Isu Terkini

Pengusaha UMKM Soal Bayar Pekerja di Bawah UMP: Tega, Tak Tega

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image

Pemilik usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memberikan reaksi soal kebijakan pemerintah yang mengizinkan pembayaran upah pekerja mereka di bawah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kota/kabupaten (UMK).

Wiyarsih, pemilik usaha rumahan Keripik Family asal Lembang, Kabubaten Bandung Barat, menyambut baik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang mengizinkan pengupahan di bawah UMP bagi para pekerjanya.

Saat ini, Wiyarsih mempekerjakan tetangganya untuk memproduksi aneka jenis keripik dari bahan baku singkong, pisang dan talas di rumahnya. Sebagai pelaku usaha kecil, kekayaan bersih yang dimilikinya berkisar antara Rp60 hingga Rp75 juta.

“Kalau keuntungannya, kira-kira Rp150 jutaan lah, per tahun,” kata Winarsih kepada Asumsi.co, Senin (22/02/2021).

Sejauh ini, Wiyarsih membayar  upah para pekerjanya dengan nominal Rp3.250.000.  Jumlah tersebut hanya sedikit melebihi UMK Bandung Barat yang saat ini berada di kisaran Rp3.248.283. Namun, bila diizinkan untuk membayar pegawainya di bawah UMK sesuai dengan PP 36/2021, ia menyebut akan mempertimbangkannya.

Sebenarnya, Winarsih mengaku tidak tega bila harus membayar pegawainya di bawah UMK Bandung Barat.

“Lumayan kalau memang bisa bayar di bawah itu sih (upah UMK). Cuma nggak tega juga, ya. Mereka nanti bisa mengerti sih, kayaknya, kalau upah turun. Soalnya lagi Corona begini. Tega nggak tega, ya,” ungkapnya.

Menurutnya, uang untuk upah para pekerja bisa dialokasikan untuk kebutuhan produksi dan distribusi bahan baku yang saat ini dirasakannya mulai mengalami kenaikan.

“Singkongnya kan, dari Subang. Itu yang antarnya mulai mengeluh juga. ‘Naik Bu ongkosnya.’ Ya, mulai pusing juga saya,” ujar wanita berusia 52 tahun ini.

Sementara itu, Johan, salah satu pengusaha mikro yang menjalankan bisnis konveksi rumahan di Bantul, Yogyakarta sejak 2020, memastikan tidak akan menurunkan upah pegawainya meski PP 36/2021 mengizinkannya.

Diakuinya, nilai kekayaan bersih yang dimilikinya saat ini, sebesar Rp45 juta dengan omzet tahunan sebesar Rp200 juta. Ia pun mengaku belum kesulitan membayar upah karena bisnis konveksinya belum mengalami masalah keuangan yang berarti.

“Mereka sudah saya anggap keluarga. Nggak akan saya turunkan upahnya. Sebenarnya, nggak setuju juga ya sama kebijakan ini,” jelasnya.

Pria kelahiran Magelang ini mengatakan, dirinya mengupah tujuh orang pegawainya, masing-masing sebesar Rp2.000.000. Nominal ini lebih besar dari UMK Kabupaten Bantul 2021, senilai Rp 1.842.460

“Upah ini, belum termasuk uang lembur. Mereka kerjanya militan. Bahkan saya suka kasih bonus juga,” imbuh Johan.

Lebih jauh, dirinya mengharapkan agar para pelaku UMKM tidak manut pada PP 36/2021. Pasalnya, menurutnya hal ini malah menambah derita para pekerja UMKM yang tengah berusaha menyambung hidup di masa pandemi.

“Apalagi, pegawai saya ada dua orang korban PHK dari pabrik. Kalau sekarang kerja sama saya, UMKM lagi bisnis saya ini, terus gajinya diturunin lagi, nggak manusiawi,” tuturnya.

Menyoroti isu ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyayangkan PP yang dibuat oleh pemerintah, sebagai turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 11 tentang Cipta Kerja ini.

“Semangat Undang-Undang Cipta Kerja ini kan, memang dalam rangka menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, tapi bukan berarti mengorbankan salah satu pihak. Dalam hal ini pekerja di sektor UMKM,” kata Enny.

Ia menyarankan, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali soal penerapan PP ini dengan memikirkan dampak jangka panjangnya. UMKM, kata dia, saat ini merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi terbesar di masa pandemi COVID-19.

“Pemerintah mengeluarkan kebijakan UMKM boleh di bawah UMP ini bisa berdampak ganda, artinya bisa memicu semakin banyak pelaku usaha yang merugikan pekerja dan memberikan gelombang protes buruh yang lebih besar,” tandasnya.

Share: Pengusaha UMKM Soal Bayar Pekerja di Bawah UMP: Tega, Tak Tega