Isu Terkini

Sudahkan Kita Adil Menyikapi Radikalisme?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Tingey Injury Law Firm

Pada peringatan Hari Lahir Pancasila kemarin, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti masyarakat agar mewaspadai ekspansi ideologi transnasional radikal. Kita tentu sepakat bahwa radikalisme adalah hal yang perlu kita lawan bersama. Tapi apa benar perlawanan kepada radikalisme ini sudah berjalan sebagaimana mestinya atau cuma jadi cap buat menyingkirkan yang berbeda?

Pertanyaan seperti ini soalnya wajar. Karena 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi saja gagal Tes Wawasan kebangsaan karena tudingan radikal. Padahal, selama ini, mereka diakui sebagai pemberantas-pemberantas koruptor top. Jadi, apakah kita sudah adil pada radikalisme?

Tentang hal ini, sosiolog Rissalwan Habdy Lubis menyebut kalau radikalisme saat ini memang sudah mengalami politisasi makna. Menurut pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Kemitraan Pembangunan Sosial (LKPS) ini, radikalisme bukanlah hal negatif secara semantik.

“Justru dari perspektif dialektik, radikalisme itu adalah pemicu agar sintesis dapat terjadi dari tesis yang ada. Artinya, dinamika sosial membutuhkan cara pandang radikal agar tatanan sosial tidak stagnan,” kata Rissalwan kepada Asumsi.co, Rabu (2/6/2021).

Baca juga: Apa Iya Pemuda Tidak Kritis Bisa Jadi Teroris? | Asumsi

Dengan begitu, kata “radikalisme” menjadi punya makna peyoratif. Seolah-olah radikal sama dengan terorisme atau hal-hal yang mengarah pada aksi teror. Padahal, cara berpikir radikal yang justru mendorong agar perubahan sosial dapat terjadi.

Rissalwan pun menyebut contoh aksi reformasi 1998 sebagai salah satu tindakan yang didasari oleh radikalisme berpikir para aktivis kampus. Atau contoh lainnya adalah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (Pakto 88) yang mendorong menjamurnya perbankan di Indonesia.

“Jadi ya enggak negatif. Kebijakan-kebijakan ini adalah kebijakan yang sangat radikal. Dalam arti, mengubah sosial di masanya,” ucap dia.

Oleh karena itu, dia beranggapan, saat ini kita belum adil memahami radikalisme. Alih-alih dikembalikan pada maknanya, radikalisme justru jadi identik dengan terorisme. Lebih buruknya lagi, ini menjadi cap untuk menyingkirkan yang berbeda.

“Sebenarnya jadi diarahkan untuk membungkam pemikiran kritis dari publik,” kata Rissalwan.

Ia menduga bahwa penguasa negara sudah mulai kembali menghidupkan praktik otoritarianisme. Namun, otoritarianisme yang terjadi saat ini berbeda dengan apa yang dilakukan Soeharto dengan Orde Barunya.

“Kalau sekarang praktik otoritarianisme politik ini didukung dengan oligarki yang sangat besar,” ucap dia.

Overdosis Radikalisme

Mengutip Detik, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pernah mengkritik perihal tajamnya fenomena penyematan radikalisme. Haedar menilai penyematan semacam itu bermasalah, tak hanya secara akademik dan historis, tapi juga bagi kerja-kerja moderasi, utamanya yang dilakukan oleh kelompok Islam.

Baca juga: Jangan Stigmatisasi Perempuan dan Anak Yang Terpapar Ide Ekstrem! | Asumsi

“Kami juga melakukan kritik, Indonesia juga overdosis ketika mengeksplor radikalisme-ekstremisme itu pada Islam. Dan itu kekeliruan besar sebenarnya,” kata Haedar saat berbicara dalam forum Center of Southeast Asian Social Studies Universitas Gadjah Mada, seperti dalam keterangan tertulis yang dikutip, Kamis (6/5/2021).

Alih-alih selalu disudutkan, radikalisme mestinya ditandingi dengan memperluas dakwah dengan penekanan sikap tengahan atau wasathiyah Islam. Cara moderasi ini dianggap lebih efektif menghentikan radikalisme yang tak berkesudahan. Haedar mengatakan, bakal ada situasi kontraproduktif jika radikalisme hanya disematkan kepada umat Islam.

“Ketika radikalisme dan ekstremisme hanya disematkan pada Islam, itu nanti akan kontraproduktif dan menggeneralisasi. Kami yang hadir di titik moderat itu juga berat menghadapinya,” ujar Haedar.

Dalam pandangan Haedar, radikalisme bisa menjangkiti siapa pun, bukan hanya kaum agama, tetapi juga nasionalis. Untuk kelompok nasionalis, radikalisme menyebakan sempitnya cara berpikir sehingga menganggap hal-hal yang berkaitan dengan agama mengancam eksistensi negara.

“Ini namanya ultra nasionalis. Tidak suka dengan mereka yang membawa agama. Begitu mendengar agama itu alergi,” ucap Haedar.

Baca juga: Kaum Milenial dalam Pusaran Jaringan Terorisme di Indonesia | Asumsi

Persatuan Gereja Indonesia juga punya pandangan kurang lebih sama. Mengutip CNN Indonesia, Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom menilai radikalisme tumbuh tak lepas dari ketidakadilan kebijakan negara pada rakyat. Radikalisme jadi jawaban atas ketidakadilan itu.

Gultom mengatakan, sejumlah kebijakan pemerintah selama ini masih menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan antar masyarakat. “Sehingga dalam beberapa kesempatan, rakyat harus berjuang sendiri untuk mendapatkan keadilan,” kata Gultom.

Gultom mencontohkan apa yang terjadi di Papua. Menurutnya, perlawanan dari masyarakat Papua adalah salah satu upaya mereka menuntut keadilan dari pemerintah. Selain itu, menurutnya, sejak dulu, mereka selalu diberi cap yang kurang mengenakkan. 

Ini diperburuk dengan minimnya keteladanan dari elite-elite politik nasional. “(Akhirnya mereka menganggap) Pancasila dan demokrasi hanya slogan dari kelompok kapitalis yang hendak mengeksploitasi kehidupan saya,” ujarnya.

Share: Sudahkan Kita Adil Menyikapi Radikalisme?