Kabar bubarnya Naif seolah mengkonfirmasi obrolan kasak-kusuk
 yang beredar sejak tahun lalu. Dimulai lewat pengakuan Emil, sang bassis, dua
 hari ke belakang di acara Shindu Scoop. Kemudian David, sang vokalis, akhirnya
 mengiyakan juga kabar itu, Senin (10/5/2021).
 Lewat
 akun YouTube, David menyebut kalau pandemi Covid-19 ternyata berdampak besar
 pada bandnya. Hubungan antar-personel Naif serasa sedang disaring selama
 pandemi ini. Hingga akhirnya kata bubar pun tercetus.
 “Ya bisa dibilang masuk kategori bubar.
 Yah, bubar,” kata David, dengan suara tercekat.
 Naif memang sebuah perjalanan panjang. 26 tahun
 dengan tujuh album, satu album kompilasi, satu album live,
 satu album sempalan dengan nama Bonbinben, hingga satu album tribute dari teman-teman untuk mereka.
 Diskografi Naif menunjukkan taji dan pengaruh yang luar biasa. Belum lagi
 ratusan bahkan ribuan panggung, perjalanan tur, dan jutaan fans yang setia.
Baca juga: Emil
 dan Pepeng Hengkang dari Naif! | Asumsi
 
 Wajar kalau kemudian David
 nampak sentimentil menyatakan kabar bubar ini. Toh, duka ini juga bukan cuma
 punya David dan Naif. Duka ini juga buat para penggemarnya. Para fans yang merayakan Naif sejak
 “Piknik 72” hingga “7 Bidadari”.
 
 Maka kita akan melihat banyak
 salut disampaikan lewat media sosial. Banyak kesan atas mereka. Dan
 ucapan-ucapan ini seraya mengiringi Naif mundur dari belantika.
 
 Dimulai
 Dari Perkawanan Kampus
 Bertahannya Naif sejak 1995
 sampai 2021 mungkin tak pernah terbersit dalam mimpi ternaif para personelnya
 sekali pun. Alih-alih dibentuk untuk menjadi besar, Naif justru muncul dari
 keisengan mereka di tengah padatnya tugas kuliah di Institut Kesenian Jakarta.
 
 Seperti umumnya kita, Naif
 lahir dari lingkungan pertemanan. Memilih satu dua personel di tongkrongan,
 untuk kemudian bikin satu dua lagu mudah hanya untuk mengisi waktu luang. Tapi
 siapa sangka, “band iseng” inilah yang membesarkan nama para
 personelnya.
 
 Mengutip laman resmi Naif,
 band mulanya dirintis oleh David, Pepeng, dan Jarwo. Emil dan Chandra masuk
 kemudian. Meski bergabung belakangan, Emil dan Chandra juga berasal dari IKJ.
 
 Dengan posisi David pada
 vokal, Jarwo pada gitar, Chandra pada kibor, Emil pada bas dan Pepeng pada
 drum, Naif mulai aktif mengisi sejumlah acara musik. Mereka bergerilya dari
 panggung-panggung bawah tanah, mulai dari IKJ hingga Poster. Tumbuh berkembang
 bersama deretan nama pentolan aksi independen Ibu Kota lainnya, seperti
 Rumahsakit, Planetbumi, Parklife, dan lain-lain.
 
 Tak butuh waktu lama, di
 tahun 1998, Naif resmi merilis debutnya di bawah Bulletin Records dengan
 sejumlah hit, seperti “Mobil Balap”, “Piknik 72”, dan
 “Jauh”. Album ini lantas didaulat sebagai salah satu dari 150 Album
 Indonesia Terbaik versi Majalah Rolling
 Stones dengan menempati peringkat ke-22.
 
 Baca juga: Luangkan Waktumu Sejenak untuk Merayakan The Adams | Asumsi
 
 Ditinggal
 Chandra
 Naif termasuk band dengan formasi
 awet. Sejak 2003 mereka kompak sebagai kuartet penting dalam khazanah musik
 Indonesia. Namun, sebelum itu, seperti ditulis di awal, ada juga nama Chandra
 di posisi Keyboard.
 
