Arkeolog menemukan adanya makam Islam kuno di Sudan Timur yang susunannya menyerupai peta galaksi. Situs ini, disebut dipengaruhi oleh faktor geografis dan sosial yang ada di wilayah itu.
Dipengaruhi budaya suku kuno
Peneliti memanfaatkan teknik statistik khusus yang awalnya dikembangkan buat kebutuhan penelitian kosmologi untuk menyelidiki lebih lanjut situs pemakaman tersebut. Dari struktur kuno bangunannya, area pemakaman ini memiliki nuansa Islam abad pertengahan dengan sentuhan modern pada desainnya.
Di sekitar area makam, ditemukan pola rumit yang sistematis dan langka bagi sejarah budaya Beja, suku kuno yang menetap di wilayah itu lebih dari 2.000 tahun yang lalu dan menjaga tradisi gaya hidup semi-nomaden.
Stefano Costanzo, mahasiswa PhD arkeologi di Universitas Napoli Italia yang terlibat dalam riset ini mengatakan dari penampakannya, sangat mungkin adanya pengaruh suku Beja dalam pembangunan makam ini.
Baca Juga: Perusakan Makam oleh Anak-anak di Solo Adalah Praktik Intoleransi? | Asumsi
“Tidak hanya pada masa makam Islam ini dibangun, (pengaruh budaya suku Beja) juga ada pada era sebelumnya karena budaya mereka yang melekat dengan masyarakat setempat,” katanya seperti dilansir dari Popular Science.
Ia menjelaskan, berdasarkan teknik yang digunakan rekan-rekannya untuk menganalisa makam ini juga dapat diterapkan pada gurun terpencil lainnya untuk memahami asal usul dan pengembangan situs arkeologi beserta lanskapnya.
Costanzo beserta tim melaporkan analisa terhadap penemuan situs unik ini dalam bentuk laporan penelitian dan mempublikasikannya pada 7 Juli lalu melalui jurnal PLOS ONE.
Terdapat monumen Islam qubbas
Wilayah Kassala yang menjadi lokasi makam ini berada, merupakan kawasan berbukit dan semi gersang yang dihiasi ribuan monumen dan minim tumbuhan karena terbatasnya vegetasi di sana.
Sumber yang sama melaporkan, kawasan tersebut didominasi gundukan pasir yang disebut tumuli yang berusia lebih dari 1.000 tahun. Bentuk gundukan ini bisa menyerupai cincin, disket, atau kerucut bulat yang dibangun di atas tanah berpasir atau batu berdiameter setengah meter sampai 20 meter.
Di sekitar lokasi ini juga terdapat monumen Islam yang terpelihara dengan baik yang dikenal sebagai qubbas, bangunan berkubah dua lantai yang didirikan pada abad ke-16 dan ke-17.
Struktur persegi qubbas memiliki panjang hingga lima meter dan tinggi dua meter, serta dibangun dari lempengan batuan datar. Selain itu juga ada kuil yang berisi makam tunggal orang suci yang berasal dari abad ke-20.
Costanzo dan timnya menggunakan citra satelit dan survei lapangan untuk mengidentifikasi monumen yang tersebar di area seluas sekitar 4.100 kilometer persegi ini.
Baca Juga: Kematian Makin Akrab dan Pemakaman Makin Sempit | Asumsi
Mereka sebetulnya juga mengharapkan menemukan beberapa ratus makam yang ada di sekitar sekelompok kecil gunungnya. Hingga mereka dikejutkan dengan sesuatu yang lebih dari harapan, yakni teridentifikasinya lebih dari 10.000 makam yang tersebar di seluruh wilayah.
Para arkeolog mengamati 783 tumuli dalam kelompok kecil di sekitar kaki bukit dan gugusan besar yang lebih longgar di sekitar area dataran terbuka, serta 10.274 qubbas yang tidak ditata diatur dalam kelompok ketat yang mencirikan bangunan abad ke-16 dan ke-17.
Untuk menentukan bagaimana situs-situs ini dipilih, Costanzo dan tim melakukan pemetaan pada penelitian mereka sebelumnya tentang kondisi lingkungan wilayah tersebut.
Hasil pengamatan menyimpulkan, monumen ini cenderung muncul di daerah yang datar dengan banyak lempengan batuan keras datar yang terjadi secara alami dari lereng bukit. Selain itu, secara fitur geografis kluster makam ini memang hanya ditemukan di lokasi tertentu.
Penelitian menantang bagi arkeolog
Alasan mendasar klaster ini menantang untuk diteliti lebih jauh karena kurangnya informasi tentang situs ini. “Semua makamnya terlihat sangat mirip dan tidak satu pun dari mereka yang pernah digali,” ucap Costanzo.
Ia pun menceritakan soal teknik statistik khusus yang disebut dengan pemodelan Klaster Neyman-Scott, yang digunakan untuk mengurai pola kompleks monumennya. Teknik ini, kata dia lebih banyak dikembangkan untuk mengeksplorasi seberapa banyak objek, seperti bintang, klaster di sekitar titik pusat yang tidak tertikil.
Dari teknik penelitian ini, Costanzo memahami susunan makamnya dikelompokkan membentuk seperti peta galaksi yang di beberapa makam yang diduga kuat para leluhur, dikelilingi oleh ratusan makam lainnya.
Makam-makam yang mengelilingi makam leluhur ini juga terdapat klaster tambahan di sekitarnya. Menurut Costanzo susunan seperti peta galaksi menjadi metafora karena memberikan daya tarik tersendiri.
“Soal bintang-bintang di sekitar pusat gravitasi yang kuat dan tidak terlihat, menjadi daya tarik secara sosial dari makam-makam yang ada di sekitar makam kuno, serta bisa menjadi penting bagi sudut pandang tradisional,” terangnya.
Pada akhirnya, ia dan timnya menyimpulkan kalau makam-makam kunk ini kemungkinan besar merupakan area pemakaman suku atau keluarga orang-orang Beja. “Dengan banyak kelompok yang berbeda mungkin telah berkumpul menurut kesakralan umum dengan dimakamkan di lokasi yang sama,” kata Costanzo.
Ia menyebut, temuan ini mungkin juga memiliki relevansi untuk situs arkeologi yang jauh lebih tua di Sudan dan Mesir, tempat kelompok Beja lainnya tinggal. Akan tetapi, Costanzo memperingatkan, pola yang diteliti bersama rekan-rekannya hanyalah titik awal untuk penyelidikan yang lebih dalam lagi.
Langkah selanjutnya yang dilakukan para arkeolog adalah menjelajahi lebih banyak situs yang sebelumnya tidak diketahui dan mewawancarai orang-orang Beja di wilayah itu untuk memperdalam wawasan mereka tentang kluster makam ini.
“Seluruh pekerjaan tidak akan mungkin terjadi tanpa memimpin tim arkeologi Sudan, yang mengarahkan kegiatan lapangan, dan Orang-orang Beja Kassala dengan keramahannya serta wawasan dan warisan mereka yang menjadi dasar penelitian ini,” imbuh Costanzo.