General

Sumur Resapan Anies Jangan Sekadar Resap Anggaran

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuat program penanganan banjir, yakni sumur resapan atau drainase vertikal. Sumur resapan tersebut menjadi salah satu dari empat janji kampanye yang disuarakan Anies ketika Pilkada DKI 2017.

Melansir situs Enviro BPPT, sumur resapan menjadi salah satu upaya konservasi air tanah dengan membuat bangunan berupa sumur. Sumur resapan berfungsi memasukkan air hujan ke dalam tanah.

Pemprov DKI Jakarta berharap upaya ini dapat membantu bahkan mengurangi penyebab subsidence akibat pengambilan air tanah yang masif. Pemprov DKI Jakarta mencatat baru terdapat 19.042 titik sumur resapan yang baru direalisasikan, namun target yang dibutuhkan mencapai 1,8 juta titik.

Tuai kritik, program pembangunan Anies ini dinilai tidak efektif menangani banjir. Sehingga, Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta mengungkap alokasi anggaran untuk sumur resapan dihapus dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2022.

Faktanya, dana anggaran untuk penyelesaian program pembangunan sejauh ini sudah meraup biaya hingga ratusan miliar rupiah. Anggaran paling besar sumur resapan ini sebesar Rp322 miliar.

Namun, dalam rapat bersama Komisi D DPRD DKI Jakarta anggaran tersebut sempat dikurangi menjadi Rp120 miliar. Meskipun telah dihapus dari APBD 2022, Pemprov DKI Jakarta bersikukuh tetap menjalankan program pembangunan tersebut karena menggunakan APBD 2021. 

Tidak hanya karena anggaran, Forum Warga Kota Jakarta juga menilai sumur resapan kurang efektif apalagi dibangun di dekat Banjir Kanal Timur (BKT). Padahal, BKT dibuat dalam upaya menampung air.

Sehingga, mereka menyarankan Pemprov DKI Jakarta tidak perlu membuat sumur resapan di dekat BKT, namun segera perbaiki saluran agar air lebih lancar masuk ke BKT dari jalan raya.

Merusak Estetika Tata Kota

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga keberadaan sumur resapan tidak efektif. Di sisi lain, Nirwono menyoroti penempatan titik-titik sumur yang tidak tepat.

Menurutnya, pemerintah daerah atau gubernur tidak memiliki rencana yang matang dan induk pembangunan terkait sumur resapan. Sebagai informasi, titik pembangunan sumur resapan berada di trotoar, dekat BKT, dan sekitar kali.

“Sumur resapan hanya berfungsi membantu mengurangi genangan air skala mikro, yakni halaman rumah, sekolah, parkir, jalan lingkungan sekitar, dan taman. Sehingga, tidak dapat dikatakan meredam banjir untuk skala besar seperti kawasan atau kota,” jelas Nirwono kepada Asumsi.co, Jumat (3/11/2021).

Selain itu, Nirwono menjelaskan jika kawasan daerah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur bagian selatan lebih sesuai kalau ingin membangun sumur resapan. Namun, untuk daerah Jakarta bagian utara tidak praktis karena kedalaman air tanah yang cukup dangkal dan sumur resapan tidak akan berguna.

Ia menilai tidak hanya kesalahan titik lokasi, namun konstruksi di tepi jalan juga potensi membahayakan pengendara lain terutama motor yang ingin menghindari sumur resapan. Para pengendara kerap tersendat akibat sebagian ruang badan jalan tersebut diambil sumur resapan. Apalagi, terdapat permukaan beton sebagai penutup sumur resapan yang tinggi tidak sama dengan badan jalan.

Pemborosan Anggaran

Terkait anggaran, Nirwono juga menyoroti sikap Pemprov DKI Jakarta yang memakai dana APBD dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menurutnya, sikap itu hanya menimbulkan pemborosan anggaran, tidak efektif, dan mubazir.

Ia menyarankan seharusnya sumur resapan diserahkan kepada setiap warga untuk membangun sendiri di halaman rumahnya.

Lebih lanjut, Nirwono menambahkan dana APBD dan PEN jauh lebih baik digunakan untuk mengatasi banjir seperti menata bantaran kali atau banjir kiriman, merevitalisasi situ, danau, embung, dan waduk, merehabilitasi saluran kota, menambah ruang terbuka hijau yang baru, dan restorasi kawasan pesisir pantura Jakarta.

Daya Serap Terbatas

Secara terpisah, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna menilai daerah ibu kota saat ini memiliki daya serap yang terbatas. Sehingga, apabila membangun sumur resapan hasilnya tidak akan optimal. Terutama, Yayat tidak setuju juga apabila sumur resapan di Jakarta dibangun sebagai upaya penanganan banjir.

“Sumur resapan bisa efektif apabila berada pada daerah yang tinggi resapannya. Namun, daerah Jakarta cenderung sudah jenuh air karena berada di bantaran banjir,” kata Yayat kepada Asumsi.co, Jumat (3/12/21).

Menurutnya, kolam retensi jauh lebih baik dibanding sumur resapan yang dibangun di wilayah utara. Ia menjelaskan sumur resapan di berbagai daerah itu berbeda.

“Jika Pemprov DKI Jakarta ingin mengoptimalkan sumur resapan perlu ada kajian ulang. Terutama, soal kondisi tanah dan akuifernya karena daerah Jakarta ini kondisinya penuh dengan cekungan dan endapan aluvial. Sehingga, air sulit meresap,” ucapnya.

Lebih lanjut, Yayat khawatir kalau musim hujan tiba, sumur resapan akan penuh. Sehingga, Yayat menyarankan lebih baik lebih dulu mengambil data dari Balai Konservasi Air Tanah soal kondisi dan situasi tanahnya.

Selain itu, Yayat juga menyoroti genangan air dalam sumur resapan yang berpotensi menimbulkan penyakit demam berdarah atau adanya sarang nyamuk. Yayat menegaskan jika ingin berbicara soal penanggulangan banjir perlu melihat kapasitas dan kemampuan sistem tata air Jakarta.

“Jika program itu tidak mampu mengatasi perubahan cuaca dan mengendalikan volume air yang besar maka sumur resapan tidak sesuai dengan tujuan dalam mengatasi banjir,” tegas Yayat.

Tidak jauh berbeda dengan Nirwono, Yayat juga menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk melanjutkan normalisasi, membuat kolam retensi, menambah waduk, atau membangun retention pond (bak raksasa).

Teknisnya Perlu Diperbaiki

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menilai teknis pembangunan sumur resapan perlu dibenahi.

“Teknis pembangunan sumur resapan bermasalah, harusnya resapan tersebut bisa langsung masuk ke tanah. Sehingga, yang perlu diperiksa dari masalah ini adalah desain teknis pembuatannya,” katanya kepada Asumsi.co, Jumat (3/11/21).

Ia menduga adanya tumpukan sampah dan pengawasannya kurang. Selain itu, Tubagus menyarankan lebih baik Pemprov DKI Jakarta perlu mempertahankan juga ruang terbuka hijau (RTH) sebagai penanganan banjir. Ia berpendapat tidak boleh ada fasilitas yang malah dibangun dan potensi mengurangi RTH.

“Ruang taman di Tebet, Jakarta, rencananya bakal dibangun teknologi fasilitas pengolahan sampah untuk mengurangi sampah (FPSA). Pembangunan itu harus dihentikan dan perlu menggantinya dengan komunitas pengelolaan sampah, bukan membuat fasilitas yang memakan banyak lahan,” ujarnya. (zal)

Baca Juga:

Share: Sumur Resapan Anies Jangan Sekadar Resap Anggaran