Isu Terkini

Banyak Korban Jiwa, Koordinasi Mitigasi Bencana Indonesia Dinilai Lemah

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ANTARA/HO-SAR Surabaya

Erupsi Gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu (4/12/2021) sore, menyebabkan kekhawatiran dan perlunya peningkatan upaya mitigasi bencana alam nasional pada akhir tahun seperti gempa, gunung meletus, hingga tsunami.

Pemerintah Indonesia diharapkan tak hanya fokus mencegah ancaman peningkatan kasus COVID-19 sepanjang Desember ini hingga awal tahun 2022. Potensi terjadinya bencana alam di berbagai daerah pada akhir tahun, mesti menjadi tantangan yang memerlukan perhatian khusus.

Pemetaan Titik Rawan

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengungkapkan, pihaknya saat ini sudah memetakan sejumlah wilayah yang dikhawatirkan terjadi bencana alam karena aktivitas tektonik maupun vulkanik seperti Gunung Semeru.

Ia menyebutkan, BMKG telah memetakan 246 wilayah rawan bencana di sejumlah wilayah. Namun ia tak menyebutkan seuruh titik wilayah rawan bencananya secara spesifik.

“Intinya, waspada di semua daerah-daerah  pantai yang berhadapan dengan sumber gempa potensial baik disebabkan oleh tektonik, maupun non tektonik atau vulkanik,” katanya kepada Asumsi.co, Minggu (05/12/2021).

Adapun kawasan yang rawan terjadinya gempa tektonik antara lain di sebelah barat Sumatera, kawasan Selat Sunda, wilayah selatan Jawa dan Bali, wilayah NTT, sebelah utara Sulawesi, kawasan perairan Maluku dan Maluku Utara, Laut Banda, serta kawasan perairan di Papua.

“Semuanya memiliki sumber gempa potensial yang dekat dengan pantai. Seluruh area ini juga memiliki historis tsunami yang banyak,” ucapnya.

Sementara itu, lanjut dia kawasan rawan bencana yang dekat drngan gunung merapi dipicu oleh sumber gempa melainkan vulkanik. Kemungkinan terjadi tsunami akibat aktivitas vulkanik gunung merapi bisa saja terjadi.

Ia mengatakan, selain Gunung Semeru sebetulnya banyak kawasan gunung merapi lainnya yang menjadi perhatian khusus BMKG sebagai kawasan rawan bencana.

“Tsunami non tektonik ini kan, bisa disebabkan seperti faktor erupsi misalnya seperti Gunung Awu, Gunung Gamalama, dan Gunung Krakatau itu memiliki seharah tsunami yang perlu kita waspadai juga,” katanya.

Mitigasi

Meski demikian, Daryono meminta masyarakat tak perlu merasa ketakutan berlebihan. Informasi titik rawan bencana disampaikan justru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memitigasi diri mereka dalam menghadali bencana.

“Hal yang paling mendasar adalah mitigasi non struktural. Bagaimana membuat pemahaman masyarakat agar mereka memahami potensi ancaman bahaya bencana yang ada di sekitarnya,” ucapnya.

Menurutnya penting pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di berbagai wilayah disertai pemerintah daerah setempat bekerja sama memetakan langkah mitigasi dan mencegah dampak parah akibat bencana.

“Kerja sama mitigasi itu apakah perlu membangun bangunan tahan gempa kemudian bagaimana mengetahui daerah pantai yang rawan tsunami. Selain itu perlu memasang rambu dan memikirkan pembangunan tempat evakuasi sementara. Maka penting melakukan penataan ruang pantai berbasis risiko tsunami,” imbuhnya.

Ia menekankan setiap pemerintah daerah perlu menggelar latihan evakuasi dan setiap warganya juga penting memahami langkah-langkah evakuasi mandiri dengan cara memperoleh edukasi soal peringatan dini tsunami yang mumpuni.

“Kalau lewat edukasi ini membentuk pemahaman masyarakat yang baik, maka ke belakangnya lebih enak. Jangan dijadikan ketakutan. Justru banyak daerah rawan bencana tumbuh menjadi kawasan bisnis jika pemahaman mitigasi masyarakatnya baik,” katanya.

Edukasi

Daryono mengatakan selama ini BMKG memiliki program Sekolah Rawan Gempa yang bertujuan mengedukasi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah bencana.

“Kami berkeliling ke provinsi, kabupaten dan kota untuk mengedukasi masyarakat sehingga dengan itu kita akan bisa memahami perlilaki masyarakat dan kami latih mitigasi. Kami membuatkan SOP memberikan pelatihan,” ujarnya.

Ia mengatakan sejauh ini, BMKG bersama BNPB terus memetakan daerah-daerah rawan bencana. Hal ini untuk memudahkan pemerintah daerah mengerahui seberapaa bahaya potensinya bisa terjadi dan dijadikan sebagaii acuan mitigasi.

Pengamat kebijakan publik Amir Hamzah menilai pentingnya peningkatan ekstra terhadap potensi terjadinya bencana alam di Indonesia pada akhir tahun ini. Koordinasi antara BNPB, BMKG, dan BPBD bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga perangkat desa mesti dimaksimalkan.

“Koordinasi harus berjalan dengan baik karena selama ini kadang kala terjadi kesenjangan hubungan antara pemda dan pusat,” katanya saat dihubungi terpisah.

Koordinasi Lemah

Menurut Amir, jika koordinasi mitigasi bencana berjalan dengan baik, korban jiwa akibat erupsi Gunung Semeru semestinya tidak terjadi. Diketahui, hingga saat ini dilaporkan bencana tersebut menyebabkan 13 warga meninggal dunia.

“Ini ada kelemahan koordinasi. Katakanlah BNPB atau BMKG tidak bisa menentukan hari apa atau kapan bisa terjadi erupsi. Namun semestinya bisa memberikan sinyal dan analisa ketika BMKG memberikan peringatan, seharusnya sudah bisa dilakukan koordinasi,” ungkapnya.

Ia pun mempertanyakan kesigapan BMKG dalam menganalisa adanya faktor cuaca yakni curah hujan yang memicu terjadinya erupsi Gunung Semeru. Edukasi kebencanaan yang katanya selama ini gencar dilakukan BMKG pun terkesan sia-sia.

“Edukasi terhadap masyarakat atas bencana juga jangan dilakukan sepotong-sepotong. Bagaimana proses edukasi nasyarakat yg harus dibimbing. Semestinya kalau edukasi mereka berjalan, saat erupsi terjadi kemarin masyarakat sudah tahu harus kemana dan tidak perlu sampai ada korban jiwa,” pungkasnya.

Baca Juga

Share: Banyak Korban Jiwa, Koordinasi Mitigasi Bencana Indonesia Dinilai Lemah