Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib masih belum menemui titik terang. Sejak meninggal dunia pada 7 September 2004, dalang pembunuhannya belum terungkap dan terus dipertanyakan publik. Keresahan ini membuat sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok pegiat HAM mendesak pemerintah agar pemerintah segera melakukan langkah konkret dalam pengungkapannya.
Pelanggaran HAM berat
Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Bivitri Susanti mengingatkan bahwa Munir yang merupakan pendiri Imparsial dan aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) telah dibunuh di dalam pesawat saat terbang dari Jakarta ke Belanda dengan racun jenis arsenik.
Sebelum meninggal dunia, Munir mengalami sakit perut usai meminum jus jeruk di pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 saat transit di Bandara Changi, Singapura, di tengah perjalanan menuju Amsterdam.
Bvitri menerangkan melalui audiensi bersama Komnas HAM yang diikutinya baru-baru ini, menekankan adanya legal opinion yang menyatakan bahwa kasus pembunuhan Munir merupakan pelanggaran HAM berat.
“Ini merupakan pelanggaran HAM berat. Kalau ini tidak selesai maka bisa terjadi pada siapa saja bahkan bisa terjadi pada aktivis atau jurnalis yang dianggap mengganggu stabilitas negara,” katanya melalui konferensi pers “17 Tahun Kematian Munir” yang berlangsung virtual, Selasa (7/9/21).
Bahkan, kata dia saat ini sudah banyak terjadi kasus aktivis dan jurnalis yang terkena intimidasi hingga doxing alias menyebarkan informasi pribadi seseorang karena dianggap sikapnya meresahkan negara.
“Kita harus dorong sama sama supaya kasus ini bisa dituntaskan demi keadilan bagi korban dan keluarganya, serta kita semua,” ucapnya.
Baca Juga: Keteledoran Negara dan Misteri Hilangnya Dokumen TPF Kasus Munir | Asumsi
Ia menegaskan kasus pembunuhan Munir bukanlah tindak pidana pembunuhan biasa karena dirinya meyakini sesungguhnya negara juga terlibat di dalamnya. Komnas HAM, lanjut dia bahkan terus menyurati pemerintah untuk mempertanyakan tindakan nyata pengungkapan dalang kasus pembunuhan Munir, namun sampai sekarang tak kunjung mendapatkan balasan.
Dirinya mempertanyakan janji Presiden Jokowi yang bakal menuntaskan kasus-kasus HAM berat, salah satunya kasus Munir ini. “Komnas HAM mengirimi surat ke Presiden Jokowi dari Juni sampai sekarang belum dibalas,” katanya.
Dokumen yang hilang
Bvitri menilai pemerintahan Jokowi tidak serius untuk mengungkap aktor intelektual dari kasus Munir. Terlebih, orang-orang yang diduga terlibat terafiliasi dengan pemerintah saat ini.
“Sepanjang aktornya ada di pemerintahan, satu kasus ini tidak akan tuntas karena terjadi negosiasi politik. Kalau kasus ini tidak pernah diusut ke pengadilan, maka rantai impunitas tidak akan terputus. Pengusutan ini harus dilakukan untuk mengingatkan hal kejadian buruk pernah terjadi di negara ini,” tuturnya.
Ia pun kembali mempertanyakan hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir yang hilang dan hingga kini, tidak ada di Kementerian Sekretariat Negara.
“Kami sampaikan ke Komisi Informasi yang lalu dibawa ke MA oleh Kemensetneg dan dinyatakan dokumennya memang tidak ada, maka kami minta agar ini agar diungkap dan tidak ada dalih-dalih kadaluarsa,” tuturnya.
Ia kembali mendesak aktor intelektual kasus ini harus diungkap, meski pilot dan penanggung jawab Garuda Indonesia yakni Pollycarpus Budihari Priyanto dan Indra telah divonis bersalah dan dihukum penjara 14 tahun.
Pollycarpus yang meninggal pada 17 Oktober 2020 dinyatakan bebas dari secara bersyarat lalu bebas secara penuh dari jeratan hukumnya, tiga tahun lalu.
Sedangkan, mantan pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR ditetapkan sebagai tersangka kasus ini oleh polisi. Namun ia dinyatakan bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pada tahun 2008.
