Bisnis

Basa-basi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia Lewat Kenaikan Cukai

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Andres Siimon/Unsplash

Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12 persen yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia hingga kini masih ramai jadi perbincangan publik. Sebab kenaikan tarif cukai ini dinilai belum mampu mengurangi konsumsi rokok di tengah masyarakat.

Di sisi lain berbagai riset dan penelitian menyebut kalau kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang mahal, mampu menekan keterjangkauan membeli rokok di tengah masyarakat, khususnya anak-anak.

Cara Selandia Baru Tekan Konsumsi Rokok

Pemerintah Selandia Baru tengah berupaya menekan konsumsi rokok di negara tesebut dengan mengurangi jumlah kadar nikotin di setiap produk rokok yang dijual di sana.

Melansir Reuters, syarat pengurangan kadar nikotin akan mulai dilakukan pada tahun 2025. Selain itu, pemerintah setempat juga berencana melarang anak muda berusia 14 tahun ke bawah untuk membeli rokok.

Gagasan ini, dicanangkan pemerintah Selandia Baru untuk menggalakjan program “Generasi Bebas Asap Rokok” pada tahun 2027. Pemerintah Selandia Baru juga bakal membatasi jumlah pengecer produk yang mengandung nikotin itu.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Selandia Baru, Ayesha Verrall mengatakan, seluruh rencana kebijakan ini bakal dituangkan ke dalam Rancangan Undang-undang Rokok yang ditargetkan bisa disahkan oleh parlemen di akhir tahun 2022.

“Kami ingin memastikan anak muda di negara kami, tidak pernah memulai mencoba merokok. Maka, kami akan membuat pelanggaran untuk menjual atau memasok produk tembakau asap ke generasi muda,” ujarnya.

Ia mengaku khawatir dengan kondisi saat ini yang menunjukkan, bahwa warga negara berusia 15 tahun yang sudah merokok dan mulai mengonsumsinya sebelum usia di Selandia baru mencapai 11,6 persen.

Ayesha Verall mengharapkan jika Undang-undang tersebut bisa disahkan parlemen di akhir tahun depan, maka pembatasan konsumsi rokok bakal dilakukan secara bertahap mulai dari tahun 2024.

“Akan dimulai dengan mengurangi jumlah penjual resmi, pengurangan persyaratan nikotin pada tahun 2025, dan menciptakan generasi bebas rokok di tahun 2027,” ucapnya.

Ia optimistis dengan adanya aturan baru ini, nantinya mampu mengurangi separuh tingkat merokok di negara tersebut dalam waktu 10 tahun sejak diberlakukan. “Merokok menjadi salah satu penyebab kematian di Selandia Baru dan membunuh sekitar 5.000 orang per tahunnya,” pungkasnya.

Bukan Perkara Mudah

Upaya menekan konsumsi rokok dengan langkah membuat aturan seperti yang digagas Selandia Baru, menurut Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany menunjukkan betapa sulitnya mengendalikan konsumsi produk yang bersifat adiktif.

Adapun kenaikan CHT yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia memang tidak memberikan dampak signifikan menurukan konsumi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja. Indonesia, kata dia disarankan untuk membuat aturan dan program soal pembatasan kadar nikotin dan batas usia konsumen rokok seperti yang mau diterapkan di Selandia Baru.

“Menekan konsumsi barang adiktif itu memang tidak mudah. Selama ini memang tidak terbukti cukai rokok bisa menurunkan jumlah perokok remaja, berdasarkan kajian kami kalau belanja rokok di tengah masyarakat pun terus terjadi sejak tahun 2007, meski nilai cukainya terus dinaikkan. Dari 2007 sampai tahun 2020, kenaikan belanja rokoknya sampai 110 miliar batang,” jelasnya.

Menurutnya, cara yang bisa dibilang efektif menurunkan drastis jumlah remaja dan anak yang menjadi  perokok di Indonesia adalah menyeimbangkan besaran cukai rokok dengan pendekatan pengendalian harganya.

“Harus ada balance antara besaran disinsentif berupa cukai rokok atau cukai hasil tembakau, itu sama saja sebutannya dengan pendekatan kendali harga,” ucapnya,

Di samping itu, menurutnya juga perlu pendekatan penyadaran masyarakat, kesigapan dari segi kontrol terhadap rokok ilegal, hingga penguatan keluarga yang mengedukasi anak-anaknya terhadap bahaya merokok juga perlu terus dilakukan.

