Keuangan

Uang Kripto Haram Sebagai Mata Uang, Legal Diperjualbelikan

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Polemik kehadiran uang kripto atau cryptocurrency di tanah air berlanjut. Sempat dianggap sebagai salah satu alternatif investasi masa kini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan penggunaan kripto atau cryptocurrency sebagai mata uang dan tidak sah diperdagangkan.

Padahal, jumlah investor ataupun trader dari komoditas aset kripto di tanah air tidaklah sedikit. Data dari Kementerian Perdagangan mencatat jumlah investor aset kripto per Mei 2021 mencapai 6,5 juta orang. Angka itu melonjak 50 persen lebih dari akhir tahun 2020 sebanyak 4 juta orang.

Transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp 370 triliun per Mei 2021. Angka itu naik lima kali lipat jika dibanding posisi pada akhir 2020 sebesar Rp 65 triliun. Bicara soal investasi, hasil penelitian terbaru CryptoVantage mencatat aset kripto mewakili 12 persen dari rata-rata portofolio generasi milenial.

Regulasi di Indonesia

Perdagangan aset kripto di Indonesia diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag). Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto dan Peraturan Bappebti (Perba) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, yang telah diubah dengan Perba Nomor 9 Tahun 2019, kemudian Perubahan Kedua dengan Perba Nomor 2 Tahun 2020 dan Perubahan Ketiga dengan Perba Nomor 3 Tahun 2020.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital yang menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.

Yang perlu ditekankan, meski mata uang kripto yang di banyak negara bisa dijadikan alat pembayaran, di Indonesia hanya sebatas alat investasi untuk diperjual belikan. Pasalnya Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015 mewajibkan penggunaan rupiah sebagai alat transaksi.

Sementara sebagai instrumen investasi, keberadaan uang kripto legal untuk diperjualbelikan. Para investor aset kripto bisa melakukan jual beli mata uang kripto melalui perusahaan pedagang aset kripto yang harus mendapat izin dan verifikasi dari Bappebti.

Di Indonesia sendiri, saat ini terdapat 13 perusahaan pedagang aset kripto yang terdaftar di Bappebti. Data dari Bappebti per Mei 2021 menunjukkan terdapat 229 aset kripto yang terdaftar dan dapat diperjualbelikan di Indonesia.

Dikutip dari Buletin Bappeti edisi 228, Bappebti mewajibkan para pedagang aset kripto harus memenuhi beberapa sertifikasi ISO yang menjadi standar keamanan. Misalnya, pedagang harus mempunyai sistem yang diaudit oleh auditor independen dan memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi internasional.

Pengetatan keamanan ini dimaksudkan bukan hanya untuk membuat investor terlindungi ketika bertransaksi, tetapi juga mencegah penyalahgunaan transaksi aset kripto untuk tindakan kejahatan, seperti pencucian uang, terorisme, atau sebagai penyimpan aset hasil korupsi.

Bappebti juga sedang menyiapkan infrastruktur pendukung, salah satunya adalah Bursa Kripto. Selain persiapan infrastruktur berupa aturan, sosialisasi dan edukasi mengenai perdagangan aset kripto dan risikonya juga diperlukan melalui kerja sama regulator, pedagang, serta komunitas investor aset kripto.

Sah Asalkan Memenuhi Syarat Sil’ah dan Memiliki Underlying

Fatwa Majelis Ulama Indonesia secara tegas menetapkan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram karena mengandung gharar dan dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015.

Sementara cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital juga tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar. Kripto juga tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli.

Namun untuk jenis kripto sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas, MUI mengatakan hukumnya sah untuk diperjualbelikan.

Terkait hal tersebut, CEO Indodax Oscar Darmawan mengatakan sebenarnya banyak mata uang kripto yang memiliki underlying aset dan saat ini banyak diperdagangkan. Indodax sendiri merupakan salah satu dari 13 perusahaan pedagang aset kripto yang terdaftar di Bappebti.

