Bisnis

Tren NFT Bikin Desainer Sampai Sineas Jual Karya Lewat Pasar Kripto

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Pixabay

Kebiasaan menduplikasi dan menggunakan aset digital di internet membuat karya yang diunggah, atau yang memang secara khusus dikomersilkan secara digital menjadi begitu rentan. Namun, kehadiran teknologi kripto belakangan ini bisa mejadi solusi untuk mengidentifikasi suatu karya. 

Solusi ini dihadirkan lewat Non-Fungible Token (NFT). Sejumlah sineas dan desainer mulai tertarik menjajakan karyanya dengan tarif berdasarkan mata uang kripto.

Tempat Desainer Berekspresi

Desainer sekaligus pemilik Heimlo Studio, Tommy Chandra yang kini mendalami teknologi kripto menjelaskan, NFT merupakan teknologi kripto yang bisa menghadirkan sertifikat digital guna menciptakan nilai identitas terhadap suatu produk digital.

“NFT ini tercatat di blokchain yang menyimpan data besar kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, Tezos, dan mata uang kripto lainnya,” kata Tommy kepada Asumsi.co.

Ia mengaku baru mengikuti tren NFT yang merupakan bagian dari teknologi kripto ini. Saat ini sejumlah karyanya dijual di berbagai platform kripto. Semacam marketplace karya-karya seni yang dijual dengan mata uang kripto.

“Aku baru masuk ke NFT ini sebetulnya lima bulan ke belakang karena memang, masih baru banget hype-nya di sini. Awalnya tahunya dari Clubhouse terus masuk ke Discord, ramai bahas juga di Twitter. Pas aku dengar NFT dan bisa buat jual karya tentu ini kabar gembira,” terangnya.

Baca Juga: Ada Layanan Pinjam Online Kripto, Bahayakah?

Sebelum terjun di dunia kripto, Tommy merupakan ilustrator yang sudah banyak makan asam garam di industri desain selama 10 tahun. “Makanya kadang juga disebut seniman. Biasa juga menangani berbagai klien mulai dari brand, start up, buat komunitas, majalah, sampai berbagai platform buat editorial ilustrasinya,” ujarnya.

Tommy mengungkapkan, gaya dan ciri khas karya yang biasa ia ditampilkan menekankan pada detail ilustrasi. Namun bila bekerja sama dengan klien, ia mengaku bakal lebih banyak beradaptasi sesuai pesanan.

Saat berkarya untuk dijual di pasar kripto, ia mengaku lebih bebas berekspresi dan mengeksplorasi ciri khas yang dituangkan ke dalam gambar berupa ilustrasi. Menurutnya teknologi ini bukan hanya bisa melindungi karya digital, tapi juga mendukung kreator dalam berkreasi dan mengekspresikan produk buatannya.

Terjual Sampai Rp30 Juta

Tommy menilai kehadiran tren NFT merupakan sesuatu yang asyik dan seru bagi kreator seperti dirinya. Ia mulai karyanya dalam bentuk seni kripto di situs Hicetnunc.

“Memang awalnya beberapa temanku ini sering yang ikut pameran dan event jual karya begitu ya. Antusias sih terus ikutan. Sebenarnya hampir semua ilustrator, termasuk aku buat memulai masuk ke NFT rata-rata dari Hicetnunc, itu Tezos (salah satu mata uang kripto) based,” ungkapnya.

Di situs ini, lanjut dia, karya yang dijual memang tidak akan mendapatkan harga tinggi seperti di platform lainnya. Namun ia menyarankan seniman apa pun yang ingin menjajal industri kripto harus memulai menjual di sana. 

“Aku saranin masuk sini dulu karena gas fees, atau nilai yang perlu dikeluarkan buat transaksi atau bikin kontrak baru di dalam sistem blockchain-nya ini rendah. Kalau enggak laku di awal, jadinya enggak stres banget. Sekalian latihan minting listing burn dan secondary market

Sampai saat ini, masih ada karya-karya Tommy yang dijual di situs tersebut. Harganya dipatok dari 0,5 sampai 1 Tezos atau bila dikonversikan ke Rupiah senilai Rp75 ribu sampai Rp100 ribu.

“Rata-rata segituan sih. Selain di situ, aku juga jual di tempat lainnya yang pakai Ethereum kayak Foundation dan Rarible. Transaksi yang pakai Ethereum juga ada yang terjual 0,5 Ethereum sekitaran Rp30 jutaan sih. Itu di Foundation laku 1 piece,” tuturnya. 

Ia mengungkapkan, biasanya paling sedikit mengeluarkan lima edisi setiap menjual karyanya di pasar kripto. “Ini juga dilihatnya dari market-nya kalau barang koleksi khusus yang enggak akan dikeluarin lagi tentu lebih mahal. Kita lihat perilaku kolektor dan ekosistemnya,” kata dia.

Ke depan, Tommy menargetkan bakal menjual karyanya ke platform kripto Open Sea, seraya terus mengembangkan format-format karya ilustrasi yang bakal dirilis secara digital. 

“Di sana marketnya lebih luas dan kolektornya lebih variatif. Sekarang ini kebanyakan masih jual format JPEG dan enggak menutup kemungkinan ke depannya, mengembangkan dalam format Gif atau animasi pendek,” jelasnya.

Sineas Ikut Terjun Tren NFT

Ada pula sineas Wregas Bhanuteja yang menjual karyanya dalam bentuk NFT di pasar kripto. Salah satunya, skenario film pendek bertajuk Tidak Ada yang Gila di Kota Ini. Harga jualnya bila dikonversikan ke Rupiah senilai Rp10 juta. Sama seperti Tommy, Wregas mengenal dunia kripto saat mulai menjadi tren di Indonesia belakangan ini. Sebelumnya, ia sama sekali tak pernah mencari tahu soal NFT. 

