Pemerintah sepertinya serius meninggalkan dolar dalam transaksi perdagangan. Secara bertahap sudah tiga negara yang bekerja sama Local Currency Settlement (LCS) dalam transaksi perdagangan internasional dan investasi.
Sebelumnya pada Juli lalu dengan China. Kini diikuti Jepang dan Malaysia dalam perjanjian LCS.
“Secara umum, transaksi kerangka kesepakatan dengan Malaysia dan Jepang menujukan perkembangan yang positif. Kalau Malaysia sejak 2018 dan Jepang meski baru tahun 2020, tetapi banyak peminatnya,” ujar Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI, Donny Hutabarat, dalam acara taklimat media, Jumat (6/8/2021).
Untuk LCS, Indonesia dengan Malaysia, tercatat rata-rata transaksi ekuivalen US$ 22,5 juta per bulan pada tahun 2018.
Pada tahun 2019, transaksinya meningkat menjadi ekuivalen US$ 49,6 juta per bulan, dan kembali meningkat menjadi ekuivalen US$ 50,3 juta pada tahun 2020. Dan kemudian hingga pertengahan tahun 2021, transaksi LCS dengan Malaysia tercatat ekuivalen US$ 47,7 juta.
Sementara dengan Jepang, pada tahun pertama implementasi, tercatat transaksi LCS sebesar ekuivalen US$ 9,8 juta dan terus meningkat pada tahun 2021. Bahkan, hingga pertengahan tahun 2021 saja, jumlah transaksi LCS dengan Jepang sudah ekuivalen US$ 87,1 juta.
Sejauh ini Indonesia sudah menjalankan LCS dengan Malaysia, Jepang mencapai US$ 117,3 juta rata-rata setiap bulannya atau setara dengan Rp 1,68 triliun (kurs Rp 14.400/US$). Sedangkan dengan China dan akan diimplementasikan Agustus ini.
Keinginan Tinggalkan Dolar Sudah Lama
Menurut Direktur TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuabi, keinginan Indonesia meninggalkan dolar sudah sejak tahun 2016 di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, kalau ingin menstabilkan mata uangnya, negara-negara memang harus pelan-pelan meninggalkan dolar dalam transaksi.
“Indonesia secara kebetulan sudah bekerja sama dengan beberapa negara cukup besar seperti China, Jepang, Korea dan Malaysia. Selain Amerika, kawasan-kawasan ini mayoritas cukup tinggi perdagangannya dengan Indonesia selain dengan Amerika,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (10/8/2021).
Baca Juga: Transaksi Indonesia-Cina Tak Lagi Pakai Dolar, Menguntungkan atau Tidak?
Ia tidak heran Indonesia bisa melakukan kerja sama LCS dengan negara-negara tersebut. Meski demikian, kata dia, kebutuhan transaksi dolar masih cukup tinggi, karena hampir semua negara menggunakan dolar.
“Ini karena Amerika menjadikan dolar sebagai mata uang tunggal. Jadi pelan-pelan beberapa negara meninggalkan ketergantungan. Yang paling pertama adalah China,” katanya.
Ia menjelaskan, China berani karena memiliki obligasi di Amerika 65%. “Jadi wajar mereka meninggalkan transaksi menggunakan dolar,” katanya.
Instabilitas Terhadap Dolar
Dihubungi terpisah Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira mengatakan memang ada faktor instabilitas dolar yang diciptakan karena situasi ekonomi, geopolitik yang menyebabkan mata uang yang kemudian bertransaksi dengan dolar relatif mahal.
“Karena resiko kurs di situ dan tidak banyak pengusaha melakukan hedging di pasar uang khususnya eksportir menengah,” katanya pada Asumsi.co, Selasa (10/8/2021).
Ia mencontohkan krisis 1998 dan 2008, negara-negara di Asia mengalami tekanan cukup dalam, karena dominasi dolar dalam perdagangan dan investasi sehingga mereka mencari alternatif lain.
Kondisi Memungkinkan
Ibrahim mengatakan memang di kondisi pandemi ini kondisi memungkinkan Indonesia untuk memutuskan melakukan percepatan kerja sama LCS dengan negara-negara lain
“Kebetulan resesi dan Covid-19 memang menjadikan momen yang tepat untuk melakukan perubahan drastis. Ini mungkin tidak hanya kerja sama negara-negara seperti Jepang, Malaysia dan China saja. Tapi kerja sama LCS bisa merata di negara-negara berkembang,” katanya.
Tak Bisa Tinggalkan Dolar Sepenuhnya
Ibrahim menjelaskan Indonesia memang tidak bisa meninggalkan ketergantungan terhadap dolar. Bahkan semua negara juga menyadari hal itu.
