Budaya Pop

Glenn Fredly Membuatmu Percaya Bahwa Semua Lagu Cinta Tulus Adanya dan Semua Impian Dapat Menjadi Nyata

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Mereka memperingatkan saya bahwa Glenn Fredly seorang pemimpi. Gagasannya liar, kerap muncul entah dari mana, dan kadang jadi merepotkan. Namun, kamu akan lekas menyadari satu hal saat berjumpa dengannya: ia menyatakan kehendaknya dengan begitu tulus, dengan kepolosan seorang bocah, sehingga mau tidak mau kamu akan ikut bermimpi dengannya.

Semalam, linimasa saya dipenuhi kenangan baik tentang Bung–sapaan akrabnya. Sekali intip, kamu lekas paham bahwa kehidupannya sukar dipercaya. Bagaimana mungkin seseorang jadi superstar pop dengan rentetan lagu cinta mendayu-dayu sekaligus aktivis kemanusiaan yang bersuara lantang dalam isu kontroversial? Semestinya mustahil orang dapat berdiri dengan kaki terentang di dua benua, tetapi Bung bisa.

Kita harus berbicara tentang musiknya. Sejak album debut-nya dirilis pada 1998, Bung jadi penyanyi paling menonjol dalam gelombang musisi yang mengusung paduan R&B, soul, dan jazz pada awal dekade 2000-an. Suaranya lembut, seperti kekasih yang merajuk.

Deretan hits-nya dapat membuat musisi mana pun iri hati: “Kasih Putih”, “Januari”, “Akhir Cerita Cinta”, “Sekali ini Saja”, “Terpesona”, “Cukup Sudah”, “Terserah”. Bahkan setelah berkarya lebih dari dua dekade, ia masih sanggup bernyanyi tentang cinta dengan ketulusan pemuda yang kasmaran untuk pertama kalinya. Hanya musikalitasnya kian matang–album teranyarnya, Romansa Ke Masa Depan (2019), dibalur tipis dengan sensibilitas produksi 1980-an yang mengingatkan akan momen-momen terindah Chrisye atau Earth, Wind, & Fire.

Namun, Bung tak puas sekadar bermusik. Sekali waktu, ia pulang ke Ambon dengan niat mendirikan lembaga amal untuk membantu musisi-musisi muda. Setibanya di sana, ia justru didamprat oleh penyanyi legendaris Franky Sahilatua. Kalau mau bangun Maluku, kata Franky, jangan tinggal di hotel dan bawa “pikiran dan isi hati Jakarta”. Glenn mesti dengar langsung kemauan orang Maluku, dan bikin gerakan dari akar rumput.

Wejangan Franky dituruti. Pada 2011, Bung mendirikan Yayasan Rumah Beta, lembaga yang menaungi seniman-seniman muda di Indonesia Timur, dan menyediakan fasilitas penunjang seperti studio hingga sanggar. Yayasan tersebut bertahan hingga kini.

Bung tak henti di sana. Ia berjasa menghidupkan kembali studio Lokananta di Solo, Jawa Tengah. Pasca Departemen Penerangan bubar, studio legendaris tersebut bangkrut dan terbengkalai. Tempat yang pernah jadi kawah candradimuka industri musik Indonesia itu dimakan debu dan lebih dikenal warga sebagai tempat main futsal.

Pada 2013, bersama The Bakuucakar, Bung merekam ulang sejumlah lagu hits-nya di Lokananta untuk album “Glenn Fredly & The Bakuucakar Live at Lokananta”. Ia tak kenal lelah mengenalkan kawan-kawannya kepada Lokananta, menginspirasi didirikannya inisiatif Sahabat Lokananta. Tak lama kemudian, band seperti Pandai Besi dan White Shoes & The Couples Company silih berganti rekaman album di sana.

Pada 2018, ia mendirikan organisasi KAMI Musik Indonesia dan mempertemukan berbagai kepala di industri musik lokal yang sebenarnya sudah saling kenal, tetapi tak pernah duduk bersama. Melalui KAMI, ia menggelar Konferensi Musik Indonesia pertama di Ambon, Maluku, pada 2018. Dalam Konferensi tersebut, lahir 12 pokok pembahasan yang kemudian berujung pada RUU Permusikan yang kontroversial.

