Isu Terkini

Belajar dari Kasus Dokter Kevin: Perlukah Aturan Bermedsos Bagi Tenaga Kesehatan?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash

Nama Dokter Kevin Samuel Marpaung jadi sorotan dalam beberapa hari terakhir lantaran membuat konten TikTok yang dianggap melecehkan perempuan. Profesi dokter pun ikut kena imbas soal sejauh apa tenaga kesehatan atau dokter-dokter di Indonesia boleh membuat konten di media sosial.

Dalam beberapa waktu terakhir, tenaga kesehatan kerap membuat konten video TikTok yang dinilai melanggar kode etik. Meski isi kontennya tak mengumbar nama si pasien, tetap saja publik marah lantaran dianggap tak etis dan tak pantas dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan yang mestinya memberikan informasi edukatif.

Sejauh ini, memang belum ada aturan khusus terkait kode etik profesi di media sosial bagi dokter atau tenaga kesehatan. Hal itu disampaikan pula oleh Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pusat Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) Dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS, yang menyebut bahwa belum ada regulasi etik yang mengatur perilaku tenaga kesehatan dalam bermedia sosial.

Meski belum ada aturan khusus terkait etika bermedsos bagi tenaga kesehatan dan dokter, tapi sejauh ini sudah banyak tulisan ilmiah dan seminar yang bisa menjadi acuannya.

“Akan ada regulasi terkait etika bermedia sosial dalam waktu dekat. Semoga dapat dirilis regulasi etik terkait,” kata Dokter Pukovisa kepada Asumsi.co lewat pesan singkat, Senin (19/04/21).

Baca Juga: Sidang Etik Kedokteran Menunggu Kevin Samuel, Seperti Apa Prosesnya?

Dokter Pukovisa mengatakan bahwa pihaknya sebetulnya sudah menggodok regulasi terkait sejak beberapa waktu lalu. Namun, belum bisa direalisasikan karena berbagai alasan. Meski demikian, Dokter Pukovisa mengatakan, jika sudah ada regulasi baku, maka diharapkan bisa jadi standar acuan bagi tenaga kesehatan dalam bermedsos.

Menurut Dokter Pukovisa, sejauh ini memang sudah banyak jurnal ilmiah dan seminar yang membahas tema ini, terutama sejak tren penggunaan media sosial meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Sehingga, lanjutnya, sebagian besar tenaga kesehatan mestinya sudah paham etika dalam bermedia sosial. Bahkan, Dokter Pukovisa juga sudah pernah menulis tema terkait di Jurnal Etika Kedokteran Indonesia.

Dalam riset yang dipublikasikan tahun 2017 bertajuk “Tinjauan Etika Penggunaan Media Sosial oleh Dokter”, Pukovisa berpendapat perlunya kesadaran bahwa aktivitas di media sosial juga harus memperhatikan nilai etika profesi kedokteran.

Misalnya, beberapa hal yang harus diperhatikan di antaranya tujuan dan nilai etika yang diterapkan ketika memanfaatkan media sosial. Ia pun menyarankan agar tenaga kesehatan bisa menggunakan jenis media sosial sesuai tujuannya, berkaca pada aturan yang berkembang di Eropa.

Menurut Dokter Pukovisa, kalau diperlukan maka gunakan dua akun berbeda di media sosial, yang pertama untuk edukasi kesehatan dan yang kedua untuk ekspresi pribadi.

​Baca Juga: Konten TikTok “Persalinan” Dokter Kevin Samuel Dinilai Melecehkan

Lalu, terkait konten yang tidak memerlukan batasan dan tidak ditujukan bagi publik, disarankan menggunakan media sosial dengan tingkat keamanan dan privasi yang baik.

Meski begitu, menurut Dokter Pukovisa, aturan baku perihal etika kedokteran dalam pembatasan umum aktivitas media sosial tentu saja tetap mendesak dibutuhkan. Hal itu tentu saja agar mengarahkan aktivitas medsos dokter supaya tetap produktif dan sesuai etika profesinya.

Bagaimana dengan Aturan di Negara Lain?

Berdasarkan panduan British Medical Association (BMA) terkait Social media, ethics and professionalism, seseorang yang berprofesi sebagai dokter ataupun mahasiswa kedokteran, pada hakikatnya boleh menggunakan media sosial untuk berbagi gagasan dan informasi, berkampanye, memperdebatkan masalah kesehatan, dan mengikuti perkembangan terkini seperti yang umumnya dilakukan oleh orang lain.

Tapi, yang perlu jadi perhatian adalah bahwa penggunaan media sosial juga berpotensi mencampuradukkan batas antara hal yang bersifat pribadi dan profesionalisme kerja, yang memungkinkan terjadinya pelanggaran kode etik.

Dalam hal ini, kalau saja penggunaan media sosial tak dilakukan secara bijak, maka dapat menimbulkan risiko. Merujuk panduan itu, setidaknya terdapat delapan poin bagi seorang dokter maupun mahasiswa kedokteran sebagai panduan menggunakan media sosial.

