Inflasi AS yang
melonjak naik ke level 4,2% secara tahunan/year on year (0,8%, bulanan), selain lebih tinggi dari konsensus
pasar untuk kenaikan 3,7%, tetapi juga merupakan level inflasi tertinggi sejak
September 2008 silam. Menilik komponennya, tekanan inflasi mayoritas didorong
oleh kenaikan harga energi (25,0%, bulanan).
Berdasarkan Weekly
Market OCBC NISP Market Jurnal, kenaikan inflasi tersebut konsisten dengan
terus berlangsungnya pembatasan sosial di berbagai negara bagian AS,
meningkatnya harga komoditas, serta adanya low base effect (inflasi
April 2020: +0,3%, tahunan).
Sehingga, mengingat
salah satu mandat the Fed untuk menjaga stabilitas harga, maka terdapat
spekulasi pasar bahwa bank sentral akan melakukan tapering, atau
pengetatan kebijakan moneter lebih cepat dari yang diantisipasi sebelumnya. Hal
tersebut diperlukan guna mencegah terjadinya an overheating economy.
Baca juga: Mata Uang Kripto, antara FoMO atau Investasi? | Asumsi
Dalam sesi perdagangan
yang berlangsung hanya dua hari di minggu lalu (liburan Hari Raya Idul Fitri),
indeks IHSG yang berhasil diperdagangkan menguat 0,17%, namun tetap ditutup di
bawah level psikologis 6.000. Di pasar surat utang, obligasi pemerintah tenor
10-tahun melemah tipis, dengan imbal hasil naik sekitar 1 basis poin dalam
sepekan menuju level 6,41% – yang juga mengindikasikan terjadinya penurunan
harga. Sebaliknya, nilai tukar Rupiah berhasil menguat tipis, naik 0,61%
terhadap dolar AS, menuju level 14.198 per dolar AS.
Kenaikan inflasi di
Amerika Serikat ini akan turut mempengaruhi pasar di Indonesia. Hal ini
dikatakan oleh Peneliti di Institute for Development of Economics and
Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara.
“Inflasi yang lebih
tinggi di AS akan menyebabkan investor mencermati kebijakan tapering off
(pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang) bank
sentral AS. Kalau terjadi normalisasi stimulus moneter lebih cepat, akan
menyebabkan taper tantrum atau larinya dana asing dari negara
berkembang,” katanya saat dihubungi oleh Asumsi.co, Senin (24/05/2021).
Dengan adanya dana
asing keluar, kata dia, pasar saham bisa tekoreksi seperti tahun 2013 lalu.
Investor asing masuk ke aset aman dan menghindari aset yang berisiko di negara
berkembang. Hanya saja bakal ada resiko capital outflow dari pasar
saham. “Rupiah akan melemah. Ini patut diwaspadai,” ujarnya.
Ia menyarankan
pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi dan kinerja emiten sebelum ada tapering
off dari the Fed. “Fundamental ekonomi, seperti percepatan pemulihan
mobilitas penduduk untuk belanja, kenaikan kepercayaan konsumen, kenaikan produksi
manufaktur dan peningkatan ekspor ke mitra dagang utama,” katanya.
Sektor riil
terganggu
Senada dengan
Bhima, Parto Kawito, analisis pasar modal, mengungkapkan bahwa Inflasi di AS
yang naik menjadi 4.2% YoY di bulan April memicu potensi kenaikan suku bunga
dan Yield US Treasury sehingga investor asing dikhawatirkan beralih, dari
investasi di negara berkembang menjadi kembali ke AS yang suku bunganya akan
naik.
Baca juga: Heboh Uang Rp128 Juta Raib dari ATM, Bagaimana Kisahnya? | Asumsi
“Sektor riil di
Indonesia bisa terganggu karena dana asing ogah masuk ke Indonesia, baik dalam
bentuk FDI atau portofolio. Rupiah berpotensi melemah terhadap Dolar AS karena
minat investor asing menukarkan Dolar AS ke Rupiah berkurang,”
kata Direktur PT Infovesta Utama ini.
Ia meminta
pemerintah untuk mengusahakan agar investor asing tertarik berinvestasi dengan
memberikan kemudahan berinvestasi, terutama dalam Foreign Direct Investment
(FDI). Selain itu, penerapan UU Ciptaker yang mempermudah investasi dijalankan
konsisten.
“Serta
memberikan insentif fiskal untuk sektor industri tertentu yang padat karya dan
ekspor oriented serta pemberantasan KKN,” katanya.