Koko tampak gusar. Eks Direktur PIJAKI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang punya nama lengkap Sujanarko itu, mengaku heran pada lembaga tempatnya pernah berkiprah. Makin hari, pemberitaan soal lembaga anti-rasuah ini malah sering sumbang. Hal itu berbeda dengan masanya masih menjabat.
“KPK sedang menuju sakaratul maut, justru dari pimpinan sendiri,” ucap Koko kepada Asumsi.co, Kamis (26/8/2021).
Kebijakan dan Ucapan KPK yang Dinilai Aneh
Koko mungkin tak berlebihan. Selain urusan Tes Wawasan Kebangsaan yang mengenyahkan dirinya dan sejumlah pegawai KPK lain, KPK rupanya tak berhenti dirundung polemik. KPK misalnya, menolak rekomendasi Ombudsman soal TWK.
Pimpinan KPK juga membuat aturan baru seperti membolehkan perjalanan dinas dibebankan kepada panitia. Hal yang selama ini justru tabu di KPK.
Bukan cuma urusan resmi, dalam berbagai pernyataan KPK juga jadi sering dianggap nyeleneh. Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menyebut napi koruptor sebagai penyintas.
Menurut Wawan, napi korupsi mendapatkan pelajaran berharga yang dapat disebarluaskan ke masyarakat, usai menjalani proses hukum.
Baca Juga: Ramai-ramai Kritik Rencana Eks Koruptor Disebut Penyintas dan Jadi Penyuluh Antikorupsi | Asumsi
Gagasan tersebut disampaikan Wawan dalam agenda penyuluhan antikorupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/3/2021). Acara tersebut diikuti 25 narapidana kasus korupsi, yang mendapat program asimilasi dan masa penahanannya hendak berakhir.
Di acara yang sama, pernyataan Wawan disepakati oleh Ketua KPK, Firli Bahuri. Firli berujar, narapidana kasus korupsi bisa menjadi agen antikorupsi ketika sudah berbaur di masyarakat kelak.
“Paling penting lagi para pelaku korupsi yang sudah menjalani hukuman, itu bisa menyebarkan bahaya korupsi, sehingga mereka kita jadikan sebagai agen untuk penyuluh antikorupsi supaya tidak melakukan korupsi,” kata Firli.
Masih hangat soal penyintas dan penyuluh anti-korupsi, wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menambah catatan baru. Pada konferensi pers ‘Capaian Kinerja Bidang Penindakan dan Eksekusi Semester I Tahun 2021’, Selasa (24/8/2021), komisioner yang di masa kepemimpinan Agus Rahardjo ini, dikenal irit bicara.
Namun, kali ini ia menyebut kalau keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (OTT) tergantung pada kecerobohan koruptor menggunakan ponselnya.
“OTT ini tergantung pada kecerobohan dari pengguna HP tersebut, ketidakhati-hatian mereka, sehingga mereka kelepasan ngomong dan kemudian bisa diikuti dan seterusnya,” kata Alex dikutip dari CNN Indonesia.
Koko menilai, pernyataan Alex ini justru berbahaya dalam penindakan korupsi.
“Pernyataan itu seperti bukan dari pimpinan lembaga yang punya kewenangan intelejen. Sangat berbahaya bagi pegawai KPK. Ini seperti memberitahu musuh rahasia perang KPK,” ucap Alex.
Menurut dia, tidak ada lembaga yang punya kewenangan intelejen, tetapi aktivitas internalnya diumbar ke publik. Kalau ini dilakukan dengan sengaja, bahkan bukan tidak mungkin, berpotensi menghancurkan lembaga yang dipimpinnya sendiri.
“Kalau dulu justru dijaga banget. Bukan cuma tentang OTT, tapi juga terkait independensi insan KPK, aktivitas intelejen, dijaga ke depannya,” ucapnya.
Reputasi KPK Dinilai Hancur
Koko pun mengaku miris. Dalam waktu yang relatif singkat, nilai-nilai KPK yang selama ini dibangun sudah berubah.
“Hancur. Karena benar-benar nilai asli KPK sudah dibalik-balik. Integritas, semua dibalik-balik,” katanya.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch menilai, pimpinan KPK saat ini memang tidak serius menangani pemberantasan korupsi. Tak heran, kalau kinerja bidang penindakan KPK dalam catatan ICW, selama semester I 2021 anjlok.
Baca Juga: KPK Deteksi Keberadaan Harun Masiku, Bingung untuk Menangkap | Asumsi
“Anjloknya bukan faktor pandemi Covid-19, melainkan karena pimpinan KPK sibuk dengan agenda menyingkirkan 75 pegawai,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dihubungi Asumsi.co.
Kurnia menilai, satu-satunya prestasi pimpinan KPK adalah memberangus dan mengobrak-abrik lembaga anti-rasuah dalam waktu singkat. Pelakunya juga adalah pimpinan KPK sendiri, utamanya Ketua KPK Firli Bahuri.
“Mungkin itu satu-satunya keberhasilan yang bisa diperlihatkan KPK saat ini,” kata dia.
Tren Kinerja KPK Menurun
Kurnia menilai, tren penurunan kinerja itu sudah terlihat dari riset ICW dan Transparency International Indonesia, tentang Evaluasi Satu Tahun KPK yang dilansir akhir Desember lalu. Data itu menunjukkan, penindakan mengalami penurunan drastis.
Misalnya, jumlah penyidikan pada 2019 mencapai 145, namun pada 2020 hanya 91 kasus. Jumlah penuntutan pada 2019 sebanyak 153, sedangkan tahun 2020 hanya 75 kasus yang masuk pengadilan.
Merosotnya kinerja juga diketahui bukan hanya dari kuantitas, tapi juga kualitas penanganan kasus. Ada dua kasus yang disoroti, yaitu suap ekspor benur dan korupsi bantuan sosial Covid-19.
Kurnia mengatakan, penanganan kasus benur buruk karena mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, hanya dituntut lima tahun penjara. Begitupun kasus bantuan sosial Covid-19, ia menduga KPK justru melindungi pihak tertentu yang diduga terlibat.