Isu Terkini

Hari Listrik Nasional, Energi Kotor Masih Jadi Andalan

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Unsplash/ Ella Ivanescu

Di
tengah momentum Hari Listrik Nasional yang diperingati setiap tanggal 25
Oktober, organisasi dan pegiat lingkungan hidup menyoroti sikap pemerintah
Indonesia yang masih memberikan ruang bagi penggunaan energi kotor sebagai
sumber pembangkit listrik.

Komitmen
nyata pemerintah dalam mencapai target 1,5 derajat Celsius pun dinilai masih
jauh dari memadai. Hal ini terlihat dalam Dokumen RUPTL (Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik) PT PLN (Persero) 2021-2030 yang dirilis baru-baru
ini.

Batu
bara masih jadi andalan

Peneliti
Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari menyebutkan
RUPTL PLN 2021-2030 memperlihatkan penambahan kapasitas pembangkit dari batu bara
(PLTU) mencapai 13,8 Gigawatt atau 43 persen dari total tambahan kapasitas
pembangkit sebesar 40,5 Gigawatt atau 100 persen.

“PLN
mengklaim RUPTL ini hijau, tapi sayangnya saat melihat rencana pengadaannya
selama 10 tahun ke depan, kami mengatakan itu belum hijau karena masih
didominasi pembakaran PLTU batu bara. Batu bara masih menjadi sumber andalan
sektor kelistrikan nasional,” jelas Adila kepada
Asumsi.co melalui
sambungan telepon, Rabu (27/10).

Adapun
saat ini, kata dia sekitar 60 persen listrik di Indonesia masih berasal dari
pembakaran batu bara, meski pemerintah mempunyai target untuk mencapai 23
persen energi terbarukan di tahun 2025. Hal ini dituangkan di dalam Analisa dan
Respons Greenpeace Indonesia terhadap RUPTL 2021-2030.

Namun
sayangnya, ia mengatakan dari yang direncanakan pemerintah batu bara masih memiliki
porsi lebih besar. Sebab, 43 persen dari pembangkit tambahan untuk listrik
masih berasal dari batu bara. 

“Sebetulnya
ini jadi permasalahan karena kita akan menambah 43 persen dari pembangkit
existing. Ketika membangun PLTU batu bara ini sangat bertentangan dengan target
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change),” ucapnya.

Emisi
kotor

Adila
memaparkan melalui laporan IPCC yang dirilis Agustus 2020 bila ingin mencapai
target pembatasan kenaikan temperatur suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celsius di
tahun 2100 maka semua negara harus mengurangi 80 persen dari PLTU existing
di tahun 2030. 

“Di
Indonesia justru berkebalikan, dalam 2021-2030 kita malah mau menambah 43
persen dari yang
existing dalam kurun waktu 2021 sampai 2030,” ucapnya.

Menurutnya,
batu bara memiliki umur yang panjang sekitar 35 tahun dalam pengoperasiannya.
Maka ia berpendapat RUPTL 2021-2030 berorientasi hijau tidak tepat.

“Operasi
batu bara ini bahkan bisa lebih dari 35 tahun. Misalnya seperti PLTU Suryalaya
di Banten, usianya lebih dari 35 tahun dan masih beroperasi. Semakin tua pengoperasiannya
maka semakin tidak efisien dan semakin kotor emisinya,” tegasnya.

Ia
menjelaskan ketergantungan pemerintah terhadap batu bara ini bahkan disebutkan
sampai tahun 2050 dengan 38 persen listrik negeri ini masih berasal dari
pembakaran batu bara.

“Sebetulnya
ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai komitmen iklim dan melakukan
transisi energi,” ucapnya.

Konversi
energi

Manajer
Perluasan Jaringan dan Kampanye Energi Urban Wahana Lingkungan Hidup Indonesia,
Dwi Sawung juga mempertanyakan langkah pemerintah untuk melakukan transisi
energi.

“Rencana
transisi energi oleh pemerintah kita saat ini belum jelas. Hal utama berhenti
dulu membangun PLTU yang baru karena kalau yang baru masih dibangun, kapan
dilakukan transisinya? Ini kan, jadi pertanyaan besar,” ujarnya saat
dihubungi terpisah.

Ia
mengamini usia PLTU batu bara masih beroperasi 30 tahun usia pembangkitnya.
Kekhawatiran terbesar bila perubahan iklim dibiarkan maka perubahan iklim yang
semakin parah tak terelakkan.

“Perubahan
iklim pasti terjadi dan kita jadi ketergantungan batu bara. Tambangnya juga enggak
akan berhenti. Bisa semakin terjadi kerusakan alam di Kalimantan, Sumatera,
bertambah lagi ke Papua dan Pulau Jawa bila pembangunan PLTU terus
dibiarkan,” tuturnya.

Sawung
mengatakan dampak jangka pendek dari melanggengkan pembangunan PLTU menyebabkan
terjadinya longsor dan banjir parah. Sehingga, dia mendesak konversi energi
terbarukan harus dimulai dari sekarang. 

Beberapa
contoh konversi energi bisa dilakukan dengan memanfaatkan tenaga surya atau
gelombang angin. Kedua energi ini menurutnya perlu segera dieksplorasi sebagai
pembangkit listrik di Indonesia.

“Di
Indonesia energi Matahari masih belum banyak dieksplor, kemudian dari angin
gelombang laut juga belum. Selain itu bisa juga energi yang berasal dari limbah
pertanian yang juga belum dieksplor,” tandasnya.


Baca Juga:

Share: Hari Listrik Nasional, Energi Kotor Masih Jadi Andalan