“Memang saat-saat melakukan transaksi regional menggunakan mata uang lokal, tapi ekspor masih menggunakan mata uang dolar. Dolar tidak bisa ditingalkan, karena kalau LCS kan masih perdagangan lokal,” katanya.
Indonesia ekspor ke Amerika dan Eropa tetap menggunakan dolar, hanya pelan-pelan meningalkannya.
Ia memisalkan transaksi apabila batu bara menggunakan yuan, Indonesia bisa rugi. Tidak hanya batu bara, 60% penyumbang APBN itu dari komoditi. “Apabila tidak menggunakan dolar, jika diganti bisa rugi. Karena sebetulnya kerja sama LCS hanya untuk menstabilkan rupiah dengan menggunakan mata uang lokal,” katanya.
Sedangkan menurut Bhima, memang arah perdagangan internasional di dominasi oleh ekspor Tiongkok 20%, sementara Amerika kisaran 10%
“Begitu juga dengan impor. Itu yang membuat banyak negara berpikir untuk melakukan transaksi dengan yuan. Cuma ada tantangan lain, kalau masih hanya beberapa negara menggunakan LCS sementara negara mitra masih menggunakan dolar artinya memegang yuan terlalu banyak juga tidak menguntungkan,” katanya.
Ia mencontohkan seperti bahan baku masih menggunakan dolar. Begitu juga logistik, 90% kapal yang mengangkut logistik itu maunya terima dolar.
“Itu susah juga. Oke, barangnya dikirim ke china bayar pakai LCS, tapi bayar ongkosnya pake dolar. Jadi harus kompreshesif dan kesiapan perbankan diperlukan,” katanya.
Menurut Bhima agak sulit Indonesia meninggalkan ketergantungan terhadap dolar, karena sekitar 90% perdagangan internasional menggunakan mata uang itu.
“Sebetulnya, upaya mengurangi saja sudah bagus dan tidak mungkin langsung ekstrem karena masih banyak kebutuhan menggunakan dolar. Bagaimanapun berbagai indikator ekonomi eperti patokan kurs masih menggunakan, harga minyak memakai dolar, itu yang mungkin membutuhkan langkah komprehensif jadi masih long way to go. Saya enggak bisa bilang sepuluh tahun lagi. Jadi perlu di evaluasi dan kesiapan lembaga keuangan,” katanya.
Apa Solusinya?
Bhima menyarankan agar pemerintah harus memperbanyak perjanjian bilateral dengan negara mitra dagang untuk menggunakan LCS.
“Kedua harus menyediakan pasokan valas non dolar di sistem perbankan kita. Jadi harus supply valas yang lebih besar, sehingga eksportir akan memilih valas lainnya. Ketiga memang ada regulasi untuk mengatur logistik untuk menerima LCS impor dan ekpor,” katanya.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, berpendapat memang peran AS dalam perdagangan dunia masih sangat besar, masih jadi penyerap produk ekspor terbesar di dunia, dan masih menjadi mata uang yang dipakai dalam perdagangan minyak. Tapi memang peran sebagai eksportir terbesar sudah dikalahkan Tiongkok.
Apalagi sekarang Indonesia sudah lebih banyak berdagang dengan Tiongkok ketimbang AS, jadi akan lebih menguntungkan kalau menggunakan mata uang lokal, tapi ada beberapa hal yang harus dilakukan supaya penggunaan uang lokal efektif, karena saat ini bagi pelaku usaha ekspor impor penggunaan dollar masih jauh lebih menguntungkan.
“Karena lebih efisien dan penggunaannnya yang luas,” katanya pada Asumsi.co, Selasa (10/8/2021).
Ia menyarankan pemerintah perlu membuat pasar mata uang langsung atau direct exchange market untuk mengurangi biaya transaksi pertukaran antar mata uang.
“Kalau tidak ada itu, pertukaran dengan mata uang selain dolar akan tetap mahal seperti sekarang, karena harus dikonversi dulu ke dolar baru dikonversi lagi ke mata uang lokal (dua kali konversi jadi kena dua kali biaya),” terangnya.
Selain itu, kata dia, perlu upaya lain supaya mata uang lokalnya lebih atraktif bagi para pelaku ekspor impor, perlu kerjasama antara otoritas di negara-negara bersangkutan. “Kalau sudah terbangun sistem dan mekanismenya, lalu perlu sosialisasi kepada pelaku usaha, serta kemudahan-kemudahan bagi yang bertransaksi dg mata uang lokal,” pesannya