Kabar mengenai Gofar Hilman yang disebut melakukan pelecehan seksual masih santer dibicarakan. Tuduhan pelecehan seksual yang dilayangkan kepada Gofar bermula dari utas akun Twitter @quweenjojo, Selasa (8/6/2021) lalu. Akun bernama Nyelaras itu menceritakan, dirinya mengaku mengalami pelecehan seksual oleh Gofar pada tahun 2018 silam. Insiden itu disebutnya terjadi bulan Agustus 2018, ketika dirinya datang ke sebuah acara di Rumah Opa, Malang. Utasnya yang menjelaskan tindakan Gofar terhadapnya kemudian viral.
Gofar pun telah memberikan tanggapannya melalui akun Twitter pribadinya, @pergijauh. Dirinya meminta maaf apabila ia memeluk orang-orang di acara tersebut tanpa persetujuan. Namun, dirinya membantah apabila disebut melakukan tindak pelecehan seksual. Gofar mengaku akan menempuh jalur hukum atas tuduhan yang mengaitkan namanya dan mengatakan:
“Konfirmasi mereka bilang bahwa gua gak melakukan seperti yang dituduhkan tersebut. Biar sama-sama enak, gue siap menyelesaikan masalah ini sebaiknya sih secara hukum, tapi kalau ada usulan lain gue siap mendiskusikan masukannya, karena melibatkan fitnah pake nama gue di sini,” tulisnya, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: Banyak Telan Korban Jiwa Perempuan, Apa Itu Femisida? | Asumsi
PT Lawless Jakarta Indonesia dan PT Lawless Burgerbar Asia, selaku badan usaha yang didirikan oleh beberapa orang, termasuk Gofar Hilman, mengeluarkan pernyataan resmi sebagai respon dari kasus tersebut, Rabu (9/6/2021). Melalui akun Twitter @lawless_jkt, Lawless Jakarta mengumumkan bahwa Gofar Hilman sudah bukan menjadi bagian dari kedua Perseroan itu.
Pernyataan resmi dari PT. Lawless Jakarta Indonesia dan PT. Lawless Burgerbar Asia. pic.twitter.com/5dcgGXI3db
— LJMC (@lawless_jkt) June 9, 2021
Diketahui, Lawless Jakarta didirikan oleh lima orang, yaitu Arian Arifin, Gofar Hilman, Sammy Bramantyo, Ucup, dan Roni Pramaditia. Bisnis ini bergerak di bidang kuliner, berupa restoran dan burger bar, musik, serta otomotif.
Lantas, jika Gofar menjadi salah satu Co-Founders Lawless Jakarta, kok bisa sih badan usaha mendepak pendirinya sendiri? Apakah bisa tindakan itu diberlakukan?
Kepada Asumsi, dosen Hukum Korporasi Universitas Sebelas Maret Surakarta, Yudho Taruno, mengatakan, sah-sah saja perusahaan mendepak pendirinya sendiri. Co-founders atau pendiri perusahaan bisa diasumsikan sebagai pemilik dari badan usaha tersebut. Artinya, pendiri perusahaan juga merupakan bagian dari pemegang saham, meski bisa saja porsinya berbeda dari pemegang saham yang lain.
Yudho menerangkan, pendiri perusahaan bisa dikeluarkan dari badan usaha yang didirikan, tergantung keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Secara umum, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam RUPS, akan dilakukan pemilihan suara mengenai kesalahan yang dilakukan pendiri. Jika hasil suara terbanyak memutuskan untuk mengeluarkan pendiri, maka ia akan terdepak dari perusahaannya sendiri.
Baca juga: Jangan Stigmatisasi Perempuan dan Anak Yang Terpapar Ide Ekstrem! | Asumsi
Selain itu, tergantung pula apakah perusahaan memutuskan untuk mengeluarkan pendiri karena pendiri tersebut secara sukarela mengundurkan diri atau memang dikeluarkan. Keputusan itu juga tergantung pada persentase saham yang dipegang pendiri.
“Tentu ini harus dilakukan secara RUPS. Pada prinsipnya, bisa dilakukan satu suara satu hak, sehingga kalau dia tidak memiliki suara terbesar, dia bisa terdepak dari perusahaan tersebut. Analisa saya, ketika dikeluarkan, dia tidak memiliki kekuatan bargaining untuk menyetujui bertahan atau tidak, sehingga ketika dilakukan RUPS atau pemungutan suara, dia kalah suara, dia tidak bisa apa-apa,” kata Yudho.
Meski begitu, menurut Yudho, pendiri yang akan dikeluarkan itu bisa mengambil opsi untuk menawarkan sahamnya kepada pendiri lain untuk dibeli. “Tapi kalau tidak dilakukan, dia punya hak gugat karena keluar bukan atas keputusannya,” imbuhnya.
Namun, secara spesifik, kebijakan akan berbeda jika perusahaan tersebut membuat komitmen untuk para pemilik, seperti tidak boleh melakukan perbuatan tercela, atau melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan dan dituntut untuk bertanggung jawab.
“UU tersebut hanya berlaku secara umum. Jika perusahaan tersebut, mungkin, memiliki ketentuan tertentu secara internal dan apa yang dilakukan pendiri menyebabkan kerugian secara langsung, itu akan berbeda,” pungkasnya.