Keuangan

Mata Uang Kripto, Suatu Keniscayaan di Era Digitalisasi

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Art Rachen

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan penggunaan kripto atau cryptocurrency sebagai mata uang dan tidak sah diperdagangkan. Padahal, para pengamat menilai mata uang kripto dianggap sebagai suatu keniscayaan, di era yang segalanya bertransformasi menjadi digital ini.

Kementerian perdagangan sendiri telah memberi lampu hijau terkait perdagangan komoditas mata uang kripto. Perdagangan kripto telah diregulasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan dalam Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka, dan diperkuat lewat Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 yang ditetapkan pada 29 Oktober 2021 lalu.

Berdasarkan data Kemendag, jumlah investor aset uang kripto per akhir Mei 2021 mencapai 6,5 juta orang. Angka itu meningkat lebih dari 50 persen jika dibandingkan jumlah investor di tahun 2020 sebanyak 4 juta orang.

Memang hingga saat ini pemerintah Indonesia juga tidak mengakui kripto untuk menjadi alat bayar sebagai alternatif penggunaan rupiah. Bank Indonesia beserta OJK tetap pada pandangannya yang melarang kripto, meski BI sendiri berencana membuat Central Bank Digital Currency (CBDC).

Mengapa Diharamkan?

Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Soleh dalam konferensi pers hasil ijtima Komisi Fatwa MUI, Kamis (11/11/2021) mengatakan hasil musyawarah ulama menetapkan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram karena mengandung gharar dan dharar serta bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015.

Selanjutnya, cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital juga tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar.

“Dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli,” kata Niam, dikutip dari Antara.

Namun, ada secercah “terang” untuk peredaran kripto di tanah air, dimana Niam mengatakan untuk jenis kripto sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas, sah untuk diperjualbelikan.

Di Malaysia Berbeda

Terkait halal haramnya mata uang kripto, komentar berbeda datang dari Ziyaad Mahomed, Ketua Komite Syariah HSBC Amanah Malaysia Bhd. Dikutip dari The Edge Markets, Ziyaad berpendapat sementara emas dan perak jelas diperbolehkan sebagai mata uang dalam Islam, syariah tidak mengharuskan mata uang memiliki nilai intrinsik.

Yang penting adalah ada penerimaan sosial di antara orang-orang bahwa mata uang tersebut memiliki nilai dan dapat digunakan dalam transaksi. Ziyaad percaya bahwa potensi cryptocurrency dalam keuangan Islam sangat besar.

“Dari perspektif syariah, saya pikir ini adalah tujuan utamanya, yakni memanfaatkan teknologi baru untuk memberi manfaat bagi semua pihak dengan cara yang halal dan sah.”

Suatu Keniscayaan

Co-founder Cryptowatch dan pengelola channel Duit Pintar, Christopher Tahir memiliki pandangan lain terhadap keberadaan mata uang kripto. Menurutnya, keberadaan uang kripto adalah suatu keniscayaan di era digitalisasi ini.

“Soal wujud fisik, saat ini kita sedang di era digitalisasi maka mata uang juga akan mengarah ke digital. Apakah nanti ketika rupiah jadi digital, maka rupiah jadi haram?” kata Christopher Tahir kepada Asumsi.co, Kamis (11/11/2021).

Menurutnya, saat ini pencetakan uang tidak seperti zaman sebelum Bretton Woods dibubarkan yang berasaskan jumlah emas sebagai underlying mata uang. Sebagai contoh, salah satu mata uang kripto, Bitcoin saat ini dinilai sama seperti emas yaitu jumlah biaya yang dikeluarkan untuk diproduksi beserta dengan suplai dan permintaan.

“Justru Bitcoin diketahui jumlah pastinya yaitu maksimal 21 juta keping hingga akhir masa penambangannya. Lalu apakah ada yang tahu berapa rupiah yang beredar dan akan beredar itu jumlahnya berapa? Adakah yang tau emas jumlahnya berapa dan yg di perut bumi ini pastinya berapa,” ucap Christopher Tahir.

Dengan menggunakan kriptografi sebagai jaminan, membuat penggunaan mata uang kripto tidak bisa dimanipulasi. Pencatatan uang kripto terpusat dalam sebuah sistem atau yang dikenal dengan teknologi blockchain.

“Segala transaksi yang telah disimpan di dalam jaringannya itu tidak bisa diubah siapapun, kecuali internet seluruh dunia mati,” ujar Christopher.

Menurut Christopher, fatwa MUI ini tentunya akan membuat banyak investor yang melepas aset kripto milik mereka. Namun sesuai hukum di Indonesia, maka saat ini investor sejatinya tetap diizinkan untuk memiliki dan memperdagangkan uang kripto, meski tetap tidak digunakan untuk pembayaran.

“Banyak yang melepas dan itu wajar, namun apakah kita mau nanti ketinggalan secara teknologi? Menurut banyak analis di dunia yang menyatakan ‘lebih baik memiliki sedikit Bitcoin daripada tidak memiliki sama sekali’,” tandasnya.

Pahami Risikonya

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan, uang kripto merupakan uang digital yang diciptakan bukan dari bank sentral dan terciptanya uang itu dilakukan oleh para pengguna dari uang kripto itu sendiri.

Berbeda dengan mata uang saat ini baik uang dalam bentuk fisik dan uang digital yang berasal dari mata uang rupiah. Namun, menurutnya uang kripto memang tidak bisa dicegah atau bersifat niscaya kedepannya.

“Uang kripto memang sesuatu yang tidak bisa kita cegah. Apabila kripto ini masih ada mungkin dapat dilihat bisa menghapuskan uang yang bersifat sentralistik,” katanya kepada Asumsi.co, Jumat (12/11/2021).

Mengingat basis pengguna uang kripto saat ini sudah digunakan oleh jutaan orang, Piter menilai sedikit peluang eksistensi uang kripto menghilang. Walau begitu, Piter mengingatkan risiko apabila uang kripto dijadikan sebagai mata uang.

“Sebab, kripto tidak memiliki underlying atau tidak ada ‘back up’ untuk pertanggung jawabannya. Ini berpotensi menimbulkan kerugian yang sangat besar. Tentu para investor atau mereka yang memiliki aset kripto ini harus memahami risikonya dari membeli suatu aset kripto,” ucap Piter.

Baca Juga:

Share: Mata Uang Kripto, Suatu Keniscayaan di Era Digitalisasi