 Berjalan bersama sejak 1995,
 Chandra lantas memilih hengkang pada 18 November 2003. Mundurnya Chandra
 menjadi kehilangan pertama bagi Naif sebelum 18 tahun kemudian Emil dan Pepeng
 memutuskan jalan yang sama. Jalan yang akhirnya membuat Naif sepakat pada kata
 bubar.
 
 Mengutip Hai, David menyebut kehilangan Chandra
 bagi Naif sama seperti kehilangan anggota badan. Namun, saat itu mereka tetap
 ngotot bertahan karena tak mau bubar jalan cuma karena kehilangan satu personel.
 
 “Asli, kami sebenernya
 ngerasa berat harus pisah sama Chandra. Karena, perpisahan itu sebenernya haram
 buat Naif. Tapi, demi kebaikan Chandra dan Naif, kami pikir perpisahan ini
 adalah jalan terbaik,” kata Jarwo mengomentari mundurnya Chandra saat itu.
 
 Imej
 Retro
 Imej
 Retro seolah tak bisa dilepaskan dari band ini. Tampilan khas generasi bunga
 dekade 70 dengan celana cut
 bray, kemeja bercorak, turtle-neck, atau potongan rambut shaggy hingga mop top segera identik dengan Naif.
 Ini seolah membedakan mereka dengan rombongan band lain yang muncul di era itu.
 
 Dalam wawancara dengan Ripple Magazine edisi 40, Emil
 menyebut kalau cap retro itu datang dengan sendirinya. Terutama setelah lagu
 “Piknik 72” banyak diputar dan didengar orang. Ini ditambah dengan
 instrumen, pemilihan suara, aksi panggung, hingga fashion mereka
 yang memang banyak terinspirasi dari band era 60 hingga 70-an.
 
 “Kayaknya kalo kita
 bawain lagu Casiopea atau Jamiroquai sekalipun kita tetep aja dicap
 retro,” kata Emil.
 
 Pernyataan ini diiyakan
 David. Dalam wawancara yang sama, David menyebut kalau “Piknik 72”
 adalah momen penting untuk imej retro di bandnya. “Anak-anak sempet
 bingung waktu bikin lagu itu kok berasa jadul (jaman dulu) banget ya? Seger
 banget perasan waktu lagu itu jadi. Padahal itu bukan lagu pertama kita. Cuman
 emang termasuk lagu-lagu awal yang kita bikin sih,” ucap dia.
Baca juga: Gerak Puitik dalam Irama Boom Bap: Breakdance
 Mengguncang Jakarta | Asumsi
 
 Lagi pula, kesukaan mereka
 pada banyak hal berbau retro menyajikan banyak gagasan yang bisa diolah kala
 mereka berkarya. Penuturan Emil, estetika retro ini, misalnya, memengaruhi
 pemilihan diksi pada lirik-lirik lagu Naif.
 
 Pada lagu “Piknik
 72”,  misalnya, Naif lebih memilih nama Binaria ketimbang Ancol yang
 lebih dikenal sekarang. Menurutnya, selain lebih enak didengar secara tata
 bahasa, pemilihan nama ini pun terkesan lebih otentik untuk dibubuhkan sebagai
 lirik.
 
 “Tapi (retro yang Naif
 hadirkan) bukan parodi. Tapi karena kita suka. Yang enggak jujur, yang
 dibikin-bikin (dibuat seolah-olah retro), tuh kelihatan banget. Kelihatannya
 bakal berlebihan atau sebaliknya malah kurang. Nanggung banget,” ujar dia.
 
 Sementara David menilai di era 60 hingga 70-an
 banyak terobosan baru dari segi fesyen hingga musik. “Zaman dulu itu
 sebenernya orang-orang tuh lebih fashionable daripada
 kita sekarang. Karena buat mereka, keluar rumah itu hiburan. Jadi, harus stylish dan perlente,” kata
 David.
 
 Legasi
 Naif
 Dalam “Terlontar di Masa Silam” yang
 ditulis oleh kritikus musik Indonesia, Dennie Sakrie di Tempo edisi 2 November 2005, disiratkan
 kalau Naif seolah menjadi pemantik pada demam pengaruh retro yang muncul
 setelahnya. Selain White Shoes and The Couples Company yang memang satu
 “kandang”, ada juga nama-nama seperti La Luna dan Mocca dari Bandung.
Baca juga: Apa Kata Marcel Thee tentang Natal dan Lagu-lagu Natal Favoritnya? |
 Asumsi
 
 Menurut Dennie, Naif muncul dengan nilai-nilai
 yang mengakar pada musik pop era British
 Invasion dari The Beatles, The Mindbenders, hingga ke
 ikon musik lokal seperti Koes Plus. Dalam beberapa lagunya, seperti “Hai
 Monas” dan “Towal Towel”, Naif bahkan banyak mendapat pengaruh
 dari maestro Betawi, Benyamin S.
 
