General

Perusakan Makam oleh Anak-anak di Solo Adalah Praktik Intoleransi?

Dita — Asumsi.co

featured image
unsplash.com

Aksi perusakan makam terjadi di kompleks pemakaman umum Cemoro
Kembar, Mojo, Pasar Kliwon, Solo. Perusakan tersebut dilakukan oleh 10 anak SD.
Total sebanyak 12 nisan dirusak. Dikutip dari Solopos.com, anak-anak yang
melakukan aksi perusakan tersebut adalah siswa di sebuah sekolah informal
keagamaan.

Kasus ini saat ini tengah
ditangani oleh polisi. Mediasi sedang dilakukan oleh pihak kepolisian dan
pemerintah setempat. Disadur dari detik.com, pihak kepolisian
berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk mengusut kasus ini. Dugaan
sementara aksi tersebut berkaitan dengan praktik intoleransi.

Mengapa Anak-anak Melakukan Perusakan?

Anggota Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menyatakan KPAI menyayangkan aksi yang
dilakukan oleh anak-anak atas perusakan makam. Ia menjelaskan, kesalahan anak, tidak
pernah berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh lingkungan dan orang dewasa
di sekitar anak itu.

“Anak hanya meniru apa yang
diajarkan dan dilakukan oleh orang dewasa sekitarnya, baik itu orangtua ataupun
gurunya atau orang dewasa di sekitar anak atau yang melakukan pengasuhan
terhadap anak,” kata Retno.

Retno mengimbau agar
masyarakat menghormati proses penyelidikan yang tengah dilakukan oleh pihak
kepolisian. Setelah penyelidikkan, barulah dapat diketahui siapa yang
menggerakan anak-anak tersebut melakukan perusakan makam.

“Tidak mungkin anak
memiliki ide sendiri untuk melakukan hal tersebut, kuat dugaan anak mungkin
saja terprovokasi orang dewasa. Seharusnya orang dewasa mengajarkan anak-anak
melakukan kebaikan dan menghargai perbedaan,” tegas Retno.

Baca Juga : Jemaat GKI Yasmin Tolak Relokasi, Sebut Pemkot Bogor Tak Taat Putusan MA

Hal senada diungkapkan Wakil
Ketua KPAI, Rita Pranawati. Ia mengatakan kasus ini harus dilihat secara utuh
setelah proses penyelidikan kepolisian selesai dilakukan. Hal ini guna mencari
tahu apakah anak-anak tersebut melakukannya atas inisiatif sendiri atau ada
pelibatan orang dewasa di dalam perbuatan tersebut.

“Betul pelakunya adalah
anak di bawah umur, tetapi, apakah anak-anak melakukan itu atas inisiatif atau
pemahamannya sendiri atau ada semacam pelibatan oleh orang dewasa atau dampak
dari ajaran di sekolah informal,” ujar Rita saat dihubungi oleh tim Asumsi.co, Rabu
(23/6/2021).

Indikasi Toleransi?

Menurut Rita, ada
kemungkinan dan indikasi intoleransi yang cukup besar dari kejadian ini,
tetapi, hal ini harus dibuktikan oleh proses hukum.

“Makam itu tentu siapapun,
oleh agama apapun, harus dihormati, jadi tentu itu tidak boleh dilakukan. Kalau
betul, ada indikasi soal isu intoleransi, karena ini kan makam yang dirusak
berbeda agama dengan anak-anak ini, dengan sekolah keagamaan ini, tetapi, tentu
dengan hasil penyelidikan yang matang dan utuh,” ujar Rita.

Jika kemudian ditemukan
bukti adanya eksploitasi anak, pelibatan anak, atau pun perlakuan salah yang
memberikan informasi pada anak untuk melakukan hal-hal seperti ini, Rita
mengatakan perlu untuk ditindaklanjuti secara hukum dan prosesnya akan berbeda.

“Kita tentu harus
mengajarkan anak-anak menghormati apapun agamanya, seagama sekalipun,
menghormati semua orang, respect to one to another, gitu ya,” kata Rita.

Retno mengamini hal
tersebut, ia mengatakan, jika sekolah atau yayasan pendidikan ditemukan
melakukan indoktrinasi, maka sebaiknya Dinas Pendidikan Surakarta bertindak
tegas dan melakukan pengawasan serta pembinaan rutin ke berbagai sekolah. Hal
ini dilakukan guna mencegah penyebaran paham radikal [membenci yang berbeda] di
dunia pendidikan.

“Menerima perbedaan dan
menghargai perbedaan adalah keniscayaan di Republik ini, jadi sudah seharusnya
lembaga pendidikan wajib menanamkan cinta tanah air dan menghargai hak asasi
manusia,” kata Retno.

Baca Juga : Pasca Bom Makassar: Apa yang Bisa Pemerintah Lakukan?

Meskipun begitu, ia
mengatakan perusakan apapun merupakan perbuatan melanggar hukum pidana (KUHP)
sehingga dapat diproses hukum. Pada kasus ini perlu didalami keterlibatan orang
dewasa yang diduga kuat memengaruhi perilaku anak-anak tersebut.

“Kalau anak-anak tentu saja
harus diproses dengan menggunakan diversi [penyelesaian di luar pengadilan],”
ujarnya.

Rita mengatakan, sanksi
kepada anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun dibuktikan dengan akte
kelahiran adalah pengembalian kepada orangtua.

“Harus ada proses semacam
edukasi, pengawasan oleh pekerja sosial juga kemampauan orangtua untuk mengasuh
anak, kalau orangtua tidak terlibat ya,” jelas Rita.  

Tanggapan Psikolog

Psikolog Vera Itabiliana
Hadiwidjojo turut menyatakan keprihatinannya terhadap kejadian ini. Dari sisi
psikologis, ia menjelaskan seorang anak belum mampu memilah mana yang baik dan
mana yang buruk, di mana penilaian ini sangat tergantung dari orangtua dan
gurunya.

“Karena lagi-lagi, anak
dijadikan alat untuk mencapai kepentingan tertentu. Anak hanya melakukan apa
yang diajarkan pada mereka. Mereka belum sepenuhnya mampu memilah mana yang
baik atau pun buruk, sangat tergantung pada penilaian yang didapat dari
ortu/gurunya,” kata Vera saat dihubungi oleh tim Asumsi, Rabu (23/6/2021).

Orangtua dan guru disebut
memiliki pengaruh yang sangat kuat karena anak-anak tersebut masih dalam masa
pembentukan diri. Anak-anak yang belum matang baik dari segi pemikiran maupun
emosi masih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.

Untuk menanamkan toleransi,
Vera mengatakan anak harus dibiasakan bahwa berbeda-beda itu hal yang biasa.
Orangtua atau guru harus mengajarkan kepada anak untuk tetap berbuat baik
terhadap sesama meskipun ada perbedaan. Tidak hanya itu, orang tua dan guru
seharusnya menjadi contoh atau model dari bagaimana menghargai perbedaan dan
perilaku toleransi tersebut.

Share: Perusakan Makam oleh Anak-anak di Solo Adalah Praktik Intoleransi?