Peretasan serentak dilaporkan menimpa sejumlah aktivis yang hendak menggelar diskusi daring “Menelisik Pelemahan KPK Melalui Pemberhentian 75 Pegawai” yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Senin, 17 Mei 2021.
Mengutip Tempo, mantan Ketua KPK Abraham Samad menjadi salah satu korbannya. Nama Abraham dicatut oleh sebuah akun Zoom yang dioperasikan oleh orang tak dikenal untuk menampilkan gambar yang diduga memuat unsur pornografi.
Hal ini terjadi di sela-sela penyampaian pernyataan dari mantan pimpinan KPK Muchamad Jasin. Tiba-tiba, layar beralih ke akun bernama Abraham Samad. Terlihat ada tangan menyodorkan layar ponsel yang menampilkan gambar diduga mesum ke arah kamera gawai yang digunakan untuk Zoom.
Baca juga: Rapor Merah Kebebasan Pers Indonesia, 70 Persen Kekerasan Dilakukan oleh Polisi | Asumsi
Dua mantan pimpinan KPK lainnya, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto juga mengatakan mengalami peretasan pada akun WhatsApp mereka sehingga harus menggunakan aplikasi lain uruk bertukar pesan. Selain mengalami peretasan, mereka berdua mengaku juga terus ditelepon oleh nomor-nomor tak dikenal. Sejumlah aktivis ICW pun mengalami peretasan sepanjang siang kemarin dan bahkan moderator diskusi Nisa Zonzoa mengaku menerima panggilan telepon yang tidak kunjung berhenti selama acara berlangsung.
Hak Digital Terancam
Peretasan serentak pada sejumlah aktivis penolak Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK menambah daftar ancaman terhadap hak digital warga dan juga daftar panjang serangan digital kepada pengguna internet di Indonesia yang makin memburuk sejak 2018.
Mengacu pada laporan South Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) di akhir April 2021 lalu, insiden serangan digital meningkat tajam pada tahun 2020. Terdapat 147 insiden serangan digital atau rata-rata 12 kali tiap bulan dengan puncak insiden pada Oktober 2020 dengan 41 kali serangan digital.
Kepolisian Republik Indonesia melalui Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri juga merilis data yang tak jauh beda. Dalam laporan Polri, selama tahun 2020, ada 138 laporan akses ilegal, 39 laporan pencurian data pribadi, 24 laporan intersepsi ilegal, 18 laporan peretasan sistem elektronik, dan sembilan laporan pengubahan tampilan situs.
Baca juga: Keputusan Soal UU ITE, Bukti Pemerintah Belum Serius! | Asumsi
SAFEnet tak memungkiri kalau berdasarkan grafik, fluktuasi serangan digital dipengaruhi juga oleh situasi politik nasional. Peningkatan pesat serangan digital pada Oktober 2020 berkelindan dengan penolakan Omnibus Law Cipta Kerja melalui sejumlah tagar, seperti #TolakOmnibusLaw, #MosiTidakPercaya, dan semacamnya, di media sosial.
Serangan digital di rentang Oktober 2020 tadi, di antaranya, mengenai sejumlah aktivis, seperti Ketua BEM UI Fajar Adi Nugroho atau peretasan pada situs web dan akun media sosial aliansi masyarakat sipil, termasuk Fraksi Rakyat Indonesia dan Bersihkan Indonesia.
Peretasan web juga menimpa sejumlah kanal berita, di antaranya Tirto.id, Tempo.co, dan Kompas.com dengan serangan yang berbeda, mulai dari penggantian halaman depan hingga penghapusan berita.
Mengacu pada data SAFEnet, serangan digital yang mendominasi di tahun lalu adalah peretasan, yang mencapai 114 insiden, kemudian doxing (14), hingga DDoS, impersonansi, phising, pencurian data pribadi, dan lain-lain, yang jumlahnya masing-masing berkisar di antara dua sampai empat kasus.
Website menjadi platform yang paling banyak diserang tahun lalu dengan 45 kasus, diikuti Whatsapp (33), Instagram (24), Twitter (19), dan lain-lain.
Baca juga: 500 Juta Data Pengguna LinkedIn Bocor, Laku di Pasar Gelap! | Asumsi
Pemerintah memang menjadi pihak yang paling banyak mendapat serangan digital dengan 38 kasus. Namun sisanya banyak mengenai kelompok kritis. Kelompok itu, yakni Jurnalis (26), aktivis (25), mahasiswa (19), dan LSM (15). Data ini diasumsikan SAFEnet kalau serangan digital tidak terjadi begitu saja, tetapi sudah menarget kelompok tertentu, terutama yang mengritik atau berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Sayang, tak mudah untuk menemukan bukti siapa aktor di balik serangan digital.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, data ini menunjukkan situasi hak-hak digital di Indonesia kian memburuk. “Mulai dari status Waspada pada tahun 2018, lalu Siaga Satu di tahun 2019, dan kita semakin mendekati otoritarianisme digital karena pada tahun 2020 meningkat statusnya menjadi Siaga Dua,” ucap dia.
Ia menambahkan, peretasan yang menimpa aktivis penolak TWK-KPK membuat level pelanggaran hak digital publik tetap jalan di tempat, yakni pada posisi siaga dua. Itu artinya sudah mendekati level awas pada otoritarianisme digital.
Damar menjelaskan, serangan digital bermotif politik dalam kejadian kemarin adalah salah satu indikatornya. “Karena serangan digital dipakai untuk melemahkan gerakan masyarakat sipil,” kata Damar kepada Asumsi.
Menurut data yang ia pantau, kondisi ini mulai memburuk sejak 2019. Hanya saja intensitasnya makin lama makin banyak dan makin sering. Dari sejumlah insiden yang terjadi, memang banyak yang dilaporkan. Salah satunya peretasan yang menimpa aktivis Ravio Patra atau Kompas dan Tirto. Namun, sampai hari ini pihaknya belum dengar ada kasus yang berhasil dipecahkan polisi.
“Ada kesan juga tebang pilih dalam kasus peretasan, misalnya kalau dibandingkan dengan yang dialami oleh Denny Siregar dan pembobolan situs Polisi,” ucap dia.