 Tapi Naif tidak seterbatas
 itu. Di lagu “Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia Yang Ada di Seluruh
 Dunia”, misalnya, jelas di sana ada pengaruh Amerika dari band seperti The
 Doors.
 
 Menurut Dennie, menyimak musik retro serta
 dandanan para pemusiknya menjadi kesegaran tersendiri ketika kemajuan musik
 dipacu rekayasa teknologi hingga mencapai titik kulminasi yang membuat orang
 ingin kembali ke masa silam saat teknologi masih manual. Ada kerinduan terhadap
 sesuatu yang berbau kuno, tetapi di sisi lain, bisa dianggap semacam tribute dari pemusik generasi
 sekarang terhadap para pemusik pendahulu yang kerap disebut pionir.
 
 “Seperti halnya fashion,
 musik pun mengenal adanya perputaran atau kembali ke tren terdahulu,” kata
 Dennie.
Founder
 Irama Nusantara, David Tarigan, melihat sosok Naif adalah “band
 penghubung” yang menjembatani antara pasar hipster dan pasar arus utama
 sekaligus. Bagi arus utama, itu terlihat dari banyak hit mereka. Sementara bagi
 hipster, Naif punya deretan referensi yang mewakili selera mereka.
 
 “Tetap aja Naif itu
 memainkan musik pop. Tetapi mereka mengambil apa yang tidak populer di kancah mainstream Indonesia.
 Buat orang umum bisa menikmati, banyak hit, buat hipster mereka bisa tetap relate,”
 kata David Tarigan kepada Asumsi.
 
 Untuk urusan retro, secara
 awam, Naif memang dengan mudah diidentifikasi pada nama-nama umum, seperti Koes
 Plus dan The Beatles. Namun di sisi lain, kalau merunut pada debutnya saja,
 cukup banyak aroma retro di sana. Menurut David Tarigan, ini tak lepas dari
 ramainya kembali The Doors di Indonesia lewat film Oliver Stones. Padahal, The
 Doors saat zaman masih aktif, bukanlah band yang populer di
 Indonesia.
 
 “Kita bisa dengar itu
 dari permainan kibor Chandra di album pertama atau lagu “Imaginary
 Son”. Jim Morrison memang waktu itu jadi semacam ikon populer yang
 disandingkan dengan Kurt Cobain, misalnya, padahal enggak satu era,” ucap
 dia.
 
 Dengan begitu, tak pelak Naif
 adalah produk dari apa yang ramai di era 90-an. Apalagi mereka juga masuk ke
 arus ingar bingar Britpop lokal dengan kerap membawakan ulang repertoar dari
 band Madchester, Inspiral Carpets.
 
 “Menariknya, apa yang
 dilakukan Naif adalah bentuk selebrasi yang fun. Sensibilitasnya di
 Indonesia baru ada di era itu. Ada unsur parodinya, tapi bukan parodi juga,
 mereka justru mewujudkan pengekspresian yang sebetulnya serius,” ucap dia.
 
 Kesuksesan Naif dengan
 formula ini, meski tidak bisa disebut satu-satunya, lantas menjadi salah satu
 pengaruh pada band dengan ekspresi serupa di era selanjutnya. “Pengaruhnya
 jelas pasti ada, bukan tidak ada yang seperti itu, tapi Naif lah yang populer
 dengan segala formulanya. Selain itu, band-band era selanjutnya juga
 terpengaruh dengan yang ada di barat, karena band indie pop, indie rock, yang
 ada di barat pun ya retro,” katanya.
 
 Mungkin
 ini adalah akhir dari sebuah episode band pop terbaik yang sempat dimiliki
 negeri ini. Tapi, siapa tahu nanti. Toh, mengutip bagian bridge lagu “Johan dan
 Enny”: “Jalan kita masih panjang, biar terus berjalan”.
 Terimakasih Naif!