Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Anti Teror,
 MD Shodiq, menanggapi pernyataan Fadli Zon, anggota DPR RI yang meminta agar
 Densus 88 dibubarkan.
Dalam diskusi yang dihelat secara daring oleh Setara
 Institute, Shodiq menyebut kelahiran Densus 88 bukan ujug-ujug. Densus 88,
 katanya, lahir karena diundang oleh pelaku terorisme itu sendiri. “Ketika ada sebab, ada akibat,” ujar Shodiq, pada
 Jumat (15/10/2021).
Awal Dibentuk
Momen berdirinya Densus 88 adalah peristiwa ledakan Bom Bali
 pertama di awal millenium 2000. Saat itu, muncul perangkat penegakan hukum baru
 untuk menangani aksi teror seperti itu. Regulasinya dituangkan pada PP No.
 1/2002, dan UU 15/2003.
Meski demikian, Shodiq tak memungkiri sebelum ada regulasi
 ini, teror melalui bom memang sudah kerap terjadi. Hanya saja, payung hukumnya
 hanya sebatas pasal perusakan.
“Makanya harus ada UU-nya. UU dibentuk kemudian tidak
 lama dibentuk Densus 88. Kalau enggak ada bom, entah Densus ada atau enggak.
 Densus ini amanah negara untuk menanggulangi pelaku teror di dalam
 negeri,” ucapnya.
Pendekatan Lembut
Shodiq menyebut, dalam melakukan penindakan, Densus 88 tidak
 hanya mengandalkan pendekatan keras, tetapi juga pendekatan lembut yang
 humanis. Hal ini menjawab citra keras yang selama ini disematkan ke Densus 88,
 dan membuat sebagian orang berpikir untuk membubarkannya. 
Salah satu pendekatan lembut itu, seperti yang dilakukan
 oleh Shodiq di Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi.
Menurut Shodiq, pihaknya memiliki program pembinaan
 berkelanjutan untuk mengetuk hati para narapidana terorisme untuk menanggalkan
 keyakinan salahnya. Sebagai orang yang telah didoktrin dengan ideologi yang
 membenci negara, penanganan narapidana terorisme tidak bisa disamakan dengan
 yang lain.
Shodiq tak memungkiri secara internal, apa yang pihaknya
 lakukan mungkin melanggar. Seperti misalnya mempertemukan napi terorisme dengan
 keluarganya di luar Lapas. Namun, hal ini disebut efektif sebagai langkah
 deradikalisasi.
“Kalau mereka sakit, keluarganya kita hadirkan. Masa
 pandemi ini kita kasih video call.
 Kalau perlu kita naikkan pesawat, kita bawa keluar, dan pertemukan dengan
 keluarganya. Ini demi pembinaan dan deradikalisasi, patut kita lakukan,” ucapnya.
Pendampingan ini pun terus pihaknya lakukan mulai dari
 persidangan hingga bebas. Menurutnya, napi tidak boleh dilepas begitu saja,
 meski sudah menjalani hukuman kurungan. Sebab, pembiaran hanya akan berpotensi
 membuat mereka kembali kepada ideologi lamanya.
“Perlu kontrol dan memutus rangkaian ikatan mereka
 dengan kelompoknya. Mereka juga perlu dirangkul untuk bisa kembali ke
 masyarakat,” tuturnya.
Dipicu Intoleransi
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menyebut,
 intoleransi menjadi anak tangga pertama yang bisa memicu seorang menjadi
 radikal dan ekstrem. Ia tak memungkiri ada pergeseran dalam penyebaran paham
 radikal belakangan ini. Doktrinasi yang selama ini dilakukan secara sembunyi, justru
 sekarang bersifat lebih umum dengan kemasan yang ringan.
Hal tersebut, kata Bonar, dikipasi pula oleh narasi konspirasi
 hingga Islamophobia.
“Analogi Islamophobia
 ini kan mulai dikenal saat 9/11. Saat itu orang Amerika memang tidak kenal
 Islam, tapi Islamophobia justru tidak
 berkembang karena dilawan oleh diskusi-diskusi yang meluruskan
 prasangka-prasangka tadi. Justru sekarang yang pakai Islamophobia adalah kelompok radikal untuk menutup jejak
 mereka,” ucap Bonar.
Bonar menyebut, kelompok radikal ini membajak Islam dengan
 narasi ekstrem milik mereka. Seolah Islam adalah agama perang. Mereka juga tak
 segan menganggap dirinya paling benar.
“Kita lihat saja siapa yang banyak bicara Islamophobia? Ya dari mereka. Narasi-narasi
 ini dari pihak sana. Dan bahayanya, ketika narasi ini dimainkan oleh politisi
 serakah, hanya untuk mendulang voters.
 Ini bahaya,” imbuh Bonar.
Baca Juga:
Fadli Zon Minta Densus 88 Antiteror Dibubarkan
Potensi Gerakan Teroris di Indonesia Pasca Taliban Kuasai Afghanistan