Politik

Setumpuk Masalah Draf RUU PKS Jelang Disahkan Jadi Inisiatif DPR

Ricardo — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dilaporkan akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir November 2021. Bukan sebagai UU, RUU itu baru sekedar ditetapkan sebagai inisiatif DPR agar bisa dibahas bersama pemerintah.

RUU TPKS merupakan salah satu RUU yang menjadi sorotan publik. Selain karena urgensinya, isi dari draf RUU itu juga memiliki banyak persoalan.

Draf belum komprehensif

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan catatan paling mendasar RUU TPKS adalah terkait dengan bab tentang jenis-jenis kekerasan seksual. Naskah Akademik RUU TPKS belum sepenuhnya secara komprehensif memetakan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memiliki ‘dimensi’ kekerasan seksual atau dapat digunakan untuk memproses kasus kekerasan seksual. 

Kemudian, RUU TPKS juga mengatur tentang jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual baru yang menyebabkan adanya dikotomi bahwa penanganan korban yang hak-haknya menggunakan RUU TPKS hanyalah korban yang kasusnya diproses dengan ketentuan pidana dalam RUU TPKS.

“Dalam ketentuan peralihan, ketentuan penutup ataupun pasal lainnya dalam RUU TPKS belum menjelaskan bagaimana kedudukan pemenuhan hak korban kekerasan seksual yang kasusnya diproses dengan KUHP, UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU PKdRT ataupun UU lain seperti UU ITE dan UU Pornografi,” ujar Maidina kepada Asumsi.co, Senin (15/11/2021).

Maidina menyampaikan RUU TPKS harus menjamin hak-hak korban kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam UN Secretary-General Guidance Note on Reparations for Conflict-Related Sexual Violence.

Hal itu dinilai perlu diimplementasikan sebagai bentuk perhatian khusus bagi korban kekerasan seksual yang dinilai sebagai kejahatan serius. UN Women menegaskan bahwa penanganan kekerasan seksual perlu difokuskan kepada pemulihan bagi korban yang selama ini belum diprioritaskan.

“Selain mengakui adanya hak-hak korban, negara juga berkewajiban untuk menjamin terlaksananya upaya pemulihan dan bantuan bagi korban. Reparasi atau pemulihan dalam Guidance note ini diatur secara spesifik untuk korban kekerasan seksual dikarenakan kekerasan seksual menimbulkan efek fisik dan psikologis yang sangat besar, ditambah lagi dengan stigma yang muncul dari masyarakat,” ujar

Maidina memaparkan bentuk pemulihan bagi korban kekerasan seksual harus proporsional dengan asal kekerasan dan akibat yang diderita oleh korban. Pemulihan harus dilaksanakan secara komprehensif termasuk di dalamnya gabungan dari pemulihan secara individual, kelompok, simbolis, dan material.

Pemulihan bagi korban kekerasan seksual, lanjut Maidina dilaksanakan dalam rangka membantu korban keluar dari ketidaksetaraan dan diskriminasi. “Pemulihan tersebut dapat terdiri beberapa jenis termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, pemuasan/ satisfaction, dan jaminan tidak diulanginya perbuatan,” ujarnya. 

Terkait dengan hal itu, Maidina berkata pihaknya berharap RUU TPKS nantinya akan memuat secara rinci pasal per pasal terkait hak-hak korban.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan draf RUU TPKS yang terbaru sudah lebih baik daripada draf sebelumnya. Sebab di
dalamnya telah mengatur tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan yang lebih ramah lingkungan terhadap korban, termasuk ada
penyempurnaan sistem pembuktian. 

“Hal hal yang harus di perbaiki adalah belum diaturnya
kekerasan berbasis gender siber. Tidak adanya hak untuk dilupakan (the right to
be forgoten
) bagi korban kekerasan seksual yang nama, kasusnya atau konten
kekerasan seksualnya ditransmisikan secara ITE,” kata Siti kepada Asumsi.co.

“(Termasuk) belum diaturnya lembaga pengawas independen
yang mengawasi dan memantau pelaksanaan UU ini. Kami mengusulkan Lembaga
Nasional HAM seperti Komnas HAM, KPAI dan Komnas Perempuan yang memiliki mandat
pemantauan,” tambahnya. 

Kemudian, Siti juga meminta DPR bersama pemerintah
mendiskusikan kembali terkait lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan
Disabilitas (UPTD PPAD) yang dimandatkan dibentuk oleh pemprov dan Pemkab.
Untuk itu Komnas Perempuan menyarankan agar Panja RUU TPKS nantinya harus
melibatkan pemprov tertentu dalam pembahasan teknis seperti ini. 

“Apakah ini lembaga baru atau menambahkan fungsi UPTD
PPA yang saat ini sedang dibangun untuk melaksanakan Permen KPPA? Untuk memahami
sistem pelayanan terpadu kasus kekerasan terhadap perempuan, kami menyarankan
Panja menggelar RDP dengan Pemprov seperti Pemprov DKI Jakarta atau Pemprov
Jawa Tengah atau Pemprov DIY. Juga ppt yang berbasis rumah sakit seperti ppt
RS. Bhayangkara,” ujarnya.. 

Tidak memuat asas dan tujuan

Pengacara publik LBH Jakarta Oky Wiratama Siagian mengatakan, dalam draf RUU TPKS versi Baleg DPR RI tidak memuat asas dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Seharusnya terdapat asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, jaminan ketidakberulangan, kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.

Selain asas, tidak terdapat tujuan dibentuknya dalam draf RUU PKS seperti mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. 

“Absennya asas dan tujuan pembentukan undang-undang dalam draf RUU TPKS berdampak pada tidak jelasnya arah penghapusan kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban,” jelas Oky. 

Kemudian, hilangnya jenis tindak pidana pemaksaan perkawinan dalam draf RUU TPKS versi Baleg DPR sama halnya dengan mendukung status quo serta mengabaikan fakta pemaksaan perkawinan yang dihadapi perempuan dan anak. 

Padahal, perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan merupakan bentuk kekerasan terhadap gender yang telah berdampak secara kerugian fisik, mental atau seksual. Selain itu, pemaksaan perkawinan mengakibatkan terhambat dan terkuranginya pemenuhan hak-hak fundamental sebagai manusia. 

Oky menambahkan ada beberapa ketentuan pidana yang hilang dalam draf RUU TPKS terakhir. Seperti tindak pidana perbudakan seksual, ketentuan mengenai pemaksaan aborsi, dan tindak pidana pemaksaan pelacuran juga hilang. 

“Kemudian terkait tidak diaturnya mengenai kewajiban alokasi anggaran terhadap institusi negara untuk terlibat aktif menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual membuat negara tidak serius dalam melakukan tindakan preventif. Tak hanya itu, diperlukan pengaturan bidang yang harus diintervensi untuk melakukan pencegahan, seperti bidang pendidikan, pelayanan publik, pemerintahan, hingga ekonomi, sosial dan budaya,” tutupnya. 

Baca Juga:

Share: Setumpuk Masalah Draf RUU PKS Jelang Disahkan Jadi Inisiatif DPR