Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif cukai rokok yang besarannya akan diumumkan pada akhir tahun ini. Selain demi meningkatkan pendapatan, alasan kesehatan yakni untuk mengurangi konsumsi rokok juga menjadi pertimbangan.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikutip dari Antara, harga rokok di Indonesia termasuk yang paling terjangkau di dunia. Hal ini disebabkan tarif cukai hasil tembakau yang juga rendah dan adanya penjualan secara eceran.
Sinyal kenaikan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun depan, tertulis di dalam Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Di dalamnya, tertulis target penerimaan cukai pemerintah akan ditingkatkan pada 2022 dengan tarif cukai rokok sebesar Rp203,92 triliun. Persentase kenaikannya 11,9 persen dari prospek tahun 2021.
Walau begitu, pengusaha dan ekonom meminta pemerintah berhati-hati dalam menentukan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Pasalnya, kenaikan cukai rokok juga berpotensi meningkatkan peredaran jumlah rokok ilegal.
Pemerintah pun mengakui, pemberantasan rokok ilegal saat ini masih menjadi persoalan berat. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, hingga saat ini peredaran rokok dan tembakau ilegal mendominasi 10 penindakan atau pengawasan teratas oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Namun dirinya memastikan kinerja penindakan rokok ilegar terus meningkat dari tahun ke tahun. Ia mengungkapkan penindakan pada tahun 2018 sebesar 18.204 kasus. Di tahun 2019 meningkat menjadi 21.062 kasus.
“Tahun 2020 menanjak pada 21.964 pada tahun berikutnya. Untuk 2021, Agustus saja ada 16.988 penindakan, ini akan makin banyak teman-teman yang bekerja di garis depan tidak hanya menjaga penerimaan negara, tetapi menjaga masyarakat,” kata Sri Mulyani dalam tayangan YouTube APBN KiTa.
Berdampak pada Industri Rokok
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Kebijakan Publik Sutrisno Iwantono mengatakan, bila kenaikan cukai rokok ditetapkan tanpa perhitungan yang bijak bisa mempengaruhi penjualannya.
Ia mengungkapkan, keputusan besaran kenaikan CHT kerap menjadi sorotan pelaku industri rokok di Tanah Air. Sebab, kebijakan tarif CHT akan berimbas terhadap prospek volume penjualan rokok, produktifitas serapan tembakau petani, hingga penyerapan tenaga kerja di industri padat karya tersebut.
“Kalau cukai naik kan, penjualannya pasti turun. Tentu ini berdampak pada industrinya dan kasihan para petani tembakaunya,” kata Sutrisno kepada Asumsi.co melalui pesan singkat, Rabu (24/11/2021).
Dari sisi industri, kenaikan cukai rokok juga berpotensi memunculkan rokok-rokok ilegal, yang akhirnya lebih berisiko bagi kesehatan.
“Maka keseimbangan industrinya dari sisi risiko munculnya rokok ilegal juga perlu diperhatikan,” ucapnya.
Pandangan senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Ia mengatakan selama ini peredaran rokok ilegal dari dalam negeri memang banyak terjadi.
Kenaikan cukai rokok, kata dia bisa menyebabkan semakin banyaknya aksi penyelundupan dan peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi perlu menjadi perhatian pemerintah.
“Jadi dari dalam negeri banyak yang menggunakan pita polos tanpa cukai, cukai yang tidak sesuai harga dan golongannya, dan menggunakan pita bekas seperti itu ilegalnya. Peredaran tembakau dan rokok ilegal memang bukan dari luar negeri yang banyak, tapi dari dalam negeri banyak beredar tembakau tanpa cukai,” jelasnya saat dihubungi terpisah.
Turunkan Pendapatan
Tauhid menambahkan, berdasarkan perhitungan Indef rencana kenaikan cukai rokok sebesar 11,9 persen bisa menurunkan pertumbuhan dari segi pendapatan pemerintah, meski secara nominal angka penerimaannya naik.
“Growth-nya turun. Cukai semakin tinggi, peningkatan pendapatan negara semakin turun meski dalam dua tahun terakhir kenaikan cukai justru menambah peluang dan membuka pabrik baru,” katanya.
Para petani tembakau menurutnya merupakan kalangan yang akan paling terdampak dari kenaikan cukai rokok jika terlalu tinggi besaran yang ditetapkan oleh pemerintah.
Bila dampak terhadap para petani tembakau ini dibiarkan, kata dia tentu bisa berlanjut ke para pekerja pengelolaan tembakau dan pabrik rokok. Padahal saat ini menurutnya industri rokok tengah stabil karena bisa bertahan dari dampak pandemi COVID-19.
“Petani yang paling kasihan karena jumlah produksi dan kebutuhan tembakaunya turun bila industrinya terdampak,” pungkas Tauhid.
Baca Juga: