Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD DKI Jakarta
menyikapi tudingan yang menyebutkan, proses pembayaran commitment fee untuk
penyelenggaraan Formula E merupakan praktik ijon. Diketahui, tudingan ini disampaikan oleh Ketua DPRD DKI
Prasetio Edi Marsudi.
Dugaan adanya praktik ijon dalam pengelolaan anggaran
Formula E di Jakarta ini, kata dia, berdasarkan pemeriksaan KPK dalam dugaan
korupsi penyelenggaraannya.
Tudingan: Prasetio menyinggung anggaran Rp180 miliar dari
Bank DKI yang diserahkan kepada pihak Formula E sebagai commitment fee.
Padahal, ia mengatakan anggaran tersebut belum masuk APBD DKI.
Setelah transaksi dilakukan baru Pemprov DKI menganggarkan
uang tersebut dalam APBD. Ia menyebutkan, anggaran yang sebelum menjadi Perda
APBD itu sudah ijon kepada Bank DKI senilai Rp180 miliar.
Prasetio mengakui, pihaknya juga yang menyetujui anggaran Formula
E tersebut. Alasannya, ajang Formula E merupakan terobosan dari Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan.
Dinilai Berlebihan: Ketua Fraksi PAN DPRD DKI Jakarta,
Bambang Kusumanto mengatakan, tuduhan praktik ijon yang disebutkan Prasetio
merupakan hal yang berlebihan.
Ia mengatakan, bila dilihat dari prosesnya, pembayaran
comitment fee itu tidak terlihat adanya praktik-praktik yang mencurigakan.
Sebab, menurutnya pembayarannya sah secara hukum.
“Sejak disahkan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas
Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2019, Penyusunan RKA Perubahan APBD 2019,
rapat-rapat lanjutan di komisi dan Banggar, dan Pengesahan RAPBD Perubahan 2019
pada 22 Agustus 2019, pembayaran commitment fee tersebut adalah sah secara
juridis formal,” jelasnya seperti dikutip dari Antara, Minggu (13/2/2022).
Dinilai Menggelikan: Bambang menyebutkan Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini juga tidak
mempersoalkan hal tersebut, apalagi menjadikannya sebagai temuan.
Maka menurutnya, narasi ijon menjadi terasa sangat
menggelikan dan terbantahkan. Pada prinsipnya, menurutnya penalangan pembayaran
kewajiban pemerintah dengan dana pinjaman sementara perbankan adalah mekanisme
yang biasa.
“Tentu diperbolehkan dalam tata kelola keuangan daerah.
Itu adalah hal yang lumrah terjadi,” ucapnya.
Ia mencontohkan, ketika delapan rumah sakit di DKI hampir
terhenti beroperasi karena kekurangan likuiditas di masa COVID-19, sebab
tagihan kepada BPJS belum dibayar atau ketika pembayaran tagihan listrik untuk
sekolah-sekolah harus dibayar, sementara pencairan uang APBD belum dapat
dilakukan di setiap awal tahun anggaran.
“Publik mesti diberi tahu hal yang sebenarnya soal ini.
Jangan sampai publik menjadi korban gimik-gimik politik melalui informasi yang
tidak benar,” ucapnya.
Baca Juga