“Tiga bulan lalu aku baru ikutan ini sih karena sebelumnya aku enggak paham NFT itu apa. Jadi mata uang kripto yang abstrak ini aku enggak mengikuti awalnya,” ujarnya saat dihubungi terpisah. 

Ia mengaku baru memahami konsep NFT ketika diperkenalkan di dalam suatu acara yang mengajaknya untuk berkolaborasi menjual karya. Dia diajak oleh pegiat properti intelektual karya sinema yang diangkat dari cerita pendek karangan penulis Eka Kurniawan.

Baca Juga: Glitch dan Botxcoin Ramaikan Pasar Kripto Indonesia

“Baru ‘ngeh’ waktu di Jakarta Metaverse kemarin. Ternyata produk berupa karya bisa dijual dalam bentuk digital dan yang menjadi pride ketika karya itu hanya satu-satunya. Jakarta Metaverse mengajak buat ikutan bagian dari film pendek Tidak Ada yang Gila di Kota Ini dijual,” terangnya.

Alasan karya ini yang dipilih karena Eka Kurniawan memiliki basis pembaca yang banyak. Besar kemungkinan para penikmat karyanya mau mengapresiasi lebih pada naskah film pendek tersebut. 

“Mereka ajak dan 50 persen penjualan akan dipakai buat charity untuk membangun kembali industri kreatif yang terdampak Covid-19. Ya sudah, aku ikutan,” imbuhnya.

Penjualan Barang Unik

Selain skenario, Wregas Bhanuteja mengatakan ada juga bagian film Tak Ada yang Gila Hari Ini yang dijual di pasar kripto antara lain story board, poster, dan ada juga slide pertama dan terakhir dari shooting

“Ini slide yang ada tulisan take 1 yang artinya pertama kali kamera itu rolling. Itu kan ada videonya mungkin sekitar semenit dan bentuknya file digital. Sama juga yang slide terakhir itu,” jelas dia.

Kala itu, penjualan dilakukan dengan mata uang kripto Ethereum. Bahkan, penjualan juga dilakukan dengan promosi khusus. 

“Ada bonusnya dari kami, yaitu mengirimkan seragamnya tokoh utama film pendek yang diperankan Oka Antara sebagai petugas hotel di pantai. Seragam model Hawai gitu dan pembeli pertama akan kami kasih sebagai memento. Itu dijadikan bonus ketika slide film itu terjual,” kata dia. 

Menurutnya, pada dasarnya NFT merupakan tempat penjualan barang yang unik, dengan persediaan terbatas serta tak bisa dilipatgandakan secara bebas.

Ia juga menilai transaksi kripto adalah bukti dari evolusi peradaban manusia yang terus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. 

“Secara sejarah ini bukan sesuatu yang aneh bagaimana dulu manusia itu dari barter, terus transaksi pakai uang lalu sekarang digital,” kata Wregas.

Selain karena adanya tawaran kolaborasi, Wregas bilang ketertarikannya menjual karyanya di pasar kripto juga untuk cek ombak. Dia ingin tahu lebih lanjut bagaimana karyanya ditanggapi di pasaran.

Segmen Terbatas

Wregas mengamini bahwa segmen dari pasar kripto dan NFT adalah Gen Z, terutama kelompok milenial yang baru bekerja dan masuk ke dalam tren teknologi baru ini.

Sementara itu, Marketing Expert dari Inventure Consulting, Yuswohady mengaku mengikuti tren NFT yang belakangan terjadi di tengah masyarakat. Menurutnya NFT dan pasar kripto di negeri ini segmennya masih sangat terbatas. 

“Kalau kita bicara Gen X atau Baby Boomer, pasti mereka enggak menangkap yang kayak begini. Mungkin ada yang paham dan mengerti tren NFT di kedua generasi ini, tapi saya yakin hanya sedikit,” katanya. 

Pasar dari NFT dan turunannya, kata dia, menyasar kelompok Gen Z dan Milenial yang merupakan bagian dari masyarajat masa depan yang akrab dengan perkembangan teknologi.Supaya mencapai ekosistem yang stabil market, Yuswohady menilai tren NFT ini perlu memperkuat segmen early adopter dan inovator yang berasal dari kelompok Gen Z dan Milenial. 

“Tantangannya dalam adopsi ini adalah untuk menjadi konsep massal harus melompati jurang untuk masuk ke market yang luas. Caranya dengan memperkuat literasi digital, kemudian perlu adanya keyakinan konsep ini aman, dari segi risikonya juga,” jelas dia.

Bentuk Inovasi

Aktor muda Jerome Kurnia mengikuti tren baru NFT ini. Ia bahkan sering mengulik soal dunia kripto yang belakangan menjadi sorotan dan bahan obrolan di tongkrongannya. 

“Ini memang keren dan menarik menjual karya dengan teknologi baru ini pembayaran dengan kripto, ini inovasi,” kata Jerome.

Meski dianggap relatif aman, namun menurutnya transaksi lewat jalur kripto tetap harus dikritisi. Misalnya pengenaan pajak untuk negara. 

Sejauh ini, dia menyebut transaksi kripto tidak ada biaya pajak di setiap transaksi.

“Kejelekannya langkah-langkah kayak membayar pajak itu kan, harus tetap dikakukan. Uang pajak kan juga penting untuk membangun negara kita. Cuma gue enggak melarang juga yang melakukan ini,” kata dia.

Share: Tren NFT Bikin Desainer Sampai Sineas Jual Karya Lewat Pasar Kripto