“Selain itu, juga penting untuk mencegah jalur distribusi rokok dan produk mengandung nikotin lainnya yang dekat dengan anak2 dan remaja. Itu harus semua dilakukan secara sinergi,” imbuhnya.

Basa-Basi yang Sia-sia

Hasbullah mengungkapkan selama ini pemerintah memang tekesan basa-basi dalam mengambil langkah menekan konsumsi rokok di Indonesia. Kenaikan cukai rokok yang diiringi peningkatan pendapatan masyarakat menurutnya terasa sia-sia untuk bisa menekan konsumsi rokok secara maksimal.

“Cukai yang selama ini sudah dilakukan pemerintah juga belum cukup besar kenaikan yang diterapkannya. Jadi, harganya masih saja terasa terjangkau karena pendapatannya masyarakat, uang jajan pembelinya juga naik. Sehingga, akhirnya sama saja dan masih dianggap terjangkau harga rokok sekarang,” tuturnya.

Ia mengungkapkan lebih lanjut, bila melihat capaian konsumsi rokok tahun ini sebesar 320 miliar batang per tahun, maka tahun depan tingkat konsumsinya perlu ditekan sampai 300 miliar batang. Bila bisa tercapai, maka artinya kenaikan cukai rokok mampu memberikan efek positif dalam menekan konsumsinya.

“Ketika sudah turun sampai segitu angka konsumsinya, maka tahun berikutnya harus terus diturunkan sampai 280 miliar batang,” kata dia.

Hasbullah mengungkapkan, upaya menekan konsumsi rokok dengan cara menaikkan besaran cukainya secara terus menerus, selama ini juga dilakukan Amerika Serikat. Namun, efektifitasnya memakan waktu yang lama.

“Amerika Serikat baru berhasil menekan angka konsumsi rokok setelah 20 tahun lebih pengendalian melalui penerapan pajak atau cukai per bungkus rokoknya. Selama itu juga baru terlihat terjadi penguatan sistem pengawasan rokok yang menyebabkan produk ilegal menurun,” pungkas pria yang juga menjabat sebagai Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) ini.

Selain menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT), pemerintah diketahui juga mengubah komposisi pungutan untuk industri hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), termasuk vaporizer atau vape.

Cukai Vape

Mengutip Bisnis.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah menaikkan cukai produk-produk HPTL seperti rokok elektrik.

Ia menyebutkan, langkah ini dilakukan pemerintah sebagai harmonisasi peraturan perpajakan (HPP) terhadap produk-produk HPTL. Pemerintah akan menetapkan tarif cukai baru maupun harga jual eceran (HJE) untuk produk-produk seperti rokok elektrik sebesar 17,5 persen.

Terkait ini, Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia, Aryo Andrianto pun mengkritisi kebijakan tersebut. Menurutnya besaran cukai 17 persen ini lebih cocok untuk produk rokok tembakau bukan rokok elektrik.

“Kalau kita lihat sebenarnya vape ini solusi bagi perokok yang ingin beralih perlahan-lahan sebelum berhenti merokok sepenuhnya. Kenaikan sampai 17 persen ini terlalu besar. Padahal pelakunya banyak UMKM dan produsen lokal yang punya keterbatasan modal,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Aryo meminta semestinya pemerintah mendukung industri HPTL dengan tidak membebankan pajak besar dan seiring dengan itu, produk rokok yang mesti diterapkan harga yang mahal dengan cukai yang tinggi.

“Semestinya ini yang jadi solusi yang diambil. HPTL seperti vape. Bila dikaitkan dengan penggunanya yang masib di bawah umur, lebih minim dibandingkan rokok. Rokok jelas tinggi dikonsumsi oleh anak karena dengan mudah bisa dibeli di warung, sedangkan vape dijual secara terbatas di store dan minimarket tertentu yang pastinya diawasi ketat juga pembelinya mesti 18 tahun ke atas,” tandasnya.

Baca juga:

Dalih Kesehatan, Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Rokok Tahun Depan

Kerek Cukai Rokok, Waspada Peredaran Rokok Ilegal

Share: Basa-basi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia Lewat Kenaikan Cukai