Isu Terkini

Tak Ada Korelasi Antara Pelecehan Seksual dengan Pakaian Korban

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Dok. ANTARA

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual baru-baru ini kerap muncul di permukaan. Pasalnya, kasus tersebut muncul dengan berbagai jenis tindakan.

Pelaku pelecehan seksual juga beragam, dari dosen, guru, bahkan hingga pemuka agama juga terseret dalam kasus mengerikan ini. Namun, seringkali beberapa pihak menilai pelecehan seksual dapat terjadi karena korban memakai baju yang terlalu terbuka.

Hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman mencatat pakaian tidak menjadi penentu korban mengalami pelecehan seksual.

Datanya mencatat pakaian yang dikenakan korban, yakni rok panjang dan celana panjang sebanyak 17,47 persen. Kemudian, diikuti oleh korban yang memakai baju lengan panjang 15,82 persen, baju seragam sekolah 14,23 persen, baju longgar 13,80 persen, berhijab pendek atau sedang 13,20 persen, baju lengan pendek 7,72 persen, baju seragam kantor 4,61 persen, berhijab panjang 3,68 persen, dan rok atau celana selutut 3,02 persen.

Lebih lanjut, mereka yang memakai baju atau celana ketat 1,89 persen dan bercadar 0,17 persen. Sehingga, hasil survei ini menunjukkan terdapat total jumlah sebanyak 17 persen wanita berhijab mengalami pelecehan seksual.

Hal ini terbukti dengan beberapa kasus yang dilakukan oleh pemuka agama. Kasus yang sempat viral beberapa waktu ini, yakni Herry Wirawan.

Ia merupakan guru sekaligus pimpinan pondok pesantren Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, dan Madani Boarding School Cibiru. Bandung. Faktanya, ia dilaporkan menjadi pelaku pemerkosaan terhadap 12 santriwati di ponpesnya.

Lebih parahnya, Herry juga dilaporkan telah menghamili empat dari 12 korban tersebut. Total jumlah anak yang dilahirkan oleh para korban sebanyak sembilan bayi.

Beralih ke sisi lain, belum lama ini juga Kepala Sekolah Galilea Hosana School Benyamin Sitepu dilaporkan sebagai pelaku pemerkosaan terhadap enam siswinya. Menurut keterangan, ia sempat melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap dua orang siswi di kantor kepala sekolah pada 12 Maret 2021.

Lebih lanjut, kasus ini diketahui oleh orang tua korban usai salah satu korban melaporkan tindakan tidak terpuji itu. Singkatnya, saat ini Benyamin telah dituntut 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Medan.

Berangkat dari kedua kasus tersebut, kedua pelaku melakukan tindakan tidak senonohnya terhadap siswi yang terbukti memakai pakaian tertutup. Bahkan, lebih parahnya pelaku ada sosok pemimpin agama yang mengenal moral atau norma yang wajar.

Ada lagi kasus yang pernah terjadi di tahun 2020, ketika karyawan Starbuck mengintip payudara pelanggan wanita. Kejadian itu terungkap dalam gambaran CCTV kafe.

Namun, mirisnya, beberapa pihak merespon tindakan itu terjadi  karena korban memakai pakaian yang terlalu minim.

Cara Pandang Keliru

Komisioner Komisi Nasional Perempuan Siti Aminah Tardi menilai korelasi antara pelecehan seksual dengan pakaian bersifat mitos. Bahkan, menurutnya, pernyataan tersebut hanya sebagai tameng bagi pelaku untuk menyalahkan korban.

“Satu dekade terdapat 45.000 kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Komnas Perempuan. Dari kasus tersebut menyatakan tidak semua korban memakai baju yang terbuka,” kata Siti kepada Asumsi.co, Kamis (16/12/21).

Menurutnya, kasus kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja. Sehingga, tidak ada korelasinya dengan cara berpakaian.

