Politik

Pilih Ketum Parpol Tanpa Kongres, Bisa Efektif tapi Tak Demokratis

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Ampelsa

Penunjukan Giring Ganesha sebagai ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia menggantikan Grace Natalie menjadi sorotan publik. 

Giring terpilih sebagai ketum berdasarkan keputusan dari Dewan Pembina sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PSI. 

Ada beberapa partai lain yang menggunakan metode serupa dalam penunjukan ketua umum. Dianggap efektif bagi manajemen partai, tetapi kurang demokratis. 

Pilih Ketum Tanpa Kongres 

Penunjukan ketua umum PSI tidak melalui agenda kongres atau musyawarah nasional yang melibatkan kader dari berbagai daerah. Hanya Dewan Pembina yang memiliki kewenangan. 

Selain PSI, ada beberapa partai lain yang juga melakukan hal tersebut dalam penunjukan ketua umum. 

Misalnya Partai Gerindra yang di dalam Pasal 19 AD/ART menyebutkan kalau dewan pembina menetapkan ketua umum berdasarkan keputusan kongres yang memilih calon-calon ketua umum. 

Kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mana majelis syura berwenang menentukan ketua umum. 

Hal ini tertuang dalam Pasal 15 AD/ART PKS yang menyatakan majelis syura berwenang untuk mengesahkan rancangan struktur dan kepengurusan partai di tingkat pusat. 

Partai Garuda pun sama. Pasal 7 AD/ART menyatakan bahwa dewan pembina menetapkan ketua umum, sekretaris jenderal, hingga bendahara umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP). 

Perindo termasuk partai politik yang menentukan ketua umumnya melalui kongres. Namun, keputusan akhirnya diserahkan kepada dewan pembina atau yang disebut dengan majelis persatuan partai. 

Lewat Kongres atau Musyawarah Nasional 

Sebagian besar partai politik di Indonesia menggunakan metode pemilihan ketua umum yang melibatkan kader dari berbagai daerah. Pemilihan ketua umum biasanya dilakukan lewat suatu kongres atau musyawarah nasional. 

Contohnya PDI Perjuangan yang menentukan ketua umum melalui penyelenggaraan kongres. Pasal 70 ayat 3d AD/ART PDIP disebutkan bahwa kongres menetapkan Ketua Umum Partai yang sekaligus bertindak sebagai Formatur untuk menyusun personalia DPP Partai. 

Kongres PDIP mesti dihadiri oleh utusan-utusan DPD Partai dan DPC Partai, serta Peninjau dan pihak undangan yang ditetapkan oleh DPP Partai. 

Ada pula Partai Demokrat menggunakan kongres untuk menentukan ketua umum yang akan dipilih mereka, sebagaimana diatur pada Pasal 25 ayat 1 AD/ART Partai Demokrat tentang pemilihan ketua umum. 

Pada Pasal 84 AD/ART Partai Demokrat, disebutkan bahwa kongres merupakan pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. 

Partai NasDem diketahui juga menerapkan kongres yang digelar selama lima tahunan dalam menentukan bersama ketua umum yang akan ditunjuk memimpin partai berdasarkan AD/ART mereka. 

Partai Golkar juga merupakan partai politik yang perlu menggelar musyawarah nasional (munas) untuk menentukan ketua umum mereka. Atuan ini tertuang dalam Pasal 32 ayat 2b yang menyebutkan munas berwenang memilih dan menetapkan ketua umum. 

Partai Kebangkintan Bangsa (PKB) memanfaatkan muktamar atau setara musyawarah nasional untuk menentukan ketua umum. Aturan ini tertuang dalam Pasal 30 AD/ART PKB. 

Ada juga PPP yang memilih ketua umum melalui penyelenggaraan muktamar. Hal ini tercantum dalam Pasal 57 AD/ART PPP. 

Kesan Politik Dinasti 

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati mengingatkan bahwa partai politik hakikatnya merupakan lembaga publik dan bukan lembaga privat. 

Menurutnya, jauh lebih demokratis partai yang pemilihan ketumnya lewat kongres atau musyawarah nasional ketimbang dewan pembina. 

 “Jadi karena dia lembaga publik maka salah satu prinsip yang mendasar adalah partisipasi dari publiknya. Itu harus dijamin dalam pengelolaan partai, termasuk dalam rekrutmen atau seleksi kepemimpinan dari partai tersebut,” kata Mada. 

Ia menilai sistem pemilihan ketua umum melalui penunjukkan dewan pembina memicu hadirnya kesan keinginan mereka untuk membangun politik dinasti secara internal.Terutama karena tak melibatkan aspirasi kader dari berbagai daerah. 

“Ini menunculkan persepsi sebagai partai baru tapi tidak ada bedanya dengan partai lama. Ini kan kelemahannya,” ungkapnya.

Namun, ia mengatakan ada kelebihannya dibandingkan partai politik yang lebih bersifat partisipatif, yakni dari segi manajemen partai yang bisa lebih efektif.”Dari segi pengelolaan jauh lebih efektif dan efisien bila yg elitis dibandingkan yang partisipatif,” kata Mada.

Jebakan Kongres 

Sementara itu, Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai pemilihan ketua umum melalui penunjukkan dewan pembina tidak selalu buruk, terutama untuk soliditas partai.

Ia mengatakan hal ini terlihat dari sistem pemilihan ketum yang diterapkan PKS berdasarkan keputusan majelis syura yang justru senantiasa memperkuat persatuan internal mereka. 

“Biasanya suasana dalam partai semacam itu adalah adanya ketokohan yang sangat kuat,” kata Arif saat dihubungi terpisah. 

Sistem pemilihan ketua umum melalui kongres justru biasanya mengandung jebakan adanya nuansa elitisme dalam penyelenggaraannya. Hal ini terlihat di beberapa partai politik. 

“Kalau dibilang AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) atau Megawati Soekarnoputri itu kan, terpilih secara aklamasi meski diadakan kongres,” kata dia. 

“Jadi tidak ada jaminan juga kongres lebih baik dibandingkan non kongres. Kongres bisa menjadi jebakan kehadiran elitisme lewat kemunculan calon tunggal. Ini artinya elitisme masih jadi problem di dalam politik kita,” terangnya.

Baca juga:

Share: Pilih Ketum Parpol Tanpa Kongres, Bisa Efektif tapi Tak Demokratis