Dalam semangat awalnya, RUU tersebut hadir untuk mengatur tata kelola industri musik lokal. Namun, tambahan pasal yang dinilai mengekang kebebasan berekspresi musisi membuat RUU tersebut–dan Bung–dikecam. Kala itu, Bung menyampaikan pada saya bahwa posisinya sulit. Ia jelas tak setuju dengan isi RUU tersebut, dan merasa bertanggungjawab atas dipelintirnya semangat awal para musisi. Namun, ia percaya bahwa pemerintah memang harus lebih serius menangani industri musik lokal. Bila tidak lewat RUU ini, harus ada jalan lain.

Bung pun menghadiri audiensi musisi dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo, di mana ia dan musisi lain seperti Cholil Mahmud, Andien, dan Rian Ekky Pradipta menyatakan bahwa RUU tersebut telah melenceng dari jalur. Ia menggalang konsolidasi massal musisi yang menolak RUU tersebut. Akhirnya, RUU tersebut batal disahkan.

Energi kreatifnya yang meluap ia alihkan ke prakarsa lain. Terbaru, ia dan lima rekanan lain mendirikan M-Bloc Space, ruang kreatif yang memanfaatkan lahan kosong bekas rumah karyawan Peruri di Jakarta Selatan. Sejak diresmikan pada September 2019, panggung M-Bloc telah disambangi ratusan musisi lintas genre dan jadi salah satu poros baru bagi kancah musik lokal.

Bila musik adalah cinta pertama dan terdahsyat bagi Bung, isu sosial adalah panggilan jiwanya. Pada 2014, ia menyatakan: “Bicara tentang HAM adalah bicara soal kesetaraan, tidak boleh ada yang tertinggal.” Kata-kata itu teruji berkali-kali. Untuk seorang selebritas yang rajin disorot media, ia tak segan bersuara bagi isu-isu yang rentan membuatnya tak populer.

Pada 2011, ia menentang keras penyegelan paksa gereja GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat. Aktivis Tunggal Pawestri mengenang bahwa saat kebanyakan orang ngeri menyentuh isu agama, Bung justru hadir dengan kepala tegak. “Glenn ikut kebaktian di rumah salah satu jemaat.” tulis Tunggal pada akun Twitter-nya. “Semua jalan diblokir aparat. Dijagain banser. Dia menyanyikan Pancasila Rumah Kita.”

Bersama Amnesty International Indonesia, Bung gigih memperjuangkan nasib tahanan nurani. Ia mendukung pembebasan delapan orang aktivis yang dipenjara karena mengibarkan bendera Benang Raja, simbol kemerdekaan Maluku. Pada 2007, Johan Teterissa dan 22 aktivis lainnya mengibarkan bendera tersebut selagi menampilkan tarian perang Cakalele di hadapan presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memprotes pembangunan yang tak merata. Sejak saat itu, mereka ditahan.

Pada 2016, Bung mengunjungi Johan Teterissa di penjara Nusakambangan ditemani perwakilan Amnesty International dan LBH Jakarta. Pada 2018, ia menulis artikel di The Jakarta Post yang menuntut agar Teterissa dan kawan-kawannya dibebaskan. “Jika Indonesia menghormati hak warganya berekspresi secara bebas, semestinya mereka tidak dipenjara walau sehari,” tulis Glenn. Pada Natal 2018, Johan dibebaskan dari penjara.

Bung bahkan tak ragu mendukung penuntasan kasus Pembantaian 1965. Seperti diunggah inisiatif Ingat65, Glenn salah satu figur publik pertama yang menyampaikan dukungan untuk keturunan korban 1965 yang bersuara. Pada 2017, ia dipotret menerima buku Putusan Final International People’s Tribunal 1965 dan Beranda Tribunal di Ambon bersama aktivis senior Asvi Warman Adam.