Bahkan, Siti menyoroti beberapa kasus kekerasan seksual dapat terjadi terhadap anak-anak dan nenek-nenek sekalipun. Hal ini membuat Siti heran dan mempertanyakan di mana letak menggodanya?

“Jadi mitos yang dibangun soal pelecehan seksual terjadi karena perempuan itu tidak benar. Mitos ini juga terbangun oleh sistem patriarki. Padahal, kalau ditelisik kembali yang terbukti salah adalah pelaku,” tegasnya.

Siti melihat nilai-nilai konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai “kontroler’ itu sudah keliru. Selain itu, ia juga menyinggung pola pikir pelaku yang melihat perempuan sebagai objek untuk melayani hasrat hawa nafsunya.

“Jika ada mohon maaf, perempuan telanjang, itu bukan berarti laki-laki punya hak untuk memperkosa perempuan itu. Sehingga, laki-laki harus menundukkan pandangan dan tidak melakukan pemerkosaan,” tegas Siti.

Sehingga, Siti menyarankan yang harus dibenahi saat ini adalah pola pikir yang tidak berperspektif korban. Lebih lanjut, beberapa Sales Promotion Girls (SPG) saat ini kerap dituntut untuk memakai pakaian yang terlalu minim atau ketat.

Berangkat dari tuntutan itu, Siti menyayangkan pola pemasaran yang menjadikan perempuan harus mengikuti cara pandang masyarakat.

“Misalnya, laki-laki akan membeli barang itu bila yang melayani adalah perempuan cantik. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan hal itu, terutama SPG memang dituntut untuk mempromosikan barang bukan mengundang hawa nafsu pembeli,” ujar Siti.

Perlu Melihat dari Sisi Pria

Selain itu, Siti menilai selama ini pola pikir yang menyinggung perempuan harus berlindung dari tindakan pelecehan seksual harus dibenahi. Mengapa demikian? Siti menjelaskan aturannya harus seimbang, bukan hanya tentang perempuan sebagai korban, namun juga laki-laki harus dididik untuk menundukkan pandangannya dan menahan hawa nafsunya.

“Perempuan seringkali dituntut untuk mengenakan pakaian a, b, c, d. Padahal, seharusnya laki-laki juga perlu dididik untuk menundukkan pandangannya, kelola hasratnya, dan menempatkan posisi perempuan setara dengan dirinya,” tegasnya.

Menurutnya, kewajiban untuk mencegah tindakan pelecehan seksual tidak hanya pada perempuan, namun juga laki-laki.

Harus Berimbang

Secara terpisah, Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, juga senada kalau perempuan seringkali dilihat sebagai objek. Terutama, menurutnya, perempuan dianggap adalah manusia yang bisa dieksploitasi tanpa perlindungan.

Sehingga, Imam menganggap faktor utama cara pandang pelaku yang menyalahkan pakaian korban adalah ketika mereka melihat perempuan sebagai objek. Imam juga turut menyayangkan pola pikir tersebut tidak pernah dikaji atau dievaluasi.

“Pelaku-pelaku sudah seharusnya dijadikan kajian. Namun, sayangnya saat ini perempuan yang selalu dituntut untuk memakai pakaian yang baik, melakukan perilaku yang baik, dan sebagainya untuk tidak memancing tindakan pelecehan seksual,” kata Imam kepada Asumsi.co, Kamis (16/12/21).

Bahkan, menurut Imam aturan-aturan yang dilakukan harus berimbang. Tidak hanya perempuan yang harus melakukan kewajiban-kewajiban tertentu, sementara pelaku tidak pernah dituntut untuk memenuhi aturan yang seharusnya.

Namun, Imam juga menyarankan bagi perempuan untuk mengenakan pakaian sesuai kondisi dan situasi. Sehingga, keduanya baik laki-laki dan perempuan harus saling menguatkan diri untuk tidak memancing perilaku tindakan pelecehan seksual.

Baca Juga

Share: Tak Ada Korelasi Antara Pelecehan Seksual dengan Pakaian Korban