Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melihat masih banyak transgender yang tak memiliki dokumen kependudukan. Kondisi itu membuat Kemendagri melalui Ditjen Dukcapil akan mulai membantu membuatkan KTP elektronik (e-KTP/KTP-el) untuk kelompok transgender.
Langkah itu diambil Kemendagri sebagai bentuk komitmen pihaknya membantu memudahkan para transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan terutama e-KTP. Hal itu disampaikan lewat rapat virtual Ditjen Dukcapil Kemendagri dengan Perkumpulan Suara Kita, Jumat (23/4/21).
“Dukcapil seluruh Indonesia akan membantu teman-teman transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan, termasuk kartu keluarga dan akta kelahiran,” kata Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh dalam keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut, Zudan mengatakan bagi yang sudah merekam data, caranya: harus diverifikasi dengan nama asli dulu. Lalu, pendataannya tidak harus semua ke Jakarta, tapi juga bisa di daerah masing-masing dibantu oleh dinas dukcapil setempat. Termasuk untuk dibuatkan KTP-el sesuai dengan alamat asalnya.
Zudan sendiri sudah menunjuk pejabat pelaksana yang akan membantu sepenuhnya mengkoordinasikan para transgender mengurus dokumen kependudukannya dengan mudah.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo, mengatakan banyak transgender yang tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti KTP-el, KK, dan akta kelahiran.
Kondisi ini mempersulit mereka mengakses layanan publik lain, seperti bidang kesehatan untuk mengurus BPJS Kesehatan, mendapat bantuan sosial, dan lainnya.
“Kawan-kawan transgender ini masih kerap menemui hambatan ketika mengurus layanan publik, terutama terkait administrasi kependudukan. Mungkin karena miskin dan minder, malu, atau hambatan lainnya. Mereka jadi sulit mengurus pelayanan publik lain, seperti BPJS-Kes, atau sulit mendapat akses bansos. Padahal banyak di antaranya yang hidup miskin sebagai pengamen dan profesi lainnya,” kata Hartoyo.
Hartoyo mengklaim telah mengumpulkan data 112 transgender di Jabodetabek yang sama sekali belum memiliki dokumen kependudukan untuk dibantu pengurusannya. Data tersebut mencakup nama asli (bukan nama panggilan), tempat lahir, tanggal lahir, jenis kelamin, nama ibu, dan nama Bapak.
Tak Ada Kolom Jenis Kelamin Transgender
Dalam pernyataan terbarunya, Zudan menjelaskan bahwa tak akan ada kolom jenis kelamin “Transgender” di dalam e-KTP tersebut nantinya. Menurutnya, di e-KTP hanya ada dua pilihan jenis kelamin yakni laki-laki atau perempuan.
“Kalau dia laki-laki, ya, dicatat sebagai laki-laki, kalau dia perempuan juga dicatat sebagai perempuan. Dicatat sesuai jenis kelamin yang aslinya. Kecuali buat mereka yang sudah ditetapkan oleh pengadilan untuk adanya perubahan jenis kelamin,” kata Zudan dalam keterangan tertulis, Minggu (25/4).
Lebih lanjut, Zudan pun mencontohkan kasus perubahan jenis kelamin Serda TNI AD sekaligus mantan pemain voli putri nasional Indonesia, Aprilia Manganang menjadi Aprilio Perkasa Manganang. Kini, Aprilio sudah berstatus sebagai laki-laki.
Selain itu, Zudan menyebut bahwa nama yang akan tercantum di dalam e-KTP adalah nama asli, bukan nama alias. Apabila ingin mengganti nama dan jenis kelamin di e-KTP, lanjut Zudan, maka harus ada putusan dari Pengadilan Negeri.
“Tidak dikenal nama alias. Misalnya, nama Sujono, ya ditulis Sujono, bukan Sujono alias Jenny. Mau diubah pakai nama panggilan perempuan di e-KTP? Tidak bisa, sebab urusan mengganti nama dan ganti kelamin harus ada putusan dari Pengadilan Negeri terlebih dulu.”
Baca juga: Apa itu Deadnaming?
Menurut Zudan, pihaknya bahkan sudah pro aktif membantu pembuatan e-KTP untuk kelompok transgender dengan mengacu pada UU No. 24 Tahun 2013 juncto UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bahwa semua penduduk WNI harus didata dan harus punya KTP dan Kartu Keluarga agar bisa mendapatkan pelayanan publik dengan baik.
“Dukcapil wajib melayani mereka sebagai bagian dari WNI penduduk di Indonesia. Mereka juga mahluk Tuhan yang wajib kami layani tanpa diskriminasi dan penuh empati,” ucapnya.
E-KTP adalah Hak Konstitusional Warga Negara
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menegaskan bahwa e-KTP merupakan hak konstitusional semua warga negara, apapun preferensi seksual mereka. Menurutnya, ketiadaan kepemilikan e-KTP akan menjadi pintu bagi terlanggarnya begitu banyak hak konstitusional warga dan akses atas pelayanan publik yang lain.
“Oleh karena itu, rencana Kemendagri patut diapresiasi sebagai langkah untuk mengurangi pelanggaran hak dan pembatasan akses mereka,” kata Halili saat dihubungi Asumsi.co melalui telepon, Minggu (25/4/21).
“Hanya, memang diperlukan terobosan teknis untuk pencetakan e-KTP, misalnya dengan memastikan pilihan gender terakhir sebagai pilihan sadar yang tidak boleh dipaksakan oleh aparat pemerintahan di lapangan,” ucapnya.
Dalam jangka panjang, menurut Halili, perlu terobosan lain yang bisa dilakukan pemerintah. Dalam konteks ini, misalnya dengan opsi-opsi yang juga digunakan di negara lain, seperti ‘tidak disebutkan’ dan sebagainya.
“Memang butuh diskusi lebih matang, karena ini pasti akan berimplikasi pada layanan publik yang lain, seperti atas perkawinan,” ujar Halili.