Padahal, diketahui temuan TPF dan fakta persidangan menyebutkan ada dugaan keterlibatan intelijen negara dalam kasus ini.
Aktor intelektual
Sementara itu, peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengapresiasi langkah Komnas HAM untuk menetapkan tanggal 7 September sebagai Hari Pembela HAM Nasional. Namun menurutnya, langkah ini harus dibarengi dengan upaya konkret Komnas HAM untuk menetapkan kasus Munir bukanlah tindak pidana pembunuhan biasa, melainkan sebagai salah satu kasus HAM berat yang terjadi di negeri ini.
“Ini positif sebagai bagian dari advokasi perlindungan pembela HAM. Kami apresiasi langkah yang diambil Komnas HAM. Langkah tersebut harus dibarengi upaya konkret oleh Komnas HAM untuk menetapkannya sebagai kasus pelanggaran berat. Kami telah meminta untuk menetapkannya,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Ia menuturkan, penetapan sebagai pelanggaran HAM berat penting demi mengungkap siapa sebenarnya di balik kasus ini, selain pelaku lapangan yang sudah dihukum.
“Tapi master mind-nya, sampai saat ini masih melenggang bebas. Dokumen TPF juga menyebut dia (aktor intelektual) ini ada di lingkungan kekuasaan. Ini bisa membahayakan aktivitas pembelaan HAM di Indonesia. Bila bisa terjadi pada Munir, maka bisa terjadi pada siapapun yang melakukan aktivitas pembelaan HAM,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pihak di balik layar terjadinya kasus Munir tidak bisa dibiarkan hidup bebas terus menerus dan didiamkan.
Menurutnya, keadilan untuk Munir merupakan hal yang penting bukan hanya untuk Munir sebagai korban, melainkan demi keadilan dan rasa aman untuk rakyat Indonesia.
“Pak Jokowi perlu membuktikan komitmennya pada penegakkan hak asasi manusia. Bila Pak Jokowi bisa menyelesaikan kasus Munir, maka akan menjadi legacy yang bisa menjadi statement sebagai presiden yang berhasil menyelesaikan kasus Munir,” imbuhnya.
Akan tetapi, lanjut dia bila Jokowi memilih tidak menuntaskannya maka akan menegaskan sikapnya yang tidak peduli sama sekali dengan penyelesaian kasus Munir. “Kasus Munir adalah kunci dari Oak Jokowi peduli pada HAM dan demokrasi,” ucapnya.
Perlindungan aktivis HAM
Kepala Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri menyampaikan pengusutan aktor intelektual kasus Munir yang dilakukan pemerintah memang terkesan mandek.
“Tidak ada kemajuan pada proses yang dijalan, terkesan stagnan dan yang dihukum hanya pelaku lapangan. Kasus Cak Munir ini sudah banyak sekali mendapatkan advokasi yang dilakukan teman-teman Kasum, seperti pencarian dokumen TPF ini,” kata Arif.
Baca Juga: Aktivis Desak Kasus Kematian Munir Masuk Kategori Pelanggaran HAM Berat | Asumsi
Ia juga mengamini pernyataan Bvitri yang mendesak agar aktor utama di balik kasus ini diseret ke proses pengadilan atas perbuatannya yang menghilangkan nyawa orang lain. Sebab, ia juga meyakini kalau kasus Munir bukanlah sekadar kasus pembunuhan biasa, namun melibatkan aktor-aktor negara dan fasilitas milik negara.
“Perlu ada ketegasan negara dan perlu diungkap secara tuntas sampai ke aktor utama. Perlu ada ketegasan jaminan perlindungan atau aturan setidaknya para pembela HAM. Banyak kasus-kasus pembela HAM ini tidak terselesaikan dengan baik dan ini, semacam keberulangan,” tuturnya.
Arif mengharapkan gagasan Komnas HAM menetapkan tanggal 7 September sebagai Hari Pembela HAM Nasional disertai diskusi bersama pemerintah soal perlunya membentuk kebijakan yang tujuannya melindungi para aktivis HAM.
“Saya harap ini juga disertai dengan keinginan pemerintah juga mengeluarkan aturan perlindungan terhadap para pembela HAM,” tandasnya.