Sosok Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menarik perhatian karena sikapnya yang berbeda saat putusan uji materi UU KPK, Selasa (4/5/2021) lalu. Dalam catatan Asumsi, ia satu-satunya hakim yang menyatakan pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya mengabulkan permohonan uji materi UU KPK. Ia juga menyatakan bila proses pembentukan UU KPK begitu singkat sehingga nihil jaminan konstitusionalitasnya.
Baca juga: Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams: Sendiri Tolak Revisi UU KPK dan Sindir Jokowi | Asumsi
Lantas, seperti apa sosok hakim yang sendirian berbeda pendapat ini?
Sebelum menjadi hakim di MK, pria yang besar di Desa Sakatiga, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, ini berkarir di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karir tertingginya di Kemenkumham adalah menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan/Dirjen PPU (2010-2014). Pengalamannya di Kemenkumham itu sekaligus membuatnya dekat dengan lingkungan MK. Ia kerap mendatangi MK untuk kepentingan persidangan.
Dalam kapasitas sebagai Dirjen Dirjen PPU, pria kelahiran Palembang, 17 Januari 1954 ini dipercaya oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai kuasa hukum yang mewakili presiden dalam sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Selain menduduki kursi Pemerintah dan berdiri di podium ruang sidang MK untuk memberikan keterangan, Wahid pun sempat duduk di kursi Pemohon, mewakili Kemenkumham dalam sengketa kewenangan lembaga negara antara Presiden dengan DPR dan BPK.
“Jadi, kalau ke gedungnya dan ketemu hakim-hakimnya dalam lingkup tugas yang terkait dengan tugas Menteri Hukum dan HAM bisa dibilang sering,” katanya sebagaimana dilansir dari situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia/MKRI.
Kini, situasinya berbalik. Seiring diangkat menjadi hakim konstitusi, paripurnalah karirnya di bidang hukum. Meski, Wahiduddin tidak menyangka bila ia bisa berada di posisinya saat ini, yakni menjadi salah satu dari sembilan pilar pengawal konstitusi. Lebih tidak menyangka lagi bila ia menjadi Dirjen PPU pertama yang bisa menjadi hakim konstitusi. Sebelum ia, tidak pernah ada Dirjen PPU yang melanjutkan karier sebagai hakim konstitusi.
Pengalaman di Eksekutif dan Yudikatif
Lintasan karir Wahiduddin di bidang perundang-undangan bisa dibilang cukup berbeda dalam kaitannya dengan fungsi ketatanegaraan. Saat menjabat sebagai Dirjen PPU ia berada dalam posisi eksekutif atau pengambil kebijakan di pemerintahan. Sementara saat menjadi Hakim Konstitusi, ia berada di sisi yudikatif atau berperan menjalankan lembaga peradilan. Sisi eksekutif maupun yudikatif tentu memiliki budaya-budaya atau kebiasaannya sendiri yang belum tentu sama dengan yang lainnya.
Baca juga: Skandal Menggerogoti KPK, Kini Jadi Komisi ‘Diberantas’ Korupsi? | Asumsi
Mengenai hal ini, beralih dari seorang PNS menjadi penjaga konstitusi tentu ada beberapa kebiasaan yang mesti disesuaikan oleh Wahiduddin. Sebagai seorang hakim, ia tak dapat lagi tunduk pada sistem birokrasi. Sebaliknya, ia mesti independen dalam bersikap dan berpikir, lantaran tugasnya yang bersifat memutus suatu perkara.
Wahiduddin sendiri mengaku bila ia berkomitmen mengikuti aturan sebagai hakim konstitusi. Itu artinya, lebih banyak batasan yang mesti diperhatikannya. “Kalau birokrasi, karena relasi hubungan kerja itu banyak dan terbuka, sementara di sini fokus dan yudikatif. Ya, saya harus membatasi diri. Kalau di perundang-undangan ada kegiatan harmonisasi dimana seluruh kementerian dan lembaga tiap hari berhubungan, berinteraksi setiap saat, dan sangat cair sekali. Sementara di sini fokus pada yudikatifnya dan komunikasi dengan eksternal sudah dibatasi oleh konstitusi dan Undang-Undang MK sendiri,” tutur sarjana Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Jakarta lulusan tahun 1979 ini.
Kendati demikian, ia mengaku, antara pekerjaannya sebagai Dirjen PPU dengan Hakim Konstitusi masih ada persamaan suasana. Antara saat di Kemenkumham dan MK ada satu tujuan yang dijalaninya, yakni menjaga UU agar tak bertentangan dengan UUD 1945. Di samping adanya kewenangan MK lain, seperti pembubaran partai politik, pemakzulan presiden, dan sengketa pemilu.
“Tolak ukurnya tetap sama, yakni terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Saat pembentukan (UU), kita berusaha agar tak bertentangan (dengan UUD 1945). Kalau di sini (MK) ya, menguji undang-undang yang telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945,” kata penggemar penyanyi Teti Kadi ini.