  • Di Media Sosial, Dokter Tetaplah Dokter. Kepribadian seseorang tetap akan tergambarkan dari apa saja yang diunggahnya di media sosial. Seorang dokter atau tenaga kesehatan yang mengunggah sesuatu yang berkaitan dengan hal medis di media sosial, tentu saja hal itu secara langsung akan bersinggungan dengan standar etis dan profesional kerja, ketimbang saat mengunggah hal yang bersifat pribadi.
  • Rahasia Pasien Perlu Dijaga. Seorang dokter atau tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab hukum dan etika untuk menjaga semua kerahasian data pribadi pasien. Kalau sewaktu-waktu hendak membagikan pengalaman klinis, pastikan bahwa hal itu sudah mendapatkan persetujuan dari pasien.Tentu saja dokter atau tenaga kesehatan perlu berhati-hati saat membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan individu atau kasus medis tertentu.
  • Jika Hendak Berbagi Foto Pasien, Maka Perlu Ikuti Panduan General Medical Council (GMC). Kalau dokter atau tenaga kesehatan mengambil atau berbagi foto pasien yang berkaitan dengan kasus klinis, maka wajib memperhatikan aturan dan etika sebelum mengunggah ke media sosial. Selain itu, pastikan juga sudah mendapatkan persetujuan dari si pasien.Merujuk panduan GMC, tentu saja dokter atau tenaga kesehatan harus berhati-hati jika tidak sengaja mengambil gambar di tempat kerja yang bisa melanggar kerahasiaan.
  • Pertahankan Batas Profesionalisme. Hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga batasan jarak antara pribadi dan profesionalisme kerja. Misalnya, jika sedang menggunakan facebook, secara umum mungkin tidak bijaksana untuk menerima permintaan pertemanan dari pasien, sehingga dokter atau tenaga kesehatan perlu mempertimbangkannya. Mungkin ada situasi lain di mana anda bisa berinteraksi dengan pasien di media sosial. Secara umum, ini tidak menjadi masalah, namun yang perlu diperhatikan adalah dokter atau tenaga kesehatan harus mengesampingkan hal-hal, seperti konteks antara dokter dan pasiennya.
  • Berpikir Dulu Sebelum Membagikan Sesuatu. Sifat informal dan real-time media sosial adalah dua kekuatannya, tapi bisa juga menjebak. Stres dalam bekerja adalah sebuah tantangan, seseorang seringkali meluapkan kekesalannya di media sosial, namun hal tersebut tidak selalu menjadi tempat terbaik untuk dilakukan.Semua orang memiliki hak dan kebebasan untuk berbicara tapi hal tersebut tidaklah mutlak. Dalam kondisi ini, hindari berkomentar buruk tentang individu atau organisasi, yang bisa dianggap tidak pantas atau tidak berdasar.Berdasarkan panduan GMC bahwa jika seseorang mengidentifikasi diri sebagai dokter di media sosial, maka itu adalah praktik terbaik, tapi tidak wajib. Identifikasilah diri sebagai dokter saat membahas kesehatan dan perawatan kesehatan.
  • Hati-hati saat Memberikan Saran Pengobatan. Dokter dan mahasiswa kedokteran bisa menggunakan keahlian dan pengalamannya dalam memberikan informasi seputar masalah kesehatan kepada publik, namun hal yang perlu diperhatikan adalah hindari melakukan diskusi atau memberikan saran kepada pasien di sosial media.Menurut GMC, seorang dokter dilarang mendiskusikan kesehatan pasiennya, karena dapat diakses oleh publik
  • Terbuka Perihal Konflik KepentinganKalau dokter menggunggah sesuatu yang berkaitan dengan masalah kesehatan, maka hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang dapat diterima dan dipercaya. Berusahalah untuk jujur, dan terbuka tentang berbagai isu.Merujuk GMC, aturan terkait hal ini bisa dibaca dan diikuti.
  • Kelola Privasi dan Keamanan Akun Media Sosial dengan Baik. Terakhir, tentu saja perlu menjaga kerahasiaan dan keamanan akun media sosial dokter, untuk menjaga resiko dari setiap unggahan yang bisa saja dibagikan secara luas di luar konteks. Bahkan fasilitas direct message di Twitter bisa di screen capture dan dibagikan, sehingga perlu untuk meninjau media sosial secara berkala.

Sebelumnya Dokter muda bernama Kevin Samuel Marpaung dikecam berbagai pihak karena membuat konten TikTok mengenai pemeriksaan vagina dalam persiapan persalinan. Adapun Kevin Samuel mengunggah video itu lewat akun TikTok-nya, @dr.kepinsamuelmpg, Sabtu (17/4/21).

Dalam video berdurasi 15 detik, terdapat adegan Kevin Samuel yang sedang memeragakan pemeriksaan vagina, yang disertai musik dan teks percakapan dengan bidan.

Video TikTok itu dinilai melecehkan perempuan dan melanggar kode etik. Setelah viral di media sosial lain, yakni Twitter, dan dikecam banyak pihak, video asli dari adegan tersebut akhirnya dihapus, termasuk akun TikTok milik Kevin Samuel juga hilang.

MKEK IDI akan segera menggelar sidang etik yang akan menghadirkan Kevin Samuel terkait unggahan video di TikTok tersebut.

“Ya, ditunggu saja prosesnya. Sidang kita lakukan, yang pasti kami proses. Nanti prosesnya juga apakah dihadiri [Kevin Samuel], kan belum tentu dihadiri juga,” kata Pukovisa, Senin (19/4).

Namun, Pukovisa mengatakan, pihaknya sejauh ini masih berkoordinasi dengan pihak yang menangani kasus tersebut, yakni MKEK IDI Jakarta Selatan. Sehingga, ia sendiri belum bisa memastikan apakah sidang bisa berlangsung hari ini.”Kalau sudah ada hasil, saya janji, karena sudah jadi perhatian publik, kami akan rilis, tapi kalau sudah selesai ya.”

Share: Belajar dari Kasus Dokter Kevin: Perlukah Aturan Bermedsos Bagi Tenaga Kesehatan?