Baru-baru ini, viral video seorang pria yang membuang dan menendang sesajen di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru di media sosial. Kecaman warganet atas perbuatan pria tersebut pun tak terelakkan.
Dalam video tersebut, terdengar pria itu berbicara seraya membuang sesajen yang dibuat warga setempat. Ia menyebut sesajen yang ada di sana, menghadirkan azab bagi masyarakat setempat.
“Ini yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar,” ucap pria tersebut.
Sikapnya dianggap publik sebagai perilaku yang tidak menghargai adat istiadat dan keyakinan orang lain.
Dilaporkan ke Polisi
Viralnya video dan ramainya kecaman warganet ini membuat Bupati Lumajang Thoriqul Haq merasa gusar dengan pria tersebut. Ia lalu meminta masyarakat dan aparat untuk mencari pria yang membuang serta menendang sesajen di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru.
“Saya minta semua teman-teman, baik aparat maupun relawan di sana untuk mencari. sampai sekarang belum ketemu, saya minta segera ketemu,” ujar Thoriq.
DPD Prajaniti Hindu Indonesia Jawa Timur melaporkan pria yang menendang sesajen di lokasi bencana Gunung Semeru ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jatim, pada Senin (10/1/2022).
Pihak kepolisian Lumajang mengungkapkan kalau mereka sudah mengetahui identitas dari pelaku pembuangan sesajen itu. Pelaku ialah warga Dusun Tarang Tereng, Nusa Tenggara Barat yang saat ini masih diburu aparat.
Sesajen Penghubung dengan Tuhan
Selama ini, sesajen lekat dengan bagian dari ritual agama Hindu dan kepercayaan tertentu. Namun, ternyata sesajen bukan hanya soal keyakinan melainkan juga bagian dari budaya yang lekat dengan nuansa spiritual di negeri ini.
Jurnal Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development (IJSED) berjudul “Sesajen sebagai Nilai hidup bermasyarakat di Kampung Cipicung Girang Kota Bandung” (2019), dengan Ujang Kusnadi Adam sebagai penulis utama mendalami soal sesajen sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Ujang menuliskan, sesajen merupakan salah satu unsur spiritual yang melekat di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Sesajen atau yang juga disebut sebagai sesaji pada dasarnya digunakan untuk persembahan kepada Dzat Ilahi dan juga makhluk-makhluk halus lainnya.
“Akan tetapi ritual ini dipandang sangat aneh ketika dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi. Banyaknya kebudayaan yang ada di pulau Jawa tidak terlepas dari unsur-unsur spiritual, salah satu dari unsur spiritual yang kental yaitu kepercayaan-kepercayaan akan mitos di dalamnya,” tulis jurnal tersebut.
Orang-orang yang masih meyakini sakralnya penggunaan sesajen, lanjut riset tersebut hingga kini dianggap sebagai bagian penting dari ritual budaya yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara dunia manusia dengan Tuhan.
“Aktivitas ini merupakan suatu upaya untuk mencapai keselamatan dalam hidup, serta menjadi suatu ritual adat istiadat masyarakat. Sesajen diyakini manusia sebagai bagian dari cara untuk menjaga keharmonisan antar makhluk supaya kehidupan yang damai senantiasa terpelihara,” lanjut jurnal tersebut.
Ujang menuliskan, melekatnya nilai adat dan budaya ini, secara tidak langsung menjadi sebuah identitas sosial yang dimiliki secara bersama-sama serta disepakati oleh beberapa orang.
“Identitas ini juga, sangat melekat menjadi ciri khas masyarakat tradisional yang menjaga tradisi dengan nilai waris yang sangat tinggi,” imbuhnya.
Akar Budaya
Ujang Kusnadi Adam menerangkan, akar kebudayaan yang menghadirkan ritual sesajen memang tidak terlepas dari unsur budaya Hindu yang melekat di masyarakat Indonesia saat awal penyebarannya di berbagai daerah.
Ia mencatatkan, keberadaan sesajen sebagai bagian dari kebudayaan diawali dengan tersebarnya agama Hindhu yang disebarkan oleh kerajaan yang berada di Indonesia.
“Seperti kerajaaan Mataram, Majapahit, Sriwijaya, dan Pajajaran,” tulis Ujang.
Tak hanya keyakinan Hindu secara tunggal, akhirnya sesajen melebur dengan agama dan keyakinan lainnya seperti kejawen yang dianut masyarakat Indonesia.
“Khususnya di wilayah Jawa dan Bali, dan menjadi akulturasi dan bercampurnya budaya dengan budaya yang baru masuk ke Indonesia, seperti sesajen akulturasi dari budaya Hindu dan Islam,” terangnya.
Indonesia yang merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, menurutnya semestinya mensyukuri masih memiliki tradisi yang masih dipertahankan dan dilestarikan hingga saat ini.
“Kebudayaan ini dapat dilestarikan dengan seluruh aspek yang ikut serta dalam melestarikan budaya ini dan dapat menjadi identitas masyarakat serta kearifan lokal,” tuturnya.
Harus Saling Menghormati
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo menyayangkan adanya sikap pembuangan sesajen yang ramai diperbincangkan di media sosial. Menurutnya, sikap tersebut sangat menunjukkan sikap tak menghormati perbedaan yang ada di tengah masyarakat.
Menurutnya, hal ini menjadi refleksi bagi semua orang pentingnya menjaga sikap untuk selalu menghormati segala bentuk perbedaan, sekaligus tak menjadikan perbedaan sebagai dasar kebencian terhadap sesuatu.
“Tentunya penting bagi kita untuk harus saling mengingatkan dan menegur orang-orang yang memiliki pola pikir tertutup untuk selalu menghormati perbedaan,” kata Paulus kepada Asumsi.co melalui pesan singkat, Selasa (11/1/2022).
Ekspresi Budaya
Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan sesajen merupakan bagian dari cara masyarakat untuk bisa mendekatkan diri dengan entitas di luar dirinya secara spiritual.
Ia mengamini, di negeri ini sesajen merupakan bagian dari kebudayaan yang akhirnya melekat pada ritual dalam adat istiadat tertentu. Saat sudah dianggap sebagai budaya, maka sesajen tidak bisa disebut sebagai sebuah perbuayan yang salah dari kaca mata sosial.
“Sesajen adalah ekspresi upaya masyarakat kita yang menjadi bagian dari melestarikan budaya nenek moyang. Ini bukan sesuatu yang buruk,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Devie mengatakan, munculnya anggapan sesajen sebagai perbuatan yang mengarah ke mistis dan klenik bagi segelintir orang karena adanya sikap tidak terbuka pada perbedaan keyakinan.
“Menariknya, di era yang serba digital belum cukup mampu membuat semua orang bersikap terbuka terhadap perbedaan. Padahal perbedaan itu juga diciptakan oleh Tuhan. Bahayanya ketika ketidakterbukaan pada perbedaan, memunculkan aksi kekerasan dan pemaksaan,” tandasnya. (zal)
Baca Juga:
Pria Buang dan Tendang Sesajen di Lokasi Erupsi Semeru Diburu Aparat
Ritual Pabbagang Yakinkan Nelayan Untuk Tetap Melaut, Bagaimana Bisa?