Investigator KPK Novel Baswedan mengatakan di Twitter bahwa akun Telegram miliknya dan Direktur KPK Sujanarko diretas pada hari Jumat. Peretasan ini menambah jumlah serangan yang dilancarkan kepada sejumlah aktivis dan pegiat antikorupsi dalam sepekan terakhir setelah insiden yang terjadi pada konferensi pers Indonesia Corruption Watch hari Senin (17/5).
Melalui akun Twitternya, @nazaqistsha, Novel Baswedan mengumumkan peretasan tersebut yang terjadi hari Kamis 20 Mei, pada pukul 20.22 WIB dan pukul 20.31 untuk akun Telegram Sujanarko. Belakangan, menurut Muhammad Isnur, Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Sujanarko sebenarnya tidak memiliki akun Telegram, namun nomor teleponnya digunakan untuk membuat akun Telegram atas nama dia.
Meski belum diketahui motifnya, peretasan ini lagi-lagi dihubungkan dengan kerasnya sikap mereka pada TWK. Apalagi Novel dan Sujanarko, yang merupakan dua pegawai KPK yang disebut tidak lolos TWK, belum lama ini menginisiasi pelaporan pimpinan KPK ke Ombudsman.
Baca juga: Aktivis Penolak TWK-KPK Diretas Serentak, Hak Digital Semakin Terancam
Dugaan motif peretasan karena kritik pada TWK dan pimpinan KPK makin menguat karena hanya selang beberapa jam, eks-Jubir KPK Febri Diansyah juga melaporkan peretasan atas akun WhatsApp-nya.
Seperti disebut sebelumnya, peretasan menyasar delapan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan anggota Lokataru Foundation, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada hari Senin. Aktivis dari berbagai lembaga masyarakat sipil tersebut juga aktif mengkritik pelaksanaan TWK dan Surat Keputusan (SK) 652 yang dianggap menjadi alat untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK yang kritis dan berintegritas.
Bukan Hanya Aplikasi Chat
Selain pada aplikasi berbagi pesan seperti Telegram dan WhatsApp atau email, aktivis ICW, Nisa Rizkiah mengalami peretasan aplikasi Gojek. Kepada Asumsi.co, Nisa bercerita kalau itu terjadi pada Senin (17/5) saat dirinya memoderatori diskusi yang digelar ICW bersama mantan pimpinan KPK soal TWK.
Saat itu, dalam diksusi yang penuh teror peretasan, dirinya sudah mencium gelagat bahwa Telegram atau email-nya ikut diretas. Ini berdasarkan notifikasi email yang ia terima bahwa ada yang hendak masuk ke email pribadinya dan ada permintaan perubahan password Telegram.
“Ada notifikasi ke email kalau ada yang coba masuk ke email pribadi saya. Email itu nge-link ke akun Tokopedia juga. Ada yang mencoba ganti PIN di akun Tokped saya. Untung masih log-in dan saya buru-buru hapus credit card saya di sana,” ucapnya.
Namun, tak disangka peretasan menimpa akun Gojeknya. Tanpa ada notifikasi apa-apa, akun Gojeknya ternyata sudah diambil alih. Saat ia sedang memandu diskusi, tiba-tiba datang sejumlah makanan dari layanan GoFood yang diantar oleh driver Gojek. Makanan itu mulai dari pizza sampai seblak.
Ada pula pesanan GoRide dan GoCar yang mengaku dipesan oleh akunnya untuk mengantarkan Nisa ke beberapa tempat. Saat mengecek akun Gojek-nya, Nisa baru sadar kalau akun dia sudah logged out.
”Ketika mencoba untuk log in kembali, enggak bisa. Saya enggak bisa terima SMS dan di posisi yang sama saya masih ditelepon robocall juga,” ujar dia.
Nisa berasumsi kalau nomornya sudah dibajak ketika dia tidak bisa mengakses One Time Password (OTP) yang dikirimkan operator saat hendak memulihkan akun Gojeknya.
Nisa memberi tahu para driver kalau akunnya dibajak. Meski sebagian driver mengerti, Nisa harus tetap membayar karena pesanan-pesanan itu memang datang dari akunnya. Setelah peristiwa itu, ia kemudian meminta customer service Gojek untuk menutup akunnya. Namun ternyata ada prosedur untuk membuktikan pesanan terakhir.
”Nah ini saya kesulitan kan saya enggak bisa buka aplikasi Gojek-nya,” ujar Nisa.
Pada pukul 18.00 WIB, barulah Nisa bisa mengakses OTP yang Gojek kirimkan. Sementara WhatsApp Nisa yang juga diretas, bisa dipulihkan lewat OTP yang diberitahu lewat layanan “Call Me”. “Saya sih beranggapan di jam itu nomor saya sudah tidak dibajak lagi,” ucapnya
Namun, insiden peretasan ternyata tidak hanya terjadi di hari itu. Pada Jumat (21/5/21), akun WhatsApp Nisa kembali diretas. Hal yang sama terjadi pada akun temannya, sesama aktivis ICW. Pada jam 18.30, kata Nisa, bahkan akun WhatsApp koordinator ICW, Adnan Topan Husodo yang diretas.
”Setelah kejadian ini, kami melakukan beberapa langkah pengetatan dalam keamanan digital pastinya. Tapi kan persoalannya, yang bisa kita lakukan, misalnya di WhatsApp ya two-step-verification. Dan kami sudah melakukannya jauh sebelum ada peretasan ini. Tapi kok masih bisa (dibajak)?” tanya dia.
Bentuk Pembungkaman
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menyebut peretasan terhadap pegawai KPK hingga pegiat antikorupsi adalah bentuk pembungkaman. Ini diduga dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Terlebih peretasan yang dilakukan bersamaan dengan polemik penonaktifan 75 pegawai KPK oleh Firli Bahuri cs.
Baca juga: Skandal Menggerogoti KPK, Kini Jadi Komisi ‘Diberantas’ Korupsi?
Dengan pola yang sama persis, maka semakin kuat dugaan itu. “Saya kira pelaku dan polanya sama persis ketika aksi reformasi dikorupsi menolak revisi UU KPK yang melemakan KPK, para aktivis hingga mahasiswa mengalami peretasan,” kata Arif.
Arif pun meminta kepolisian segera mengusut dan menangkap pelakunya. “Tidak diam saja. Karena kasus peretasan sudah berulang kali terjadi. Ini jelas fakta kemunduran demokrasi kita,” kata Arif.
Terpisah, Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebut, muara perlawanan pada serangan digital adalah pengungkapan siapa pelaku dan bagaimana penegakan hukumnya. Kejadian-kejadian ini bukan pertama. Bahkan pada 2020, pihaknya mencatat ada 147 insiden serangan digital yang belum jelas siapa pelakunya.
”Kita harus memutus rantai serangan digital yang sudah terjadi ini,” kata Damar kepada Asumsi.co.
Kalau dibiarkan dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan kesan tebang pilih dan impunitas pada para pelaku serangan. Mereka juga akan menganggap bahwa serangan-serangan semacam ini dianggap normal.
”Padahal jelas serangan ini adalah upaya penggembosan gerakan masyarakat sipil dan merugikan demokrasi,” ucapnya.