Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat
di Jawa-Bali melahirkan banyak persoalan. Beberapa warga yang kedapatan melanggar
peraturan karantina versi pemerintah memilih masuk ke penjara alih-alih
membayar denda.
Peristiwa yang dapat menjadi contoh terjadi kepada seorang
warga kota Serang, Banten berinisial BH. Pria yang bekerja sebagai penjaga toilet
divonis hukuman denda Rp100 ribu karena tidak memakai masker ketika melintas di
Jalan Maulana Hasanuddin, Pasar Lama. Namun karena mengaku tak punya uang, ia memilih mendekam di
penjara selama satu hari.
Masih di provinsi yang sama, seorang warga menolak razia
masker yang dilakukan petugas Satpol PP kota Tangerang. Warga itu mengaku tidak
bersalah karena menurunkan masker agar bisa merokok. Ia memilih dipenjara jika
memang dianggap bersalah oleh petugas.
Lalu di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, seorang pedagang kopi
berinisial ALS terpaksa masuk penjara daripada membayar denda Rp5 juta yang
ditetapkan pemerintah setempat. Tak memiliki uang yang diminta, ia akhirnya
dikurung selama tiga hari. Kepalanya bahkan dibotaki petugas.
Sementara di Subang, Jawa Barat, hakim pengadilan setempat
membantu membayar sebagian denda pelanggar PPKM Darurat dalam sidang yang
digelar di Alun-alun Kota Subang.
Sistem melenceng dari rencana awal
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus
Rahadiansyah menyebut hal-hal di atas sebagai wujud penerapan sistem yang
melenceng dari rencana awal. Ia menyayangkan sanksi menjadi senjata utama
penegakkan hukum alih-alih mendidik warga agar menjadi tertib.
Ia sadar dengan karakter masyarakat yang beraneka ragam.
Namun menurutnya, di sanalah tanggungjawab petugas untuk menegakkan peraturan
dengan azas keadilan.
“Ini ada sistem yang keliru. Dalam sistem itu, justru
sanksi yang lebih banyak dibandingkan edukasi. Memang ada orang yang sifatnya
membangkang, tapi petugas perlu lihat dulu rekam jejaknya orang itu, pernah
melakukan kesalahan yang sama tidak? Itu baru yang harus diproses,” kata
Trubus saat dihubungi Asumsi.co, Sabtu (17/7/2021).
Baca Juga: Deretan Dampak Jika PPKM Darurat Diperpanjang 6 Minggu | Asumsi
Trubus berpendapat, edukasi adalah kunci dari persoalan
seperti ini. Tak hanya untuk warga yang berkemungkinan tidak tahu apa-apa, para
petugas pun harus diberi pemahaman seluruh peraturan yang ditetapkan lembaganya
sendiri. Ia menyayangkan sikap represif aparat yang menindak warga dengan
kekerasan tanpa memahami regulasi yang jadi dasar tindakan.
“Edukasi itu perlu, petugas harus tahu substansi aturan
PPKM. Mereka harus bisa membedakan mana sektor esensial, kritikal, dan
sebagainya. Baru berbicara soal disiplin masyarakat,” ujar Trubus.
Tekanan ekonomi
Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina menilai akar
permasalahan bukan berasal dari masyarakat yang tidak patuh pada aturan,
melainkan kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan dasar karena pembatasan
aktivitas. Pekerja informal yang mencari penghasilan harian menjadi salah satu
sektor yang paling rentan terjerat pelanggaran PPKM Darurat meski sedang
mencari nafkah.
“Masalah utama mereka mungkin bukan sakit karena
Covid-19, melainkan kehilangan pekerjaan atau sumber penghasilan ketika tidak
beraktivitas,” kata Nia saat dihubungi Asumsi.co.
Menurutnya, kecenderungan masyarakat yang berada di lapisan
bawah beranggapan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, terutama makan, lebih
menakutkan dibandingkan terinfeksi penyakit. Karena itu, ia berpendapat ada hal
yang tidak tepat sasaran ketika meminta masyarakat mengurangi aktivitas, tapi
kebutuhannya tidak dipenuhi.
“Jadi kalau pemerintah membatasi aktivitas, yang paling
utama adalah pemerintah bisa menjamin kebutuhan dasar terutama masyarakat kelas
bawah dan menengah. Jika tidak maka kebijakan pembatasan aktivitas tidak akan
efektif,” ujarnya.
Merosotnya ekonomi akibat PPKM Darurat tak lepas dari daya
beli masyarakat yang turun akibat pembatasan aktivitas. Pasalnya, rencana
pemberian Bantuan Sosial Tunai (BST) juga belum efektif berjalan meski PPKM
Darurat sudah berlangsung selama dua pekan. Alhasil, masyarakat yang bekerja di
sektor informal mau tidak mau tetap harus keluar rumah mencari nafkah sehingga
terdapat kesan PPKM Darurat tidak berjalan sesuai rencana.
Baca Juga: Tata Cara Pelaksanaan Idul Adha di Masa PPKM Darurat | Asumsi
Pemerintah RI sejatinya dapat mengambil opsi menerapkan
penguncian aktivitas publik atau lockdown. Hal ini sudah tertuang dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Peraturan itu
bisa digunakan untuk mencegah dan menangkal masuk atau keluarnya penyakit di
lingkup masyarakat. Negara-negara seperti Singapura dan Selandia Baru terbukti
berhasil mengaplikasikan siasat ini.
Persoalannya, dalam UU tersebut pemerintah pusat wajib
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat selama penerapan karantina. Inilah yang
menjadi salah satu titik permasalahan ketika Presiden RI, Joko Widodo menyebut
Indonesia tidak punya anggaran yang cukup untuk menerapkan lockdown. Maka
terbentuklah istilah modifikasi bernama PPKM.
Joko Widodo justru memilih terjun langsung ke lapangan
memberikan bantuan sosial ke warga Sunter Agung, Jakarta Utara, beberapa waktu
lalu. Menurut Nia, langkah blusukan yang dilakukan presiden tidak tepat karena
masyarakat lebih membutuhkan organisasi kuat dan komando yang tegas dalam
penanganan Covid-19.
“Masyarakat kelas bawah membutuhkan pemimpin yang
berjiwa ksatria, bisa mengambil keputusan yang tepat dan melaksanakan keputusan
dengan baik. Sehingga tidak terjadi kericuhan sosial dan politik dalam
penanganan pandemi ini,” katanya.