Para ilmuwan politik telah memposisikan Indonesia dalam kondisi stagnasi maupun kemunduran demokrasi. Penurunan kualitas kebebasan sipil merupakan salah satu variable utama penyebab kemunduran demokrasi itu.
Skor demokrasi terendah: Berdasarkan Data Freedom House, skor demokrasi Indonesia pada tahun 2021 menempati urutan terendah dalam lima tahun terakhir.
“Komponen yang menyebabkan hal itu tidak lain ialah penurunan skor kebebasan sipil yang cukup tajam,” ujar Peneliti Center of Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal dalam media briefing, Kamis (7/7/2022).
Kebebasan berpendapat: Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan komponen kebebasan sipil yang perlu untuk terus dijaga dalam iklim negara demokrasi.
Merujuk survei Komnas HAM pada 2020, kebebasan berpendapat merupakan komponen tertinggi yang disorot masyarakat. Dalam studi lain, Komnas HAM mencatat, hampir 30% masyarakat menilai tidak adanya ruang kebebasan untuk mengkritik pemerintah.
Temuan lainnya, 36,2 % masyarakat merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik. Ia menilai, sebelum adanya RKUHP, kriminalisasi atas hak untuk berekspresi juga telah memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan.
Fahrizal mengatakan kebebasan berpendapat Indonesia masih harus berhadapan dengan momok UU ITE. Amnesty International mencatat, setiap tahun masih terdapat kasus kriminalisasi. Kriminalisasi di tahun 2020 merupakan yang tertinggi selama kurun lima tahun terakhir atau 84 kasus.
Kritik: SafeNet melaporkan, warga, aktivis, hingga wartawan menjadi korban pemidanaan pasal karet UU ITE. Padahal, demokrasi yang sehat memerlukan ruang bagi adanya kritik kepada pemerintah atau lembaga negara. Kritik terhadap kinerja pemerintah perlu ditempatkan sebagai partisipasi politik aktif masyarakat untuk pembangunan ke arah yang lebih baik.
“Ruang kriminalisasi yang tersedia dalam RKUHP berpotensi kuat menghasilkan unintended consequences (konsekuensi yang tidak diinginkan) bagi semakin lemahnya daya kritik masyarakat,” ucapnya.
Berdasarkan pengalaman negara-negara di dunia, pasal penghinaan terhadap pejabat negara seringkali menjadi hambatan dalam proses demokratisasi. Media maupun jurnalis menjadi target kriminalisasi yang sering menjadi korban.
Hina Presiden-DPR: Sebelumnya, Draf final RKUHP masih mengatur mengenai pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Pasal 218 menyebutkan bahwa ancaman pidana terhadap pelaku penghinaan presiden atau wakil presiden dipenjara hingga tiga tahun enam bulan.
“Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV,” bunyi Pasal 218 ayat 1, seperti dikutip Asumsi.co pada Rabu (6/7/2022).
Sementara itu, Pasal 351 ayat 1 RKUHP menyebutkan bahwa pihak yang menghina DPR, MPR, Kejaksaan, Polri, dan pemerintah daerah (pemda) akan dipidana maksimal 1,6 tahun.
Baca Juga:
RKUHP Final: Hina Presiden di Medsos Bisa Dipenjara 4,6 Tahun
Kata Pakar tentang Kritik Presiden Harus Pakai Solusi di RKUHP