“Di Indodax sendiri kita memperdagangkan banyak jenis aset kripto, bahkan volume perdagangan terbesar di Indodax datang dari aset kripto yang punya underlying aset fisik,” jelas Oscar dalam siaran pers yang diterima Asumsi.co.

Oscar juga menjelaskan bahwa sebenarnya hampir semua aset kripto memiliki underlying aset nya tersendiri yang mungkin belum dipahami oleh orang awam. Beberapa aset kripto yang underlyingnya mudah dipahami dalam aset fisik seperti USDT, LGold, LSILVER, XSGD.

Sementara seperti Bitcoin, mata uang kripto dengan nilai kapitalisasi terbesar saat ini sebenarnya juga memiliki underlying berupa biaya penerbitan. Bitcoin memiliki underlying berupa biaya penambangan bitcoin untuk proses verifikasi dan penerbitan bitcoin yang membutuhkan biaya listrik sebesar 150 TeraWatt per jam.

Bentuknya murni digital merupakan inovasi teknologi, layaknya uang yang saat ini sudah tidak memiliki bentuk fisik melainkan hanya digital seperti emoney. 

“Jadi karena ada biaya produksinya, Bitcoin tidak muncul begitu saja makanya jangan heran kalau bitcoin harganya naik terus,” ucap Oscar.

Berpotensi di Era Digitalisasi

Pengamat Ekonomi Syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (SEBI) Aziz Setiawan menilai mata uang kripto berpotensi apabila nilainya stabil atau terjaga. Walau begitu, dirinya menyorot nilai mata uang kripto yang terlalu fluktuatif.

Saat diluncurkan pertama kali ke publik pada 3 Januari 2009, harga Bitcoin hanya US$0,0008 per keping. Dalam waktu 5 tahun, harga Bitcoin mencapai US$1.000 per koin, meski sempat rontok hingga US$300 per keping pada 2013. Kini, harga bitcoin nyaris menyentuh Rp1 miliar per keping.

Dikutip dari Coinmarketcap, harga bitcoin per Selasa (16/11/2021) berada di kisaran USS$60.527 per keping atau sekitar Rp 859,48 juta (kurs Rp 14.200), atau terkoreksi 8,17 persen bila dibandingkan dengan harga perdagangan sehari sebelumnya.

Walau begitu, Aziz menilai uang kripto yang dibuat secara baik dengan teknologi blockchain juga punya nilai intrinsik-spiritualnya di era digital saat ini. Aziz juga berpendapat uang kripto ini memiliki nilai akuntabilitas yang baik. Selain itu, otoritas juga diperlukan untuk melegalisasi mata uang tersebut.

“Jika tidak ada legalitas maka semua orang dapat membuat mata uang sendiri dan kedepannya akan kacau,” kata Aziz kepada Asumsi.co, Selasa (16/11/2021).

UEA dan Bahrain Sudah Memiliki Regulasi

Walau diharamkan oleh MUI, faktanya beberapa negara mayoritas muslim di negara lain telah mengatur keberadaan uang kripto. Melansir dari Forbes, Uni Emirat Arab dan Bahrain saat ini sudah mendukung proses penggunaan uang kripto.

Pada 2019, Bahrain menjadi negara Arab pertama yang mendukung penggunaan kripto. Sementara UEA per September telah mengizinkan perdagangan kripto di zona bebas Dubai.

Aziz menilai saat ini di Indonesia keberadaan kripto memang terbentur undang-undang yang melarang penggunaannya sebagai alat transaksi. Sementara MUI mengeluarkan fatwa karena uang kripto melanggar prinsip-prinsip syariah.

“Negara lain mungkin sudah mendukung uang kripto karena ada regulasi yang mengatur. Namun, di Indonesia berdasarkan UU sudah melarang penggunaan mata uang selain rupiah sebagai transaksi. Jadi itu yang menjadi pertimbangan fatwa tentang mata uang kripto yang belum memenuhi syarat,” kata Aziz.

Baca Juga:

Share: Uang Kripto Haram Sebagai Mata Uang, Legal Diperjualbelikan