Peraturan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker)
Nomor 2 Tahun 2022, tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat
pencairan jaminan hari tua (JHT) yang baru bisa diambil pekerja pada usia 56
tahun, memunculkan petisi penolakan dari rakyat.
Bunyi Petisi
Petisi yang diterbitkan di laman change.org
ini, hingga Minggu (13/2/2022) telah ditandandatangani 275.910 orang. Pada
laman tersebut, disampaikan digagasnya petisi ini disebabkan oleh aturan baru
tersebut bakal merugikan kehidupan para buruh.
“Bagi buruh yang di PHK atau mengundurkan diri, baru
bisa mengambil dana Jaminan Hari Tuanya saat usia pensiun. Jadi kalau
buruh/pekerja di-PHK saat berumur 30 tahun maka dia baru bisa ambil dana
JHT-nya di usia 56 tahun atau 26 tahun setelah di-PHK,” demikian
disampaikan bagian pernyataan petisi tersebut.
Menurut pernyataan yang sama, penggagas petisi menyatakan
kalau saat ini dana kelolaan BPJS Tenaga Kerja sudah lebih dari Rp 550 Trilyun.
Sebagai pekerja, menurut mereka para buruh sangat membutuhkan dana tersebut
untuk modal usaha setelah di PHK .
“Di aturan sebelumnya pekerja terkena PHK atau
mengundurkan diri atau habis masa kontraknya bisa mencairkan JHT setelah 1
bulan resmi tidak bekerja. Mari kita suarakan bersama-sama untuk tolak dan
#BatalkanPermenakerNomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran
Manfaat Jaminan Hari Tua,” pungkas petisi tersebut.
Dukungan Partai Buruh
Menyikapi kemunculan petisi daring
ini, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menegaskan kalau pihaknya siap mendukung
perjuangan serikat buruh yang menolak keberadaan kebijakan baru yang bakal
mulai diterapkan Mei mendatang ini.
Ia pun mempertanyakan urgensi dari revisi beleid tersebut,
mengingat PHK yang terjadi di negeri ini masih tinggi serta dunia usaha yang belum
bangkit akibat terus terdampak pandemi COVID-19.
“Jika akibat pandemi ke depan gelombang PHK akan besar,
lantas salah satu sandaran buruh adalah JHT, namun JHT mereka baru bisa diambil
pada usia 56 tahun. Mereka jadi enggak punya pegangan nanti setelah kena
PHK,” tuturnya kepada Asumsi.co melalui pesan singkat, Minggu (13/2/2022).
Ia menyebutkan aturan yang memutuskan kalau JHT baru bisa
dicairkan pada saat pekerja atau buruh berusia 56 tahun, maka akan membuat
kehidupan mereka sengsara setelah kena PHK.
“Kalau tidak bisa diambil karena harus menunggu usia
pensiun, lalu buruh harus makan apa? Katakanlah ada buruh berhenti bekerja atau
kena PHK di usia 30 tahun. Maka dia harus menunggu selama 26 tahun untuk bisa
mengambil uang JHT miliknya,” ujarnya.
Bakal Unjuk Rasa
Said menilai, kebijakan ini memberikan
kesan pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziah terus
menerus menindas serta merampas hak para pekerja di tanah air.
“Ini tindakan tanpa hati yang dilakukan Menaker.
Sebaiknya pemerintah membatalkannya dan Presiden Joko Widodo memecat Menteri
Ketenagakerjaan Ida Fauziyah,” ungkapnya.
Dirinya menambahkan, kebijakan baru ini kian menegaskan
posisi Menaker saat ini yang lebih mementingkan kelompok pengusaha, alih-alih
para buruh atau pekerja.
Sebagai bentuk dukungan terhadap petisi ini, ia mengatakan
Partai Buruh berencana melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Kemenaker dalam
waktu dekat.
“Partai Buruh juga akan ikut melakukan unjuk rasa ke
Kantor Kemenaker bersama-sama dengan ribuan buruh untuk mendesak agar
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 segera direvisi, dibatalkan kebijakan yang tak
berpihak pada mereka,” tandasnya.
Dinilai Wajar
Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie
Rahmawati, menilai wajar kemunculan petisi ini hingga ditandatangani ratusan
ribu rakyat.
Menurutnya kebijakan pencairan JHT yang memicu polemik
hingga menghadirkan petisi daring, disebabkan oleh ketidakjelasan pemerintah
dalam menyampaikan rencana aturan ini.
“Menurut hemat saya, program ini perlu dijelaskan
terlebih dahulu oleh pemerintah secara detail. Mungkin ada hal positif cuma
karena yang kurang sosialisasi pemerintah jadi begini,” katanya saat
dihubungi terpisah melalui sambungan telepon.
Kurangnya sosialisasi dan komunikasi dengan melibatkan para
pekerja terkait kebijakan ini, menurutnya memicu kesan kalau sekilas kebijakan
ini dianggap bisa menyulitkan hidup rakyat.
“Maka langkah cepat perlu pemerintah menjelaskan secara
mendetail latar belakang kebijakan ini dikeluarkan dan kenapa mesti
diterapkan,” ungkapnya.
Kemungkinan Dibatalkan: Menurutnya, soal kemungkinan petisi
ini bisa membuat kebijakan ini dibatalkan oleh pemerintah belum tentu bisa
terjadi.
Justru, ia menyebutkan kalau pemerintah bisa meyakinkan
rakyat kalau kebijakan ini baik dan tidak merugikan, malah banyak rakyat yang
memberikan dukungan.
“Pemerintah harus segera menjelaskan karena bisa saja
rakyat yang tadinya menolak, malah nantinya jadi beralih jadi mendukung. Jadi
bukan soal seberapa mungkin dibatalkan, sosisalisasikan dulu yang benar oleh
pemerintah,” ujarnya.
Baca Juga