Isu Terkini

Multitafsir Putusan MK Soal UU Cipta Kerja

Irfan — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Gugatan yang diajukan oleh sejumlah elemen buruh terkait Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diketuk oleh Mahkamah Konstitusi. Putusannya, MK menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat karena tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan. Namun di sisi lain, MK juga menolak sebagian gugatan yang diajukan oleh buruh.

Keputusan inkonstitusional bersyarat ini lantas menimbulkan pemahaman yang berbeda antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dengan buruh yang merasa dirugikan. Begitu pula dari sisi pengusaha, selaku pemberi kerja untuk para buruh.

Pemerintah misalnya, menilai meski UU tersebut mesti direvisi paling lambat dalam waktu dua tahun, tetapi UU-nya tetap bisa diberlakukan. Hal ini salah satunya disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Menurut Airlangga, putusan MK justru menyebut UU Cipta Kerja masih berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan. Perbaikan yang dimaksud sesuai dengan tengat yang diberikan MK yakni dua tahun.

“Dengan demikian, peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku,” kata Airlangga dikutip dari Antara.

Kendati demikian, Airlangga memastikan akan mempersiapkan revisi UU tersebut sesuai arahan MK. Putusan MK, menyatakan agar pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dengan dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja.

Dari sisi pengusaha, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa yang pihaknya pahami dari putusan MK dan pernyataan Airlangga Hartarto adalah materi UU Cipta Kerja tetap berlaku. Ia pun menilai tidak ada dampak serius dari putusan MK terhadap UU Cipta Kerja.

“Yang kami tahu ini hanya untuk revisi hukum formilnya, tapi tidak materinya,” kata dia.

Berbeda dengan serikat buruh. Menanggapi putusan MK, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal menyebut pemerintah harusnya merombak total UU Cipta Kerja. Menurut Iqbal dengan tidak tunduknya UU Cipta Kerja tehadap UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, seharusnya UU tersebut ikut direvisi untuk mengakomodir poin-poin di UU yang dicap inkonstitusional itu.

“Proses dari nol lagi. UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini terlebih dahulu direvisi, diperintahkan diperbaiki dulu untuk mengakomodir hal-hal tertentu dalam UU Cipta Kerja,” kata Iqbal, dikutip dari Tempo.co.

Kembali ke Aturan Lama

Kepada Asumsi.co, pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan kalau putusan MK sudah cukup jelas menyiratkan kalau UU Cipta Kerja harus ditunda pemberlakuannya. Soalnya, mengacu pada putusan MK, UU Cipta Kerja dinilai inkonstitusional sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam dua tahun sejak putusan diucapkan pada Kamis (25/11/2021).

“Keberlakukannya ditunda sampai ada perbaikan sebagaimana perintah MK kan. Artinya UU lama berlaku lagi,” kata Fickar.

Adapun mengenai klaim pemerintah dan Apindo yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku, Fickar menilai tidak menjadi masalah. Namun, yang perlu dipahami, dengan adanya putusan ini dan belum adanya revisi, maka UU Cipta Kerja tidak punya akibat hukum.

“Artinya jika ada perselisihan UU Cipta Kerja itu tidak bisa digunakan sebagai panduan penyelesaian,” ucap dia.

Pertimbangan Politik

Terpisah, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai putusan MK atas UU Cipta Kerja memang rentan menimbulkan penafisran berbeda. Pasalnya MK mengambil jalan tengah untuk memutus persoalan ini.

Menurut dia, jika UU Cipta Kerja dianggap inkostitusional dalam prosesnya, maka sudah semestinya produk hukum dari proses yang cacat itu juga inkonstitusional. Sehingga dianggap tidak berlaku. Namun anehnya, MK membedakan antara proses dan hasil.

“Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional itu prosesnya, tapi UU-nya tetap berlaku,” ucap dia.

Bivitri menyebut, putusan MK yang mengabulkan gugatan formil ini pertama dalam sejarah. Menurut dia, sulit bagi MK mengabaikan gugatan uji formil UU Cipta Kerja karena cacat formil yang didalilkan sangat nyata dan sederhana.

Namun, lagi-lagi, dalam memutus gugatan ini MK masih menggunakan pertimbangan politik. Alhasil, putusan yang diketuk palu adalah putusan yang rentan menimbulkan multitafsir.

Pemerintah Bisa Lumpuh

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulisnya berpendapat putusan MK yang multitafsir ini berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. Implikasinya turut berdampak terhadap agenda pemerintahan Presiden Jokowi.

Yusril menyebut potensi kekacauan terjadi karena MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara otomatis inkonstitusional secara permanen bila tidak direvisi dalam jangka waktu dua tahun tersebut. Dengan demikian, apbila UU Cipta Kerja tak diperbaiki, semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja otomatis bakal berlaku kembali.

Di lain sisi, MK melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja, selama UU itu belum diperbaiki.

Yusril menilai putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi yang selama ini didasarkan UU Cipta Kerja. Untuk itu Yusril menyarankan Presiden Jokowi untuk bekerja keras merevisi UU Cipta Kerja.

“Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi,” kata Yusril.

Ada dua langkah yang dapat diambil pemerintah, menurut Yusril. Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.

Baca Juga:

Share: Multitafsir Putusan MK Soal UU Cipta Kerja