Belum selesai duka dan rehabilitasi yang dilakukan setelah gempa bumi menimpa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), terjadi lagi gempa bumi yang disusul tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Dengan wilayah terparah menimpa Donggala, gempa bumi ini memiliki kekuatan 7.4 Skala Richter (SR). Namun sayangnya, tsunami yang terjadi sempat tidak terdeteksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Adalah buoy, sistem pelampung yang diletakkan di tengah laut guna mendeteksi gelombang pasang dan tsunami. Buoy ini semestinya menjadi opsi teknologi pendeteksi dini tercepat atas peluang terjadinya tsunami di wilayah-wilayah Indonesia. Sayangnya, 22 buoy yang terdapat di seluruh perairan Indonesia rusak semua. Itulah sebabnya tsunami kemarin tidak terdeteksi lebih awal.
Buoy yang ada di Indonesia sendiri merupakan hasil hibah dari negara lain, seperti Jerman yang memberikan 10 unit sepaket dengan German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS) yang berharga Rp 610 miliar. Selain Jerman, Amerika Serikat juga turut menyumbangkan 3 unit buoy bernama sistem Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART).
Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Nasional (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, seharusnya buoy ada di tiap wilayah perairan Indonesia mengingat gunanya yang sangat penting untuk memberikan peringatan dini terhadap tsunami.
“Buoy tsunami tidak ada lagi di Indonesia, padahal itu diperlukan untuk memastikan tsunami sebagai sistem peringatan dini,” ujar Sutopo di Jakarta, Minggu (30/09) dilansir dari BBC.com.
Kerusakan buoy ini juga menggaanggu kinerja BMKG. Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, menyebutkan bahwa setelah buoy rusak pendeteksian tsunami hanya dilakukan menggunakan perangkat lunak, dengan sistem berhitungan kedalaman dan besaran magnitude gempa. Padahal dulunya skenario pendeteksian ini dimulai dengan data yang didapat dari buoy untuk dilanjutkan analisanya oleh BMKG. Alhasil, Rahmat melanjutkan, saat ini BMKG tidak dapat bekerja dengan maksimal dan mengakibatkan deteksinya tidak selalu akurat.
Baca juga: 5 Info Penting dari Perkembangan Gempa Palu
Ternyata, menurut BNPB, salah satu penyebab kerusakan buoy tersebut dikarenakan anggaran perawatan yang minim. Padalah potensi bencana di Indonesia termasuk tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya, kegiatan sosialisasi terhadap peringatan dini tsunami dan perawatan buoy pun sulit dilakukan.
“Ini berpengaruh terhadap upaya navigasi kepada masyarakat, bagaimana kita bersosialisasi dan melakukan pengurangan risiko bencana. Memang peringatan dini dan sebagainya jadi terbatas karena anggarannya yang memang terus berkurang,” jelas Sutopo dilansir dari Tirto.id.
Untuk itu, diperlukan tambahan anggaran jika harus membeli alat deteksi tsunami berteknologi tinggi ini. Padahal untuk saat ini saja, anggaran yang dimiliki BMKG hanya untuk pemeliharaan 70 sensor gempa dari total 170 alat yang ada di Indonesia. Jadi sekarang masalahnya, haruskah hal seperti ini terus terjadi atau memang harus diadakan penambahan anggaran?