Isu Terkini

Anggota MUI Terlibat Kasus Terorisme: Sinyal Ancaman Strategi Kamuflase

Admin — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Ardika/am

Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) Polri meringkus dan menersangkakan tiga orang yang diduga terhubung dengan jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI). Mereka disebut memiliki peran penting di JI. Tiga orang itu adalah anggota Ahmad Zain An-Nazah,  Farid Ahmad Okbah, dan Anung Al Hamad.

Dua nama pertama adalah tokoh penting. Zain merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedangkan Farid menjabat Ketua Umum Partai Dakwa Rakyat Indonesia (PDRI).

Keduanya juga Dewan Syuro JI. Mereka juga terhubung dengan Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Abdurrahman Bin Auf (LAZ BM ABA), sebuah yayasan amal bentukan JI yang bergerak menggalang dana.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, Ahmad Zain juga menjabat Ketua Dewan Syariah LAS BM ABA, sedangkan Farid Okbah menjabat Dewan Syariah yayasan tersebut. Ramadhan menyebut Farid pernah memberikan uang tunai sebesar Rp10 juta untuk Perisai Nusantara Esa (PNE), sayap organisasi JI.

Adaptasi Kelompok Teroris

Keterlibatan Ahmad Zain dalam Jaringan Islamiyah menjadi tanda tanya besar. Pasalnya, Zain ada dalam organisasi sebesar MUI.

MUI, dalam keterangan resminya menyatakan bahwa dugaan keterlibatan Ahmad Zain merupakan urusan pribadi yang tidak berkaitan dengan MUI. MUI pun langsung menonaktifkan Zain.

“MUI menonaktifkan yang bersangkutan sebagai pengurus MUI sampai ada kejelasan berupa keputusan yang berkekuatan hukum tetap,” kata Sekretaris Jenderal MUI Buya Amirsyah Tambunan.

Menurut pakar intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta, keberadaan Ahmad Zain di MUI membuktikan bahwa kelompok teroris sudah mulai menggunakan strategi adaptasi. Mereka berkompromi dengan lembaga-lembaga besar dan masuk ke dalamnya.

Artinya, kelompok teroris mulai mengedepankan propaganda dari dalam lembaga dari pada cara-cara kekerasan. “Ini harus diwaspadai dengan sangat cermat,” kata Stanislaus saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (17/11).

Stanislaus menjelaskan, memang cara-cara seperti itu sudah mulai banyak digunakan kelompok-kelompok teroris. Karena itu, dia mengingatkan polisi dan intelejen melakukan antisipasi agar para anggota kelompok teror tidak masuk ke organisasi negara.

Menurut Stanislaus, kelompok terorisme menyusup ke lembaga tertentu untuk tujuan jangka panjang, yaitu merebut kekuasaan. Cara-cara kekerasan sudah dipandang justru merugikan organisasi.

“Sekarang saatnya ambil tindakan tegas, jika ada yang terbukti orang terlibat dalam kelompok teror masuk dalam organisasi negara maka segera ditangani. Background check sangat penting dilakukan untuk memastikan organisasi milik pemerintah tidak disusupi kelompok teror,” kata Sanislaus.

Senada, pengamat terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menilai, keberadaan Zain di tubuh MUI menyiratkan bahwa kelompok teroris saat ini menggunakan strategi kamuflase. Strategi ini, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak dulu, tetapi kini kembali digunakan.

“Hal itu menunjukkan JI hebat melakukan strategi kamuflase dengan membuat partai politik dan bergabung ke lembaga lembaga umum yang populer,” tutur Ridlwan.

Dulu, JI memang menggunakan strategi kamuflase. Tidak hanya ‘menyusup’ ke lembaga atau organisasi pemerintahan, mereka juga membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau lembaga bantuan hukum (LBH) sebagai strategi penyamaran.

Lemahnya Pengawasan

Keberadaan Ahmad Zain dalam kepengurusan MUI menandakan lemahnya pengawasan di awal. Menurut Stanislaus, lembaga-lembaga besar seperti MUI ataupun lembaga negara semestinya melakukan pengecekan latar belakang dan profiling sebelum merekrut.

“Untuk memastikan orang yang akan masuk organisasi atau lembaga benar-benar steril, dan diadakan pemetaan jaringan untuk mencari jaringan lain yang masih ada di lembaga pemerintah,” ujar Stanislaus.

Karena kondisi tersebut, Ridlwan mendorong pemerintah maupun DPR segera membuat aturan baru mengenai definisi radikalisme dan ekstremisme. Hal ini, kata dia, bisa menjadi salah satu acuan dalam merekrut seseorang ke dalam organisasi atau lembaga negara.

Sebab, selama ini, masuknya anggota kelompok teroris ke organisasi ataupun lembaga negara lantaran belum ada aturan dan panduan hukum yang baku menyangkut definisi radikalisme

“Aturan hukum yang lebih tegas tentang definisi radikalisme dan ekstrimisme penting. Tujuannya agar kementerian dan masyarakat umum punya panduan dalam menilai seseorang apakah radikal atau tidak,” tandasnya.

Baca Juga

Peran Ketum Partai Dakwah Hingga Anggota Komisi Fatwa MUI Dalam Jamaah Islamiyah

Potensi Gerakan Teroris di Indonesia Pasca Taliban Kuasai Afghanistan

Kaum Milenial dalam Pusaran Jaringan Terorisme di Indonesia

Share: Anggota MUI Terlibat Kasus Terorisme: Sinyal Ancaman Strategi Kamuflase