Isu Terkini

Sengkarut Harga PCR, Efek Minim Transparansi dan Inovasi

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Unsplash/ Mufid Majnun

Pemerintah diketahui telah menurunkan tarif tes polymerase chain reaction (PCR) dari Rp495 ribu menjadi Rp275 ribu. Tarif tersebut khusus di daerah Jawa dan Bali. Sedangkan untuk wilayah luar Jawa dan Bali sebesar Rp300 ribu. 

Meski harganya telah diturunkan dari yang sebelumnya, namun tarif baru PCR tetap dikritisi sejumlah pihak. Pasalnya, bila dibandingkan dengan negara lain seperti India, tarif yang diberlakukan di Indonesia masih tergolong mahal.

Harga tes PCR di India 

Melansir India Today, pemerintah kota New Delhi telah menurunkan harga tes PCR sejak 4 Agustus lalu. Saat itu harga PCR diturunkan dari kisaran 800 rupee atau setara Rp150 ribu menjadi 500 rupee atau setara Rp96 ribu.

Sementara untuk tes antigen, pemerintah setempat menetapkan harga 300 rupee atau sekitar Rp58 ribu. Kepala Menteri Delhi Arvind Kejriwal mengatakan ditetapkan harga baru ini diyakini mampu membuat tes PCR, bisa diakses oleh seluruh masyarakat.

“Pemerintah Delhi memutuskan untuk secara drastis menurunkan seluruh harga tes Corona. Ini akan membantu semua orang biasa bisa memanfaatkannya,” katanya.

Arvind pun meminta seluruh laboratorium dan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) setempat, tidak memainkan harga serta proses pengetesannya selesai dalam jangka waktu 24 jam.

Alasan Impor

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menyoroti mahalnya harga tes PCR di Indonesia. Bahkan ICW sudah menyoroti harga tes PCR di negeri ini sejak Kemenkes RI melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp900 ribu atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India, sebelum akhirnya diturunkan.

Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia berdampak pada upaya memutus rantai penularan COVID-19 di negeri ini. Kemenkes, lanjut dia menyebutkan kalau mahalnya tarif pemeriksaan tes PCR di Indonesia karena alasan bahan baku yang masih bergantung pada impor dan harga reagen yang tinggi. 

Namun berdasarkan temuan ICW di lapangan, Wana mengungkapkan kalau tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk produk test kit dan reagen laboratorium.  

“Seperti yang pernah saya sampaikan, impor barang untuk keperluan penanganan pandemi diberikan fasilitas kepabeanan atau cukai, serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR,” katanya melalui pesan singkat kepada Asumsi.co, Kamis (28/10).

Ia menambahkan, Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 juga menyatakan Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi COVID-19.

Komponen tes PCR

Wana Alamsyah juga menegaskan kalau selama ini informasi yang transparan soal komponen-komponen pembentuk harga dalam tes PCR tak pernah disampaikan kepada masyarakat. 

Harga reagen PCR yang dibeli pelaku usaha diketahui senilai Rp180 ribu sampai Rp375 ribu. Maka, ia mengaku heran pada tahun lalu tes ini harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

“Kebijakan yang dibuat secara tidak transparan bisa memicu mahalnya harga yang ditetapkan dan diduga tujuannya (pemerintah) menguntungkan pelaku usaha dan pihak-pihak tertentu saja,” ungkapnya.

Mengutip situs ITB, untuk menjalankan tes PCR memerlukan komponen-komponen DNA target, primer, enzim DNA polymerase, dan Deoxynucleoside triphosphates (dNTPs).

Ada juga buffer reaksi atau pereaksi kimia yang dikenal dengan sebutan reagen. Sedangkan alat yang dibutuhkan antara lain mesin PCR, tabung eppendorf 0.2 ml, mikropipet, pipet tip, dan sentrifuga. 

Potensi produksi

Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, meyakini industri farmasi Indonesia bisa menjadi produsen alat dan komponen lain untuk kebutuhan tes PCR supaya harganya bisa semakin turun di lapangan. Pasalnya, Indonesia saja bisa membuktikan terlibat dalam pembuatan vaksin COVID-19.

“Masa Biofarma bikin vaksin saja bisa, buat produksi alat dan kebutuhan yang dipakai tes PCR enggak bisa. Kan perlu dipertanyakan,” kata Syahrizal melalui sambungan telepon.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan dengan adanya permasalahan harga tes PCR ini, menuntut industri bidang kesehatan negeri ini untuk mampu mengembangkan sendiri kebutuhannya.

“Tentu dari segi industri yang harus dikembangkan untuk bahan baku. Memang kita lebih mahal dari India karena ada bahan baku yang tidak diproduksi di sini,” ujar Tauhid saat dihubungi terpisah.

Namun menurutnya sangat memungkinkan teknologi komponen dan mesin PCR bisa diduplikasi dan dipelajari untuk diproduksi di Indonesia.

“Saya meyakini industri dalam negeri mampu. Anak-anak bangsa kita mampu. Masalah kesehatan ini kan biaya ekonominya tinggi, mau tidak mau harus dipaksa industri kita mampu dan pemerintah harus ambil bagian,” ucapnya.

Urgensi dipertanyakan

Namun Syahrizal menilai sebenarnya bukan soal kemampuan memproduksi alat tes PCR yang menjadi persoalannya. Ia mengatakan urgensi penggunaan tes PCR sebagai syarat perjalanan inilah yang masih perlu dipertanyakan.

Ia menerangkan mengacu pada ketentuan WHO yang menyebutkan karena di banyak negara tes PCR terbatas dan membutuhkan peralatan serta tenaga khusus maka lebih diutamakan penggunaan tes antigen.

“Tes PCR kan butuh reagen khusus juga dan hasilnya lama keluarnya, sehingga WHO menganjurkan pemeriksaan dengan antigen sudah cukup baik, sensitivitasnya 80 persen. Ini hasilnya bisa 10 sampai 30 menit. Kenapa mesti mengambil pilihan PCR?,” tuturnya.

Syahrizal mengatakan kalau sebetulnya tes PCR hanya diprioritaskan penggunaannya bagi yang memenuhi kriteria klinis dan epidemiologis. Misalnya, seperti orang yang pernah kontak erat dengan yang pernah ada riwayat terpapar COVID-19 atau memiliki gejala klinis tertular virus Corona namun hasil tes antigen dinyatakan negatif maka perlu tes konfirmasi ulang lewat PCR. 

“Nah ini, orang mau naik pesawat, bus, kereta api tidak memenuhi kedua syarat itu untuk mesti PCR. Jadi, cukup antigen saja. Dari awal saya sudah tidak setuju dengan syarat tes PCR sebagai syarat perjalanan. Bukan hanya lebih mahal, tapi persoalan akses masyarakat dan efisiensi waktunya,” terangnya.


Baca Juga:

Share: Sengkarut Harga PCR, Efek Minim Transparansi dan Inovasi