Bibir Fredy Santoso (27) hanya tertawa ketika diledek kawan-kawannya di tongkrongan. Fredy tak ambil pusing menjadi bahan lelucon karena rambutnya yang gondrong.
“Gondrong aja… enggak jadi preman? Gitu. Cuma konteksnya bercanda,” ujar Fredy saat ngobrol dengan Asumsi.co.
Fredy memutuskan membiarkan rambutnya terus memanjang saat kuliah. Menurut Fredy anak muda dan gondrong adalah hal keren. Ia mengaku pilihannya mendapat dukungan dari keluarga.
“Keluarga sih dukung semua, enggak ada masalah paling kalau orang tua badanku kan kurus ya, mungkin keliatan agak kurus pas aku gondrong. Paling itu aja, dikatain kurus, (diminta) diiketlah (rambutnya),” ujar Fredy.
Bila Fredy tak mengalami kendala, Najib Zahro’u (26) punya pengalaman kurang enak karena berambut gondrong.
Cerita berawal saat Najib hendak membuat surat izin mengemudi (SIM) di kantor polisi. Sebagaimana prosedur biasa, pembuat SIM mendapat banyak pertanyaan dari petugas.
“Maksudnya bukan dipersulit seperti prosedur biasa, cuma gitu. Ketika saya masuk ke situ, terus kayak ada kesan seakan-akan ini intinya lebih banyak mengintrogasi latar belakang saya, kuliah di mana, ngene-ngene,” ujar Najib.
Bukan hanya soal mengurus SIM. Najib juga punya pengalaman buruk karena memilih menjadi gondrong. Waktu itu, Najib masih menjadi mahasiswa baru.
“Dari cewe itu ya ada yang apresiasi, sudah berapa tahun mas gini-gini gini. Tetapi kebanyakan ya, mereka memandangnya ya enggak rapi, dianggapnya burik, tetapi ya, itu style yang menurut mereka bukan mereka banget, kebanyakan,” ujar Najib.
Stigma pelaku kriminal
Stigma rambut gondrong pelaku kriminal terbentuk sejak Orde Baru. Saat itu razia rambut gondrong terjadi di berbagai tempat, dari jalan raya, sekolah, hingga kantor pemerintah.
Bahkan, pengurusan SIM, izin pertunjukan, izin rapat, atau surat keterangan bebas G30S/PKI tidak akan dilayani kepolisian jika yang mengajukan masih berambut gondrong.
Aria Wiratma Yudhistira dalam buku ‘Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an’ menulis, aksi anti rambut gondrong dikukuhkan dalam memori kolektif masyarakat melalui berbagai pemberitaan surat kabar.
Misalnya, Harian Pos Kota pada 5 Oktober 1973 memuat berita berjudul ‘7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota’. Kemudian, Harian Angkatan Bersenjata menerbitkan berita berjudul ‘Disambar si Gondrong’.
Harian Pos Kota dan Harian Angkatan Bersenjata gemar melekatkan kata-kata berunsur kriminal, seperti merampok, memerkosa, memeras, hingga pecandu narkotika, dengan rambut gondrong. Imbasnya, menegaskan citra orang berambut gondrong sebagai pelaku kriminal.
“Jarang bahkan tidak pernah ditemukan –sekurang-kurangnya dalam penelitian ini, ciri-ciri botak, gundul atau cepak masuk menjadi berita kriminal tentang perampokan atau perbuatan jahat lainnya. Malah suatu keanehan apabila ternyata ada orang yang tidak berambut gondrong melakukan kejahatan,” tulisnya.
Pada 1970-an, petugas-petugas negara diterjunkan ke pinggir jalan Jakarta untuk mengguntingi rambut gondrong karena dianggap bertentangan dengan norma-norma umum.
Seorang aktivis angkatan 1966 sekaligus kakak dari Soe Hok Gie, Arief Budiman menilai, rambut gondrong bertentangan dengan norma-norma umum sebagai dalih yang tidak ilmiah.
Dalam buku Kebebasan, Negara, dan Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005, Arief Budiman menulis, rambut gondrong merupakan persoalan selera, bukan persoalan yang menganggu ketentaraman umum.
Jika selera umum dianggap sebagai hukum yang sah untuk menindak selera khusus, maka yang terjadi bukanlah demokrasi, melainkan ‘diktator kolektif’.
Menurut Arief Budiman, sangat menyeramkan pengaitan rambut gondrong dengan kepribadian nasional. Ia khawatir tindakan kriminalisasi era Soekarno (Orde Lama) – yang mana seseorang dapat ditangkap karena bertentangan dengan kepribadian nasional – bisa terulang lagi dalam kasus rambut gondrong di masa Soeharto (Orde Baru). Padahal, pengertian kepribadian dinamis dan terus berkembang. Jadi, pengertian kepribadian nasional tidak bisa dirumuskan.
Di sisi lain, rambut gondrong mustahil tidak berakar dari kebudayaan Indonesia. Sebab, banyak tokoh berambut gondrong dalam cerita Ramayana dan Mahabharata pada relief candi-candi yang diketahui pemuda melalui membaca komik.
Baca Juga: