, tuntutan para buruh adalah membatalkan Undang-undang Cipta Kerja karena hampir seluruh cluster-nya merugikan mereka,” ungkapnya. 

Selain itu, ia mengungkapkan pada aksi kali ini para buruh juga bakal menyampaikan kritik terhadap sikap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah yang semakin jauh tak berpihak pada kesejahteraan para pekerja. 

“KSPI menilai, Menaker saat inilah yang paling banyak dikritik buruh. Banyak sikapnya yang menunjukkan ketidakpekaan terhadap pekerja. Banyak surat edaran Kemenaker yang dikirtisi buruh, seperti memberikan peluang kepada pengusaha untuk mencicil THR (tunjangan hari raya) para buruh, termasuk surat edaran yang menyatakan selama pandemi, gaji atau honor buruh bisa dirundingkan bersama pengusaha. Kalau begini kan, penghasilan mereka bisa semakin kecil. Kalau ngomong pandemi, jangan cuma peduli ke pengusahanya juga dong,” tuturnya.

Share: Desak Dibatalkan, KSPI Sebut UU Cipta Kerja Bikin Kasta Buruh Kian Nyata