Publik terkejut mendengar adanya kabar permintaan dan permohonan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI), terhadap seluruh arsip digital milik studio musik Lokananta.
Pasalnya, niat untuk meminta arsip digital menjadi koleksi perpustakaan audio RRI hanya akan dibayar tiap item masternya seharga Rp10.000.
Padahal Lokananta diketahui memiliki sejarah tersendiri sebagai lokasi koleksi arsip berbagai piringan hitam dan dokumentasi suara yang berisi berbagai kebudayaan Indonesia. Bahkan, eksistensi Lokananta erat kaitannya dengan sejarah musik di tanah air.
Sejarah Lokananta
Mengutip situs Pemkot Surakarta, Lokananta berperan besar sebagai tempat studi musik tertua di Indonesia, sekaligus menjadi tonggak penting dalam perkembangan musik Nusantara.
Lokananta didirikan pada 29 Oktober 1956 dengan dua tugas besar. yakni produksi dan menduplikasi piringan hitam. Seiring perkembangan zaman, studio ini kemudian memproduksi VHS, kaset audio, hingga produksi cakram padat atau compact disk (CD).
Jurnal “Lokananta Arsip Sejarah Musik Indonesia yang Terlupakan” yang ditulis Gading Pramu Wijaya tahun 2019 menceritakan, keberadaan Lokananta disambut baik oleh Presiden Soekarno. Sebab, kehadiran Lokananta lebih banyak memproduksi musik daerah atau musik gamelan.
“Tugas utama Lokananta adalah memproduksi dan menduplikasi piringan hitam dan pita kaset. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label Lokananta,” tulis jurnal tersebut.
Banyak artis legendaris yang meraih ketenarannya sejak melakukan rekaman musik di studio yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani No. 387, Solo ini. Sebut saja Titiek Puspa, Waldjinah, Gesang, Bing Slamet, hingga Sam Saimun.
“Album penyanyi keroncong Waldjinah menjadi kaset pertama yang diproduksi oleh Lokananta,” tulis sumber tersebut.
Dekade 1970-an hingga 1980-an menjadi era keemasan bagi Lokananta sebagai sentra produksi segala hal seputar permusikan Indonesia.
Namun memasuki tahun 1990-an, saat pembajakan musik mulai marak terjadi di Indonesia, kesuraman menyelimuti eksistensi Lokananta. Masa kelam Lokananta kian menjadi saat Departemen Penerangan dibubarkan pada tahun 1999 oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemerintah Indonesia lalu melikuidasi Lokananta.
Di tahun 2004, Lokananta diakuisisi oleh Perum Percetakan menjadi kantor cabang di Solo dan dinamakan Perum Percetakan Negara RI Cabang Surakarta -Lokananta.
Cagar Budaya Hingga Studio Rekaman
Jurnal “Peningkatan Daya Saing Lokananta sebagai Destinasi Wisata Sejarah di Surakarta” yang ditulis Tiwuk Kusuma Hastuti pada tahun 2019, mencatatkan Lokananta ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Surakarta
“Hal ini berdasarkan Penetapan Pemerintah Kota Surakarta Melalui Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang Kota Nomor 646/40/I/2014 tentang Penetapan bangunan yang dianggap telah memenuhi kriteria sebagai cagar budaya, sesuai Undang-undang RI Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya,” tulis jurnal tersebut.
Sebagai Perum Percetakan Negara RI cabang Surakarta, Lokananta memiliki kegiatan produksi mulai dari tempat rekaman (recording), studio musik, penyiaran, serta percetakan sekaligus penerbitan.
Aset musik Lokananta pun terbilang lengkap karena memiliki beragam koleksi piringan hitam yang terdiri dari lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia, mulai dari etnik sampai folklor berbagai daerah, seperti Jawa, Bali, Sunda, hingga Sumatra Utara.
Studio Lokananta di Surakarta kini lebih dikenal sebagai tempat wisata. Pengunjung yang mendatanginya bakal dikenakan tiket masuk senilai Rp25.000. Harga ini, termasuk di dalamnya merchandise berupa stiker, gantungan kunci, booklet, dan tas kanvas kecil.
Di dalamnya, berisi koleksi mesin-mesin yang pernah digunakan di Lokananta, seperti mesin duplikasi kaset audio, VHS, mesin pemotong pita kaset, hingga pemutar piringan hitam yang mayoritas produksi era 1960 sampai 1990.
Selain itu, terdapat pula alat-alat rekaman lawas, termasuk konsol musik yang hanya ada dua di dunia, satu di Lokananta dan satu lagi di London. Hingga ini, studio rekaman Lokananta masih digunakan untuk merekam musik, khususnya dari band-band indie.
Kondisi Memprihatinkan
Eksistensi Lokananta saat ini kian memprihatinkan. Faktor yang mendasari kemunduran Lokananta karena semakin menurunnya minat masyarakat terhadap piringan hitam yang disebabkan perkembangan teknologi.
Dari peranan Lokananta yang semula untuk memproduksi piringan hitam, saat ini berubah menjadi tempat untuk mengarsipkan piringan hitam.
“Proses produksi piringan hitam sudah ditiadakan, otomatis anggaran untuk Lokananta mulai berkurang sehingga mereka memutar otak untuk memperoleh dana tambahan dengan mengadakan berbagai kegiatan kesenian,” tulis Gading dalam jurnalnya.
Jurnal yang sama menuliskan Lokananta mengakui, perawatan piringan hitam memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Bahkan untuk memenuhi operasionalnya, kini Lokananta juga menyewakan sebagian lahan mereka untuk dijadikan lapangan futsal.
Selain itu, penataan arsip yang digunakan oleh Lokananta masih sangat berantakan karena belum terfokus secara sistem, seperti urutan genre, abjad, hingga daftar nama album dan musisi.
Buka Jasa Percetakan Hingga Sewa Lahan
Staf marketing Lokananta, Anggit Wicaksono pun bercerita kepada Asumsi.co kalau pihaknya ditargetkan pemerintah untuk menghasilkan profit sebesar Rp5 miliar dengan berjualan security printing, hingga pengadaan kaset.
“Kemudian juga dari kunjungan museum penjualan merchandise,” imbuh Anggit kepasa Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (30/12/2021).
Adapun jasa security printing yang dikerjakan Lokananta, fokus kepada pembuatan watermark untuk ijazah sekolah dan perguruan tinggi agar tidak mudah dipalsukan.
Ia juga membenarkan kalau saat ini, Lokananta menyewakan lahannya untuk futsal, foodcourt, restoran, dan kafe. Namun karena pandemi COVID-19, lapangan futsal menjadi tidak lagi beroperasi, dan kini menjadi area berlatih bela diri.
“Sewa lahan yang sekarang kami lakukan, ada yang jadi resto dan kafe di sebelah utara studio. Lokananta dulu juga mempunyai bisnis lapangan futsal. Cuma karena sekarang futsal sudah enggak jalan lagi, jadi gudang dan karena enggak menghasilkan lagi akhirnya disewakan untuk latihan taekwondo dan aikido,” ungkapnya. (zal)
Baca Juga:
RRI Minta Seluruh Arsip Digital Lokananta, Satu Master Lagu Hanya Dihargai Rp10 Ribu