Ia juga mendukung penuh Aksi Kamisan. Bung tampil pada peringatan Aksi Kamisan yang menyongsong Hari HAM 2017 dan berpelukan dengan ibunda Ucok Munandar, aktivis yang dihilangkan pada Mei 1998. Pada Java Jazz Festival 2018, ia mendedikasikan lagu “Lembah Baliem” untuk Papua seraya menyerukan bahwa “matahari terbit dari Timur, maka Indonesia seharusnya memanggil orang-orang Papua sebagai Kakak. Mereka layak mendapatkan keadilan dan kesejahteraan.”

Dukungan Glenn pun tak henti-henti untuk gerakan Tolak Reklamasi Tanjung Benoa, serta gerakan #SaveAru yang menghentikan pembabatan 500 ribu hektar hutan di Aru untuk pembangunan pabrik tebu. “Bicara tentang penyelamatan Aru, maka saya berbicara tentang identitas dan peradaban masyarakat adat.” Tuturnya kepada Mongabay pada 2014.

Tak ada yang mengatakannya lebih baik ketimbang pengacara HAM Alghif Aqsa. Di Twitter-nya, Alghif menulis: “Ia bukan sekedar musisi lagu cinta. Ia tunjukkan betul cintanya ke sesama manusia.”

Boleh jadi, perangai itulah yang membuat Bung disayangi begitu banyak orang. Penggemarnya, sesama musisi, aktivis, hingga warga di Aru, Ambon, dan Bali yang disentuh oleh kebaikan hatinya. Saya mengenang Glenn Fredly sebagai orang yang ramah, murah senyum, dan selalu punya waktu untuk mendengar cerita baru. Tapi lebih dari apapun, saya mengenang Bung sebagai orang yang penuh cinta. Usai tiap pertemuan dengannya, kamu akan dipenuhi energi dan semangat baru.

Saya terkenang obrolan terakhir dengan Bung, hampir setahun lalu. Saat itu, saya terkapar di panggung sehabis membantu konser Musik Bagus Day–satu lagi acara yang turut ia prakarsai. Bung berlari terbirit-birit menghampiri saya, menanyakan siapa DJ yang terakhir tampil, kemudian duduk di sebelah saya.

“Rak, lo pernah ke Australia?” tanyanya, tiba-tiba.

“Belum, Bung.”

“Wah, lo harus ke sana,” ucap Glenn. “Kemarin, gue habis lihat sesuatu yang luar biasa.”

Di Australia, katanya, ia mampir ke toko musik yang menakjubkan. Gedungnya tidak mewah, lemarinya tidak mengkilap, tetapi di tiap sudut ruangan tersedia piringan hitam karya musisi dari seluruh penjuru dunia. Musik soul kesukaannya hadir di sana, juga koleksi lengkap City Pop dan rekaman musik tradisional. Lebih apiknya lagi, koleksi tersebut diarsipkan dengan rapi.

Ia jatuh hati di sana. Tempat yang diasuh oleh pecinta musik memang “beda auranya.”

Bung menunjuk ke arah dinding melingkar di atrium utama Cilandak Town Square. “Gue bermimpi kita punya tempat kayak gitu di sini,” katanya. “Lo bayangin, Ka. Segede atrium ini, tapi semua dindingnya penuh musik. Kayak surga.”

Seperti biasa, Bung sedang berangan-angan. Dalam kondisi biasa, saya akan meladeni orang yang punya mimpi itu selama berjam-jam untuk menjelaskan kenapa rencananya tak masuk akal. Namun, Bung berbeda. Yang ajaib dari Glenn Fredly: ia membuatmu percaya bahwa semua lagu cinta tulus adanya dan semua impian dapat menjadi nyata.

“Kebayang, bung,” balas saya, sambil tersenyum lebar. “Atas sampai bawah musik semua.”

Bung tertawa terbahak-bahak, lalu menepuk pundak saya.

It’s crazy, right?” tanyanya. “But we could make it happen.

—-

Glenn Fredly Deviano Latuihamallo, penyanyi dan aktivis. Lahir 30 September 1975, meninggal 8 April 2020 akibat meningitis.

Share: Glenn Fredly Membuatmu Percaya Bahwa Semua Lagu Cinta Tulus Adanya dan Semua Impian Dapat Menjadi Nyata